Henny Kerkhof, Penerbang Pedalaman Papua
Oleh : Kornelis Kewa Ama
Suatu hari pada bulan Mei 2004, sebuah pesawat Cessna milik Yayasan Associated Mission Aviation (AMA) terbang di Distrik Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua. Ribuan warga yang tengah mendengarkan kampanye calon bupati sontak berteriak-teriak, "Bapa pilot Henny… Bapa pilot Henny lewat…," sambil melambaikan tangan ke arah pesawat.
Sebagai pilot, Henny Kerkhof terkenal di masyarakat pedalaman Papua. Tetapi, menemui pilot kelahiran Belanda tahun 1947 yang telah memiliki 21.000 jam terbang ini tidaklah mudah. Hampir setiap hari, pukul 06.00-16.00, dia menerbangkan pesawat ke sejumlah daerah di pedalaman Papua.
Tidak ada distrik di pedalaman Papua yang tidak dikenalinya. Saat mendarat di pedalaman tahun 1972, Henny mengaku sangat terharu. Kaum pria, wanita, dan anak-anak tidak mengenakan pakaian seperti kebanyakan warga di kota. Kaum pria bahkan hanya mengenakan koteka, tidak ada pakaian yang melapisi kulit di kawasan pegunungan bersuhu 10-15 derajat Celsius itu.
Warga berharap agar setiap pesawat misionaris yang melintas turun ke kampung mereka. Dari pesawat itu, mereka sering mendapatkan sesuatu seperti makanan cokelat, ikan kaleng, selimut, dan obat-obatan. Suami Annet ini tidak sekadar menerbangkan pesawat, tetapi juga membantu orang-orang yang menderita di daerah terpencil.
"Anda bisa bayangkan kalau tidak ada penerbangan ke daerah-daerah itu kondisi di sana seperti apa. Tidak ada jalan darat yang menghubungkan Jayapura dengan daerah itu, tidak ada pula jaringan telepon," tutur Henny di Sentani, akhir Mei 2006 lalu.
Para misionarislah yang pertama kali mengenalkan budaya modern dan kemajuan di pedalaman. Misalnya, radio, televisi, listrik, genset, lampu senter, kelambu, makanan kaleng, sabun, dan obat-obatan. Seiring waktu bergulir, perubahan pola hidup pun terus berlangsung. Masyarakat mulai mencoba menggunakan sarana dan prasarana baru yang dibawa dari luar oleh misionaris dengan jasa angkutan pesawat. Tradisi perang antarsuku pun mulai berkurang.
Termotivasi pelayanan
Henny yang pernah tinggal di Singkawang, Kalimantan Barat, saat orangtuanya yang warga negara Belanda menjadi guru itu, melanjutkan pendidikan sebagai penerbang di Belanda (1968). Lulus sekolah penerbang, ia ditawari oleh Ordo Fransiskan (misionaris Katolik) bekerja sebagai pilot di Papua. Dia memulai karier sebagai pilot muda di Yayasan AMA (milik lima Keuskupan di Papua) pada Juni 1972.
Sebagai pilot muda, Henny diberi kesempatan melakukan penerbangan jarak dekat di sejumlah daerah sekitar seperti Arso dan Genyem. Kini daerah-daerah tersebut sudah dapat dilalui kendaraan roda empat. Ketika itu ada lima pilot warga asing, empat di antaranya sudah kembali ke negara asal. Henny adalah pilot asing paling lama di Papua. Pilot lain bertahan rata-rata tiga tahun.
Tiba di lapangan terbang, masyarakat selalu berkerumun berbincang-bincang sambil minum kopi di tengah udara dingin. Tak ayal, ada kenangan dan pengalaman indah di hati Henny selama 35 tahun di Papua.
Kerja sama antarpilot selama di udara pun sangat baik. Pilot yang terbang di pesisir selalu berkomunikasi tentang cuaca dengan pilot di pedalaman. Jika ada kecelakaan pesawat atau helikopter, Henny tidak ketinggalan melakukan pencarian. Puluhan kasus kecelakaan di tengah hutan belantara Papua berhasil ditemukan Henny.
Sejak AMA beroperasi di Papua tahun 1956, misionaris Fransiskan membantu kebutuhan AMA. Tetapi, tahun 1958 Ordo Fransiskan melepaskan tugas itu. Untuk menghidupkan kegiatan, pihak AMA harus memungut biaya tiket relatif mahal demi kepentingan penerbangan itu.
Ini dilakukan karena tidak ada pendonor termasuk pemda setempat. Mengoperasikan pesawat AMA, membayar gaji pilot, dan karyawan sangat bergantung pada penjualan tiket. "Memperbaiki bagian roda pesawat yang rusak saat kecelakaan di Bandara Wamena pada Maret 2006, misalnya, kami keluarkan biaya Rp 1,5 miliar. Dana sebesar ini diambil dari hasil penjualan tiket," kata ayah empat putra ini.
Cuaca buruk
Di negara maju, jenis Cessna tidak dipakai lagi. Tetapi di Papua masih menjadi primadona. Sekitar 400 lapangan terbang di Papua memiliki tingkat kesulitan berbeda-beda. Misalnya, posisi lapangan miring, dipenuhi rumput, terdapat batu-batuan, batu karang, onggokan batu, gundukan tanah, jarak pacu hanya sampai 400-600 meter, dan sebagainya.
Demikian pula perubahan cuaca secara mendadak. Sebenarnya tidak ada kesulitan melakukan penerbangan di Papua. Menurut Henny, kecelakaan selama ini diduga bersumber dari pilot, bukan kelalaian teknisi. Setiap pesawat yang telah terbang 25-100 jam selalu melakukan inspeksi seperti pemeriksaan motor, oli, filter, landing gear, dan sebagainya. Sebelum terbang, teknisi memeriksa bahan bakar, muatan, dan nama penumpang, kemudian mendapat tanda tangan dari pilot untuk terbang
"Selama ini masyarakat hanya kenal pilot, tetapi sebetulnya sebuah penerbangan melibatkan satu tim besar, mulai dari kesiapan administrasi, penjualan tiket, dan seterusnya sampai tanda tangan akhir pilot," katanya.
Sumber : Kompas, Kamis, 8 Juni 2008
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment