Inu Kencana : Sebuah Kesaksian
Oleh : Yulvianus Harjono
Kasus tewasnya praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri alias IPDN asal Manado, Cliff Muntu, memunculkan nama Inu Kencana Syafiie. Pengajar IPDN Jatinangor itu belakangan ini menjadi orang yang sering dicari pers, pejabat, politisi, sampai polisi. Dia tak ragu mengungkapkan kekerasan di Kampus IPDN.
Inu Kencana, pria berusia 54 tahun itu punya andil untuk melawan "mayoritas tak bersuara" di kampus pencetak calon pamong praja itu. Jikalau ia tidak kritis dan tidak mau membeberkan kematian tak wajar saat Cliff divonis sakit lever, mungkin kasus ini bakal "terkunci" rapat.
Pria kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, ini memang sarat kontroversi dan kejutan. Semangatnya seakan tak kenal rasa takut dalam membeberkan kasus kekerasan dalam IPDN. Satu per satu "ketidakwajaran" yang terjadi diungkapkannya pada publik. Sorotan dan perhatian media menjadi salah satu modalnya untuk "menentang" arus.
"Media adalah penyambung demokrasi bagi masyarakat. Biar masyarakat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di IPDN. Tidak ada lagi takut jika masyarakat mendukung. Kasus ini harus dituntaskan sekarang atau tidak sama sekali. Ini jika kita ingin ada perubahan," ungkap alumnus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Cilandak, Jakarta ini.
Inu memang makin lantang bicara. Dua hari terakhir ini dia menjadi warga komuter, bolak- balik Jakarta-Sumedang. Berbagai stasiun televisi disambanginya. Dia tak ragu bicara dalam acara Kupas Tuntas yang ditayangkan Trans. Inu juga tak ragu melangkahkan kaki ke Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, untuk memenuhi panggilan wakil rakyat yang "penasaran" dengan kasus IPDN.
SMS gelap
Hal kontras justru dialami Inu saat berada di lingkungannya sendiri, baik di kampus maupun tempat tinggal. Gejala-gejala pengucilan dan intimidasi, baik dari rekan sesama pengajar maupun mahasiswa, mulai dialami Inu beberapa hari setelah ia membeberkan kasus penganiayaan praja tersebut.
Pada 5 April lalu, misalnya, ia sempat diusir dari ruang kuliah oleh teman sesama pengajar saat hendak mengajar mata kuliah Ilmu Pemerintahan. Setali tiga uang, pemerintah dan rektorat pun mengeluarkan surat berhenti mengajar sementara untuknya.
Inu tidak hanya menanggung risiko kehilangan pekerjaan, bahkan juga nyawa dan keluarganya. Keseriusannya mengungkap kematian praja mulai dari Wahyu Hidayat (2003) hingga Cliff Muntu (2007), memang mengundang banyak ancaman.
Pada tahun 2003 ia pernah mendapat layanan pesan singkat (short message service) gelap yang berisi ancaman pembunuhan. Ancaman itu sempat ditelusuri Mabes Polri.
Tahun ini, wujud intimidasi itu sedikit berbeda. Bentuknya tidak lagi ancaman fisik, tetapi lebih psikis. Salah satu SMS bernada ancaman itu misalnya berbunyi, "Guruku sayang, kenapa kau tega memfitnah kami?"
Menyikapi ancaman-ancaman ini, dengan nada enteng Inu kerap berseloroh, "Padahal, gampang saja kalau mau bunuh saya. Beri saja saya garam. Saya kan punya hipertensi."
Sikapnya yang cenderung bicara blak-blakan dan apa adanya, pernah menuai rangkaian peristiwa konyol. Saat dilakukan sidang in absentia terhadap empat praja yang dipecat tidak hormat, Sabtu (7/4), Inu dikejar-kejar nyaris seratus perempuan praja. Penyebabnya adalah pernyataan kontroversialnya tentang dugaan seks bebas di lingkungan asrama IPDN.
Kepedulian dan munculnya sikap kritis Inu terhadap fenomena kekerasan di IPDN dimulai tahun 2003, terutama oleh terungkapnya kasus tewasnya Wahyu Hidayat, praja dari Jawa Barat. Sebelumnya, pengajar yang bertugas di IPDN (dulu APDN Nasional) sejak tahun 1991 itu tak pernah menyangka kasus kekerasan di lembaga ini demikian mengkhawatirkan.
"Dia itu sebelumnya enggak pernah percaya kalau ada kekerasan di IPDN," papar istrinya, Indah Prasetyati (43). "Saat anak teman saya dipukuli sampai babak belur dan lari, ia malah menyuruhnya kembali ke barak. Barulah saat muncul kasus praja putri yang sampai tidak sadar, lalu memilih keluar dan bekerja di bengkel, dia mulai curiga. Kasusnya kok bertubi? Ini ditambah laporan tentang dugaan penganiayaan Wahyu. Dari sini dia mulai percaya."
Kebenaran
Inu bertekad hendak mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis. "Sesakit apa pun, sekalipun diinjak dan ditindas, insan manusia semestinya tetap menyuarakan kebenaran. Inilah yang berkali-kali coba saya sampaikan lewat kuliah filsafat kepada mahasiswa IPDN. Nyatanya, mereka memang tidak pernah mau memahami," ungkap pria yang suka berdakwah di masjid ini.
Hidup Inu bisa dikatakan tak seluruhnya berjalan mulus. Sejak remaja ia sudah ditinggal ibunya yang wafat.
"Sewaktu ibu meninggal, saya masih SMA. Saya sempat bertanya dan menyalahkan Tuhan. Mengapa Dia tega mengambil orang yang saya kasihi? Saya sempat ’lari’ dari Tuhan, meski tak berlangsung lama. Lalu saya sadar, ternyata bersahabat dengan Tuhan itu menyenangkan," tuturnya.
Dalam pencariannya, Inu banyak mempelajari ilmu filsafat dan keagamaan. Ketertarikan pada dua bidang ini kemudian dituangkannya dalam ide-ide penulisan buku, di antaranya berjudul Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an. Total, sudah 42 judul buku dan kar- ya tulis yang pernah dihasilkannya.
Berbekal pendalaman filsafat pula, pejabat Lektor Kepala di IPDN dan mahasiswa doktoral bidang Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran Bandung itu hingga kini memilih hidup dalam kebersahajaan.
Rumah dinas yang dia tempati bersama istri dan tiga anaknya, sebetulnya merupakan jatah untuk dosen golongan II, bukan golongan IV seperti dirinya. Bahkan, pergi ke mana- mana pun dia kerap menggunakan angkutan umum. Baginya, kesederhanaan adalah sebuah pilihan.
Sumber : Kompas, Kamis, 12 April 2007
Jun 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment