Jun 21, 2009

Makwan : Perintis Pengolah Emping Jagung

Perintis Pengolah Emping Jagung
Oleh : Irma Tambunan

Sekilas usaha kerajinan emping jagung milik Makwan sekadar kegiatan ekonomi rumah tangga. Siapa sangka, di gubuk sewaannya yang lembap dan panas inilah ratusan petani dari Sumatera hingga Papua datang berburu ilmu pengembangan teknologi pengolahan emping jagung.

Kerajinan pengolahan hasil panen jagung memang lebih dulu dimulai di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dengan nama berbeda, yaitu jagung ceples atau jagung gepeng. Namun, usaha ini kurang menggeliat sehingga lambat laun jumlah perajin makanan ringan dari bahan jagung ini menurun.

Makwan, yang asli Pati, melihat besarnya peluang usaha kerajinan emping jagung ini setelah ia kuliah di Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta, Jurusan Teknologi Pertanian, Program Pengolahan Hasil Pertanian, tahun 1990 hingga 1996. Bisa dibilang sangat banyak mahasiswa di Yogyakarta yang tinggal di rumah kos atau pondokan, dengan uang kiriman bulanan yang pas-pasan dari orangtua mereka.

Makwan kemudian mencari upaya menghasilkan penganan ringan yang enak, namun harganya murah sehingga cocok untuk para mahasiswa ini. Jagung menjadi jalan keluarnya.

Berbekal pinjaman tempat di sebuah pemancingan lele di Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, DIY, Makwan mulai menguji coba penggunaan teknologi pengolahan hasil panen jagung menjadi emping. Penggunaan teknologi adalah pada proses pemipihan jagung menjadi setipis kertas sehingga dapat dihasilkan emping jagung yang renyah dan gurih setelah digoreng.

Meski memiliki bentuk yang sama dengan jagung ceples, ia berusaha mengganti brand produk penganan ringan ini dengan nama emping jagung, dan disisipkan kalimat cocok untuk teman belajar dalam bungkus kemasan. Awalnya banyak orang mempertanyakan dan menolak bahwa jagung yang pipih ini saya sebut emping, karena asumsi masyarakat saat itu adalah emping ya dari melinjo, bukan jagung,รข€ tuturnya.

Butuh hampir dua tahun membuat masyarakat terbiasa dengan sebutan emping jagung. Pasang surut usaha ini juga dialaminya. Makwan sempat putus asa saat kebakaran di tempat pemancingan lele itu menghanguskan seluruh jerih payahnya.

Namun, terdorong untuk meraih sukses yang lebih besar, Makwan akhirnya memulai usaha ini lagi dari awal. Ia membuat sendiri mesin pemipihan jagung. Mesin pemipih saya buat sendiri dari hasil belajar di kampus, tuturnya.

Usaha milik pria kelahiran Pati, 3 Februari 1967, ini dinamai Rahma Manggala, yang lokasinya hanya berjarak lima meter dari tempat pemancingan lele itu. Di sana, ia menyewa lahan dan membangun sebuah gubuk berukuran 5 x 10 meter. Di gubuk inilah dilakukan proses pembuatan emping jagung, mulai dari penyortiran, perendaman, perebusan, pemipihan, dan penyimpanan hasil produksi, oleh tiga karyawan. Jagung pipih yang masih basah dijemur di sela-sela tanaman padi di sebelah gubuknya. Sedangkan emping jagung mentah dan matang yang telah jadi disimpan dalam rumah salah seorang karyawan yang lain.

Siapa sangka dari usaha kerajinan ini Makwan bisa menjual emping jagung hingga ke berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Pasuruan, Malang, Kalimantan, Ternate, Riau, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Ia memproduksi emping jagung ini 2 kuintal hingga 2,5 kuintal per hari dan selalu habis dibeli.

Seiring tingginya minat beli masyarakat, petani-petani dari kabupaten sekitar, seperti Gunung Kidul dan Kulon Progo, mulai tertarik datang ke gubuk Makwan yang lembap dan panas untuk mempelajari pembuatan emping jagung. Hingga kini, ratusan petani pernah ke sana untuk belajar membuat emping jagung. Mereka dari mana-mana. Selain dari Gunung Kidul dan Kulon Progo, petani asal Tangerang, Papua, Lampung, dan Ternate pun melihat rahasia dapur usaha ini. Bahkan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri pernah mengunjungi usaha ini untuk melihat proses pengolahan pangan miliknya.

Saya tidak menutupi resep pengolahan emping jagung ini kepada para petani karena saya ingin melakukan pemberdayaan pada mereka. Kalau teknologi pengolahan pangan bisa dikembangkan, petani pasti akan terangkat, tutur suami dari Kartika (34) dan ayah dua anak, Dani (5) dan Akbar (9 bulan) ini.

Banyak petani yang semula belajar padanya kini justru menjadi pesaing. Meski begitu, Makwan mengaku tak pernah khawatir tersaingi.

Hanya saja, petani diingatkan supaya jangan terbuai akan potensi keuntungan yang bisa diraih dari usaha ini. Bagaimanapun, petani harus belajar membentuk jaringan pemasaran yang kuat.

Sumber : Kompas, Rabu, 5 Oktober 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks