Jun 25, 2009

Ketut Sudarmada : Seni Kaki Palsu Ketut Sudarmada

Seni Kaki Palsu Ketut Sudarmada
Oleh : Ayu Sulistyowati

Membuat kaki palsu tidak seperti membuat sepatu. Prosesnya harus menuruti rasa dan hati. Perajinnya mirip pelukis atau pematung. Karenanya, jangan pernah coba-coba mencari kaki palsu seperti membeli baju yang bisa langsung dicoba ukurannya di sebuah toko.

Rentetan kalimat itu dilontarkan I Ketut Sudarmada (42), warga Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali. Sudarmada sendiri juga seorang penyandang cacat tunadaksa. Pria berkacamata itu kehilangan betis kaki kanan akibat kecelakaan lalu lintas 20 tahun lalu. Namun, dia tidak berputus asa.

Bagi Sudarmada, cacat secara fisik apakah bawaan lahir atau akibat kecelakaan—tidak boleh memudarkan motivasi. Cacat fisik justru harus menjadi pemacu semangat juang hingga mampu memperlihatkan kebolehan dengan keterbatasan yang ada.

Ia belajar membuat kaki palsu secara autodidak. Berawal dari membongkar pasang kaki palsu miliknya yang dibelinya di Solo seharga Rp 450.000 pada tahun 1985. Ia cukup percaya diri. Saya pakai saja logika, pasti bisa memadukan ilmu fisika, biologi, dan matematika, katanya.

Begitulah dia memulai usahanya. Modalnya hanya peralatan seadanya, yaitu tang, obeng, bor, pelat besi, kayu, gunting, gergaji, dan kulit kambing. Saya tidak punya uang untuk modal. Modal saya hanyalah peralatan seadanya, semangat, dan kemauan, ujar Sudarmada, yang pernah menjadi mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, tetapi gagal menyelesaikan kuliah karena kecelakaan yang menimpa dirinya.

Ia juga pernah menjadi guru di Denpasar, tetapi berhenti karena ingin berbuat yang lebih berarti bagi kelompok senasibnya.

Tempat usaha kerajinan kaki palsu milik Sudarmada belum terjangkau aliran listrik PLN. Hingga saat ini, untuk kebutuhan kerja dan sekadar menonton televisi model lama, ia masih mengandalkan aliran listrik tetangganya. Seratus ribu rupiah per bulan diberikannya kepada tetangganya sebagai pengganti pembayaran rekening.

Cita-citanya saat ini, mengumpulkan uang sekitar Rp 2,5 juta untuk kebutuhan aliran listrik PLN berdaya 1.300 kwh. Dengan daya sebesar itu, saya bisa membuat mesin oven untuk pembuatan telapak kaki dari karet. Sekarang ini, saya masih membeli jika ada uang, dan kalau tidak, saya ganti dengan modifikasi kayu, karet mesin, dan kulit kambing, ujarnya sambil mengisap rokok.

Barter vespa

Harapan memiliki bengkel kerajinan kaki palsu memang baru terwujud sejak enam bulan lalu. Sebelumnya, ia menyewa bengkel di Denpasar senilai Rp 3 juta setahun. Namun, pembayarannya diganti dengan membuatkan sebuah kaki palsu untuk anak pemilik rumah sewa tersebut.

Tahun 2003, ia bisa memiliki vespa tahun 1980-an. Itu juga hasil barter dengan kaki palsu buatannya dengan pemilik vespa. Vespa itu sangat membantunya mengunjungi penyandang tunadaksa lainnya yang harus mendapatkan pertolongannya. Menurut dia, masih banyak tunadaksa yang perlu dimotivasi dan memiliki kaki palsu dan ia siap membuatkannya dengan berapa pun nilai uang sebagai bayarannya. Sebagai sesama penyandang cacat, saya dengan kemampuan saya miliki mau menolong mereka, katanya.

Pengalamannya ditolak untuk mendapatkan kredit dari perbankan membuatnya kapok. Sejak merintis membuat kaki palsu sebagai usaha kerajinannya, ia mengandalkan uang dari para rentenir dengan bunga mencekik, 10 persen per bulan. Uang sekitar Rp 1 juta dipinjamnya dari rentenir untuk modal membeli bahan baku, seperti fiberglass, kulit sapi atau kambing, lem, dan gibs.

Sudarmada pun berandai-andai kalau dirinya memiliki uang sekitar Rp 10 juta, ia akan membeli bahan baku yang banyak dan dapat membantu banyak orang lagi.

Setiap pemesan seharusnya menginap di rumahnya agar bisa diukur dan sekaligus dilatih menggunakan kaki palsu buatannya. Alasannya, jika tidak bertemu langsung, Sudarmada kesulitan untuk membayangkan dan menghitung keseimbangan si calon pemakai kaki buatannya. Kan, sudah saya bilang, pembuatan kaki palsu itu seperti seniman ujarnya.

Istrinya, Ni Ketut Rapika, terus membangkitkan semangat suaminya. Begitu juga kedua putranya, Pande Putu Ambaradana (21) dan Pande Made Beniaryadi (17).

Karena dinilai sebagai penyandang cacat berprestasi, Sudarmada pernah memperoleh penghargaan dari Dinas Kesejahteraan Sosial Bali serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bali. Namun, hal itu tidak membuatnya besar kepala. Belum lama ini, ia pun diangkat menjadi Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Tabanan.

Sumber : Kompas, Sabtu, 30 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks