JJ Fox dan Pendidikan di NTT
Oleh : Rikard Bagun
Tahun 1775, atau 170 tahun sebelum Indonesia merdeka, sekolah pertama dalam bahasa Melayu sudah didirikan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Rote. "Dengan cepat, dalam beberapa tahun kemudian, Rote mempunyai 15 sekolah serupa."
Pengungkapan fakta sejarah panjang pendidikan di NTT itu disampaikan antropolog/etnolog terkenal dari Australian National University, Prof Dr James J Fox, dalam perbincangan belum lama ini di Jakarta.
Sejarah pendidikan di NTT tergolong tua dibandingkan dengan sejarah pendidikan di wilayah lain di Indonesia. Jauh sebelum bahasa Melayu dijadikan cikal bakal bahasa Indonesia, masyarakat Rote (NTT) sudah menggunakannya sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah setempat.
Namun, setelah 213 tahun berlalu, bagaimanakah kondisi dan potret pendidikan di NTT dewasa ini? Hasil ujian nasional tahun 2006 secara jelas memperlihatkan ironi besar dalam sejarah pendidikan di NTT.
Tingkat kelulusan menempati posisi paling rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, bahkan dibandingkan dengan wilayah bergolak seperti Aceh, Poso, Ambon, dan Papua.
Ketika ditanya tentang penilaiannya atas kondisi pendidikan di NTT saat ini, Fox, kelahiran Amerika Serikat 66 tahun lalu, mengelak dengan derai tawa. Guru besar antropologi yang mempunyai banyak bekas murid bimbingannya di Indonesia itu lebih tertarik menerawang jauh ke akar sejarah pendidikan di NTT.
Ironi kemerdekaan
Berbagai penuturan juga menyingkapkan, mutu pendidikan di NTT hingga awal kemerdekaan masih mencolok. Sampai tahun 1950-an banyak guru dikirim ke Jawa, termasuk ke Jakarta. Namun, kondisi pendidikan di NTT sekarang yang anjlok merupakan ironi besar bagi NTT di alam kemerdekaan.
Ironi lain dapat disebutkan dalam bidang infrastruktur. Ketika zaman kolonial, kendaraan Belanda, misalnya, dapat melintas mulus di Pulau Flores. Jalan sepanjang 667 kilometer itu kini sering terputus terkena longsor, dan pada musim hujan menjadi kubangan di mana-mana.
Meski menghindar untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pendidikan NTT sekarang ini, Fox menekankan, "Sudah lama orang NTT berkenalan dengan pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting." Sebagai ilustrasi, Fox membandingkan dengan pergulatan Irlandia.
Semula Irlandia tergolong sangat miskin di Eropa, tetapi kini menjadi salah satu negara paling maju berkat pendidikan. "Para pemimpin Irlandia terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan dan pendidikan. Hanya sekitar satu generasi, semuanya berubah," ungkapnya.
Khusus bagi NTT, ia menganjurkan kepada warga NTT yang berada di NTT maupun dalam diaspora untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia dengan mengembalikan budaya pendidikan.
"Tidak bisa lain harus melalui pendidikan," ujar Fox. Daya dukung sumber daya alam NTT dia katakan semakin terbatas. Bahkan, Fox yang memulai penelitiannya tahun 1960-an di Pulau Rote dan Sabu, mengingatkan krisis ekologis menjadi ancaman serius bagi NTT.
Persoalan ekologi termasuk perhatian utama Fox dalam berbagai penelitiannya. Buku Harvest of the Palm (1977), yang sudah diterjemahkan menjadi Panen Lontar, menggambarkan perubahan ekologis masyarakat Rote dan Sabu akibat eksploitasi penggunaan lontar.
Buku Panen Lontar bagi Fox merupakan rekaman awal penelitian antropologis dan sejarah Indonesia timur. Buku itu menggambarkan lontar sebagai "pohon kehidupan" yang memberikan beraneka macam manfaat kepada masyarakat Rote dan Sabu.
Bahkan, air nira hasil sadapan dari mayang pohon lontar menjadi makanan pokok, bukan sekadar lauk-pauk atau makanan kecil. Tidaklah mengherankan, Fox menggunakan istilah khas, orang Rote "meminum makanan".
Semula Fox melakukan penelitian tahun 1962 mengenai NTT atas anjuran pembimbingnya di Universitas Oxford, Rodney Needham, yang sudah melakukan penelitian di Pulau Sumba, tetapi lambat laun ia tertarik kepada masyarakat, lingkungan, dan sejarah NTT. Lebih-lebih setelah ia mulai masuk NTT sejak awal tahun 1965.
Berawal dari Rote
Pergulatan Fox sebagai antropolog/etnolog boleh dibilang berawal dari penelitiannya di Rote dan Sabu, dua pulau kecil di NTT. Tidaklah mengherankan dengan setengah berkelakar Fox menyatakan, NTT menjadi "pusat dunia" dalam kiprah penelitiannya sebagai etnolog selanjutnya.
Dari NTT, Fox mengembangkan penelitiannya ke wilayah lain di Indonesia dan bagian dunia dengan beragam tema. Sudah berkali-kali Fox ke NTT, bahkan sempat mengajar di Universitas Cendana, Kupang, dan sedikitnya 12 kali menderita malaria.
Sarjana tamatan Universitas Harvard dan Oxford ini juga pernah mengajar di Universitas Duke, Universitas Cornell, dan Universitas Harvard. Pernah jadi dosen tamu di Universitas Chicago, Universitas Leiden, Universitas Bielefeld, dan Ecole de Hautes Etudes.
Sampai sekarang, Prof Fox masih aktif mengajar, memberikan bimbingan disertasi dan melakukan berbagai penelitian dengan bidang perhatian dan kajian yang luas.
Ketika ditanya bagaimana keadaan NTT saat ini dibandingkan dengan tahun 1960-an ketika pertama kali datang ke wilayah itu, Fox dengan mata menerawang jauh ke masa lalu sambil tersenyum kecut menyatakan, "Tidak banyak berubah." Ia sekali lagi mengingatkan krisis ekologis yang sedang mengancam NTT.
Sumber : Kompas, Selasa, 4 Juli 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment