Jun 21, 2009

Karen Parfitt Hughes : Mantan Jurnalis di Sisi Bush

Mantan Jurnalis di Sisi Bush
Oleh : Nasru Alam Aziz dan Gesit Ariyanto

Perempuan semampai itu berbicara mantap dan tegas seperti tak pernah kekurangan bahan perbincangan, tak pula tersirat keraguan. Ia menyapa dengan keramahan yang hangat. Namun, kehangatan seperti membeku ketika masuk pada perbincangan serius.

Karen Parfitt Hughes (48), perempuan itu, adalah Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Bidang Diplomasi Publik dan Hubungan Masyarakat. Penunjukannya oleh Presiden George W Bush disetujui Senat AS pada 29 Juli 2005, lalu dilantik 9 September 2005.

Sebagai wakil menteri luar negeri, ia memimpin berbagai upaya untuk membangun dialog antara AS dan dunia, terutama dunia Muslim. Ia ikut serta dalam pengembangan kebijakan dan mengawasi tiga divisi di Departemen Luar Negeri, yakni Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Urusan Publik, dan Program Informasi Internasional. Ringkasnya, Hughes mengemban amanat untuk memperbaiki citra AS di mata dunia setelah invasi negara adidaya itu ke Irak.

Upayanya agar dunia Muslim memahami AS dilakukan dengan serangkaian lawatan yang ia sebut ”listening tour”. Diawali lawatan lima hari di Timur Tengah pada akhir September lalu, yakni ke Mesir, Arab Saudi, dan Turki, pekan lalu Hughes ke Indonesia lalu ke Malaysia.

Sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan Bush, Hughes menjadi sasaran kecaman dalam rangkaian turnya itu. Dalam dialog dengan mahasiswa yang telah ditunjuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Jumat (21/10), Hughes dihujani pertanyaan mengenai kebijakan Bush yang dinilai tidak fair dan ingin mengontrol dunia.

Hughes, yang tampak tetap tenang, menjelaskan bahwa invasi ke Irak perlu untuk melindungi AS menyusul serangan 11 September 2001. Pemerintah AS memandang Saddam Hussein sebagai ancaman keamanan nasional AS.

”Setelah 11 September, para pemimpin AS harus melihat ancaman terhadap dunia dengan cara pandang berbeda. Saya pikir Anda harus memahami ketakutan dan penderitaan yang dialami warga AS,” katanya.

Ia tiba-tiba kehilangan suaranya yang tegas ketika harus berbicara tentang terorisme. Matanya berkaca-kaca. ”Saya tidak mengerti mengapa ada orang yang tega bunuh diri untuk membunuh orang lain dengan membajak agama. Tindakan seperti itu bukan jawaban. Kalau ada ketidakpuasan silakan disampaikan. Negara kami menghargai kebebasan berpendapat,” ungkap Hughes yang selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang Irak sejak menjelang invasi AS.

Dibandingkan dengan pembantu-pembantu Bush yang lain, menurut pengamat, Hughes lebih unggul dalam mengantisipasi pikiran Bush, membaca suasana hati Bush, dan menjadi pembela Bush yang tangguh. Pengamat mengatakan, tatkala berbicara di hadapan publik, Mr Presiden mengikuti gerak bibir Hughes.

Ia merancang agenda kegiatan Bush, strategi politik, dan komunikasi. Dia juga menulis buku Ten Minutes from Normal, yang memuat pengalamannya bekerja untuk Presiden Bush, dan membantu penulisan otobiografi Bush, A Charge to Keep.

Pendamping Bush

Lahir di Paris, Perancis, 27 Desember 1956, Hughes meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris dan Jurnalisme dari Universitas Southern Methodist. Ia lulus pada tahun 1977 dengan predikat Phi Beta Kappa dan summa cum laude.

Hughes bekerja sebagai reporter televisi pada KXAS-TV, afiliasi dari NBC di Dallas/Fort Worth pada tahun 1977 hingga 1984. Sebagai reporter, ia mengikuti kegiatan kampanye presiden pada tahun 1980. Pada tahun 1984, ia banting setir dari peliput politik memasuki politik praktis dan bekerja sebagai koordinator pers Texas untuk kampanye Ronald Reagen menuju Gedung Putih.

Sejak 1990-an, Hughes sudah bekerja bersama George W Bush. Mula-mula sebagai direktur komunikasi ketika Bush menjabat Gubernur Texas (1995-2000), lalu sebagai konsuler presiden saat Bush terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 2001. ”Bush adalah sahabat saya, sekarang menjadi bos saya,” ujarnya saat berkunjung ke American Corner di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah.

Sebagai orang kepercayaan yang amat diandalkan, Bush memintanya mengemban peran yang lebih penting dan strategis. Peran strategis itu, kata Bush, adalah berada di ruangan saat pengambilan keputusan-keputusan penting.

Selama 18 bulan pertama di Gedung Putih, ia dilibatkan dalam pembahasan isu-isu utama berkenaan dengan kebijakan domestik dan luar negeri, memimpin upaya komunikasi dalam tahun pertama melawan teror, serta mengelola Kantor Komunikasi Gedung Putih, urusan media, penulisan pidato, dan dinas penerangan.

Sumber : Kompas, Kamis, 27 Oktober 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks