Iriani Setia pada Puisi
Oleh : Irma Tambunan
Iriani (47) pernah mengalami perlakuan tak mengenakkan dari teman-temannya semasa SMP. Namun, keteguhan hatinya dengan menerima keadaan itu justru telah mendorongnya untuk melahirkan karya-karya sastra.
Sejumlah sastrawan menilai Iriani sebagai penyair konvensional. Dia membiarkan saja "cap" itu melekat padanya. Mungkin, ia malah bangga. Pada pertemuan sastrawan se-Sumatera awal 2000-an, Sapardi Djoko Damono justru menyebutkan puisi Iriani terasa berbeda dari umumnya sastrawan masa kini.
Salah satu karyanya, Doa Ibu, Untukmu, kemudian dibahas dalam pertemuan tersebut. Puisi itu kemudian diterbitkan dalam buku Senandung Kecil yang merupakan antologi dirinya, berisi 36 judul, diterbitkan Dewan Kesenian Jambi.
"Saya memang cenderung menggunakan alam sebagai pengandaian-pengandaian. Mungkin karena itu saya jadi sering dibilang konvensional," tuturnya, Jumat (23/3).
Iriani, kelahiran Jambi, 2 Juli 1960. Wanita berdarah China ini semasa remaja tumbuh berbaur dengan anak-anak setempat dan bersekolah di SMPN 1 Kota Jambi. Pada masa itu, kebanyakan anak keturunan China lebih memilih mengenyam pendidikan di sekolah swasta. Iriani justru menikmati belajar di sekolah umum, bersama tiga pelajar keturunan China lainnya.
Ini bukan karena alasan kesulitan ekonomi, namun lebih pada keinginannya sejak lulus SD belajar di sekolah umum.
"Saya ingin berbaur dengan teman-teman setempat, tidak hanya mereka yang keturunan China," ungkapnya.
Ia juga merasakan perlakuan tak adil dari sebagian teman-temannya. "Hampir setiap hari saya mengalami dipalak teman satu sekolah," ujar Iriani mengenang.
Tak nyaman dengan perlakuan tersebut, Iriani pun meminta gurunya untuk mengizinkan dia tetap di kelas selama waktu istirahat sekolah. Waktu-waktu senggang inilah yang kemudian dimanfaatkannya untuk membaca berbagai buku dan menulis catatan harian.
Dalam kegundahan hati, Iriani selalu menulis kata-kata kiasan dalam buku harian, yang kemudian berkembang menjadi puisi-puisi. Sejak itulah, pengalaman hidupnya selalu dicurahkan lewat puisi.
Punya kelebihan
Agar tidak diperlakukan secara semena-mena oleh teman-teman sekolah, Iriani merasa harus memiliki suatu kelebihan. Dengan demikian, dia berharap teman-temannya bisa menghargai keberadaannya.
Suatu saat, ketika diadakan perlombaan puisi di sekolah, dan berlanjut dengan lomba-lomba puisi pada tingkat kecamatan, kota, dan tingkat provinsi di Jambi, Iriani selalu tampil dan berhasil menjadi juara.
"Sejak itulah saya tidak pernah lagi diolok-olok hanya karena keturunan China. Teman-teman mulai bisa menghargai, saya jadi lebih tenang," ucapnya.
Selepas SMA, Iriani membulatkan tekad untuk menjadi penyair. Puisi-puisi yang telah ia hasilkan—kini diperkirakan 1.000 judul puisi—dikirim ke sejumlah media massa.
Puisi karya Iriani kebanyakan panjang-panjang, namun puisinya yang pertama kali diterbitkan majalah sastra Horizon (1979) justru hanya berisi dua baris. Puisi itu berjudul Hidup. Isinya:
Bercinta dengan diri//
Berbincang dengan jam dan tanggalan hari.
"Selama bertahun-tahun saya mencoba merenung, mengapa justru puisi-puisi pendek ini yang diambil. Tetapi, saya akhirnya berpikir, ini justru yang disebut kekuatan bahasa," tuturnya.
Pada era 1980-an, puisi-puisi Iriani cukup banyak muncul di berbagai media cetak berskala nasional dan sejumlah koran lokal di Jambi. Sebagian karyanya diterbitkan juga dalam antologi bersama. Satu puisinya, Invitation for the Grandmother’s Time termasuk dalam buku International Library of Poetry tahun 2003.
Tuntutan batin
Ibu dua anak ini pernah bercita-cita menjadi dokter, namun kenyataannya, dia menjadi penyembuh luka bagi jiwa manusia melalui bait-bait puisi. Baginya, menulis puisi adalah memenuhi tuntutan batin. Kecenderungannya pada seni sastra ini tampaknya mengikuti naluri ayahnya, Rustana Tandy yang pemain biola.
Puisi Iriani tak lepas dari filosofi China yang mengutamakan keselarasan; lewat kata-kata menciptakan harmoni. Akan tetapi, ia juga tak meninggalkan kelugasan gaya sastra Melayu. Iriani mengaku terpengaruh pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dan merasa gayanya "sehaluan".
Peristiwa kerusuhan di Jakarta tahun 1998, yang antara lain menelan korban perempuan keturunan China, menimbulkan emosi dan kegundahan dalam diri Iriani, lalu tertuang lewat puisi Chung Kuok Zen, Ingni Zen, Zen (Bangsa Tionghoa, WNI Keturunan, dan Pribumi).
Ia menulis,
Chung Kuok Zen/
cari makan di negeri ini/
makan angin di belahan lain/
buang hajat dan hasrat di negeri ini//
Igni Zen, Zen/
Chung kuok Zen, bukan sapi, kelinci, domba, dan tikus/
buat dimartil digiring ke penjagalan.
Kelugasan juga dia sampaikan ketika melihat hutan di Jambi yang makin gundul. Seperti dalam puisi Suatu Senja di Tanggo Rajo, dengan penggalan:
Mak mano caronyo supayo Mak samo Bapak//
kami dak lagi ngeraso miskin, dak punyo beras//
di tanahnyo dewek!//
Dan kami ko dak jadi orang buto huruf, pacak//
Besekolah nuntut ilmu setinggi langit//
Walaupun rimbo-rimbo kami lah habis galo//
punah ranah, di mano-mano lah gundul galo//
Pabilo musim hujan tibo, yang ado banjir//
cuma banjir bae di mano-mano.
Sumber : Kompas, Selasa, 27 Maret 2007
Jun 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment