Jun 19, 2009

Handoko Wibowo : Handoko, "Guru" Petani Batang

Handoko, "Guru" Petani Batang
Oleh : Subur Tjahjono

Sulit untuk tidak mengaitkan gerakan petani di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dengan pria lajang bernama Handoko Wibowo (44) ini.

Oleh kalangan aktivis demokrasi ia disebut aktor dominan atau aktor eksternal dalam proses demokratisasi di Batang. Oleh rezim yang berkuasa, ia mungkin disebut ”provokator” karena ikut menggerakkan berbagai unjuk rasa petani.

Namun, pengacara kelahiran Pekalongan 9 November 1962 itu lebih suka disebut guru gerakan petani di Batang. Rumahnya di Dukuh Cepoko, Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Batang, adalah tempat persinggahan berbagai kalangan.

Beragam orang seperti petani, aktivis lembaga swadaya masyarakat, politikus, dan mahasiswa, datang ke rumahnya. Umumnya untuk urusan politik, tetapi kadang sekadar mendengar laporan Mbah Umar Said yang menunjukkan jahitan di selangkangannya sehabis operasi karena tidak bisa kencing seperti yang terjadi Selasa (24/1).

Handoko adalah kontradiksi. Ia berlatar belakang etnis China dan seorang Kristiani di tengah mayoritas Muslim petani pantai utara Jawa itu. Rumahnya—warisan orangtua—berdiri di atas tanah delapan hektar, di tengah petani penggarap yang rata-rata tidak punya tanah.

Kontradiksi ini pula yang sempat dipertanyakan aktivis Partai Rakyat Demokratik ketika berkunjung ke rumahnya beberapa waktu lalu. Aktivis itu mempersoalkan kondisi borjuasi Handoko yang kontradiktif dengan kelompok petani yang dia perjuangkan. ”Sulit menjelaskannya, tetapi itulah misteri kehidupan,” kata putra sulung pasangan Teguh Budi Wibowo (almarhum) dan Lena Indriana itu.

Keputusannya bertahan sejak tahun 1998 hingga sekarang mendampingi petani Batang merupakan perpotongan pengalaman masa lalu ayahnya, pergaulan masa kecilnya dengan anak petani, serta rasa belas kasihan terhadap nasib petani penggarap Batang.

Ayahnya—orang terkaya di Batang periode 1960-an—ditahan tiga bulan karena diindikasikan anggota Partai Komunis Indonesia oleh orang China sendiri hanya karena aktif di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Ayahnya juga menjadi korban pemerasan pejabat, sehingga selalu ingin dekat penguasa dan jenderal. ”Karena itu Ayah mendorong saya belajar hukum, supaya tidak dikurangajari,” tuturnya.

Eksperimen politik

Sekembalinya ke Bandar tahun 1987 seusai menamatkan kuliah hukum di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, ia mendapati perusahaan cengkeh ibunya bangkrut dan menjadi korban pemerasan. Setelah ikut membantu membereskan utang, tahun 1991 Handoko mendapat izin pengacaranya. Kasus pertama yang dia tangani adalah kasus ibunya sendiri menghadapi gugatan berhubungan dengan bisnisnya.

Kasus keduanya adalah menjadi anggota tim hukum Arief Budiman yang dipecat UKSW pada 31 Oktober 1994. Dari situ ia berkenalan dan belajar dari sejumlah advokat senior yang juga anggota tim, seperti Adnan Buyung Nasution dan Nursyahbani Katjasungkana.

Kasus publik yang akhirnya membuatnya ikut gerakan petani Batang adalah saat menjadi pengacara Keluarga Korban Limbah Kali Banger Pekalongan. Di Pengadilan Negeri Pekalongan dua tahun lalu kasus ini menang, kecuali ganti rugi yang dianulir dari Rp 750 juta menjadi Rp 50 juta.

Sejak itu ia didatangi warga yang berkonflik tanah. ”Kerja reformasi ini seperti kerja di sarang laba-laba. Makin kita berusaha keluar, makin ditarik,” ujarnya.

Pernah ada suatu fase, yaitu 17 Agustus 2001, ia sempat berpikir bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Ia sempat berpamitan kepada teman petaninya. Namun, besoknya rumahnya didatangi petani yang memintanya tidak pergi. ”Dengan berat hati tidak saya teruskan, tetapi tetap tinggal di sini,” katanya.

Mbah Mardjukan (77), petani yang pernah tinggal 15 tahun di Pulau Buru karena dituduh terlibat Barisan Tani Indonesia tahun 1965, terkesan oleh pidato Handoko yang dinilainya ”progresif revolusioner”. ”Ia berpidato agar petani segera sadar menuntut haknya atas tanah. Kata-kata ’menuntut hak’ itu kan politis,” ujar Mbah Mardjukan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Batang Jakub Widodo menyebut Handoko sebagai orang ketiga di peta perpolitikan lokal Batang setelah Bambang Bintoro, Bupati Batang dari PDI-P, dan Agus Tjondro Prayitno, anggota DPR dari Fraksi PDI-P. ”Handoko adalah kekuatan penyeimbang antara Bambang Bintoro dan Agus Tjondro,” ujar Jakub.

Meskipun demikian, Handoko sama sekali tidak tertarik masuk ke dunia politik. Berangan- angan pun tidak. ”Ini bagian dari inkonsistensi gerakan kalau saya masuk politik,” ujarnya.

Kini bersama Forum Paguyuban Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NBP), Handoko ”bereksperimen” mengubah gerakan mereka dari gerakan sosial menjadi gerakan politik. Mereka berupaya merebut jabatan politik di pemerintahan desa dan DPRD Batang dengan memperkuat basis dan representasi. Dengan demikian calon yang diperoleh benar-benar berakar.

Handoko mengaku sedang belajar bagaimana mengubah orang-orang ini menjadi orang yang demokratis. ”Harapan saya, mereka menjadi petani yang bermartabat,” katanya.

Sumber : Kompas, Senin, 6 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks