Jalan Pengabdian Donatus Moiwend
Oleh : Putu Fajar Arcana
Donatus Moiwend (58) duduk tenang di balkon gedung GOR Jayapura, Papua. Pagi itu Gubernur Papua JP Solossa sedang membuka Kongres Dewan Kesenian Se-Indonesia dan Pesta Budaya Papua Ke-4. Topi gunung di kepalanya membuat ia lebih tampak sebagai ”preman” terminal ketimbang seniman. Sosoknya yang tinggi legam sungguh tidak ramah untuk ukuran orang Indonesia.
Penampilan dan ukuran fisik tidak selamanya mencerminkan realitas sesungguhnya. Don, begitu ia minta namanya disebut, minta untuk mengobrol di emperan GOR. Ia tidak ingin tampak tidak menghargai acara seremonial berskala nasional, yang dihadiri oleh ratusan seniman dari seluruh Indonesia.
”Lukisan saya ada di biara di seberang jalan,” kata Don membuka cerita.
Di sebuah biara bernama Santo Fransiskus terdapat kapel kecil. Di dinding sebelah kanan Don menginterpretasikan wujud Santo Fransiskus, seorang Italia yang menjalani kehidupannya sebagaimana dijalani Kristus. Menurut kisahnya, kata Don, Santo Fransiskus meninggalkan seluruh kehidupan mewah untuk mengabdi kepada kejelataan. ”Beliau bahkan bisa bicara dengan binatang,” tambah dia.
Don melakukan naturalisasi terhadap kisah itu dengan menempatkan Santo Fransiskus pada setting alam Papua. Maka yang tampak adalah alam tropis dengan binatang-binatang, seperti burung cendrawasih dan kanguru, serta bulan dan gunung, dan perbukitan yang hijau. Lukisan itu dikerjakan Don pada bulan Mei 1982.
Di kompleks biara itu Don melukisi tiga dinding. Dua lukisan lainnya terdapat di balai pertemuan, yang juga mengisahkan kehidupan Santo Fransiskus.
Kami lalu sepakat naik ”taksi” (istilah lokal untuk angkutan kota) menuju ke arah Katedral Kristus Raja, yang terletak tepat di atas Teluk Numbey. Di dinding pintu masuk katedral sudah terpampang lukisan Don, yang ia kerjakan tahun 1990.
Lelaki dari suku Marind kelahiran Kampung Bibikem, Kecamatan Imam, Merauke, 31 Oktober 1947, ini mengerjakan mural di dinding katedral dengan seri khotbah Kristus. Seluruh lukisan di katedral diupayakan Don tetap mengenakan unsur-unsur daerah asal Yesus Kristus.
”Katakanlah saya sedang berkhotbah lewat lukisan,” kata Donatus. Hal yang istimewa, Don melakukan khotbah lewat gambar pada hampir sebagian gereja yang tersebar di berbagai pelosok Papua. Seluruh bagian depan sebuah gereja di Enarotali, Kabupaten Paniai, ”berhiaskan” lukisan karya Don. Ia juga diminta melukisi dinding beberapa gereja di kota kelahirannya, Merauke.
”Semua itu murni pengabdian,” ujar lelaki yang pernah magang kepada pelukis berdarah Belanda, Arie Smit, yang tahun 1979 masih tinggal di daerah Sanur, Bali. (Smit kini tinggal di Vila Sanggingan Ubud milik Sutedja Neka dalam usia hampir 90 tahun.)
Jalan hidup
Ihwal kepelukisan Donatus Moiwend sesungguhnya dimulai ketika atas jasa Asia Foundation ia dikirim magang ke Bali. ”Di situ saya temukan kepercayaan diri karena lukisan saya mulai dibeli orang,” tutur Don. Diam-diam, kata dia, ketika ia ”keluyuran” ke pelosok-pelosok Bali, Arie sebagai gurunya menjual lukisan Don kepada para tamunya dari Eropa.
”Mungkin kalau saya yang jual harganya tidaklah semahal kalau Pak Arie yang jual, karena yang beli adalah tamu-tamu beliau. Jadi saya numpang beken juga, he-he...,” cerita Don terkekeh. Giginya tampak putih dan rapi.
Don mulai mencorat-coret di atas media kertas dan kayu dengan warna-warna tradisional, sewaktu ia bertugas sebagai penjenang di pedalaman Enarotali tahun 1969. Waktu itu, kenang Don, seluruh kampung hampir-hampir tak berpenghuni karena sedang terjadi pemberontakan. ”Saya datang sebagai orang asing untuk mempersiapkan kunjungan Presiden Soeharto,” kata Don.
Ia bertugas selama 11 tahun di situ. Sebelumnya Don pernah mendapatkan Kursus Pendidikan Masyarakat tahun 1965-1968 di Biak dan kemudian bertugas pertama kali di Nabire tahun 1969 sebagai penjenang. ”Di semua tempat tugas sebagai pegawai negeri itu saya terus melukis, ya hanya sebagai hiburan belaka, untuk bunuh kesepian,” kata lelaki yang kini bekerja di Panti Asuhan Hawaii, Sentani, itu. Di panti asuhan ini pula Don bersama keluarga tinggal sampai kini.
Pastilah itu menjadi bukti lain betapa ia mencurahkan hampir seluruh biografi hidupnya untuk pengabdian. Suatu kali memang ia pernah berpikir sebagai pelukis yang goblok lantaran tetap memandang lukisan sebagai artefak ritual. Sementara di sisi lain lukisan telah diperlakukan sebagai benda komoditas yang nilainya selalu diukur dari murah dan mahal. ”Tetapi inilah (mungkin) jalan hidup saya. Mari, saya jalani saja, entah di mana berujung nanti...,” kata Don. Sebuah tekad yang membaja, sebagaimana tulang-tulang yang menyangga tubuhnya.
Sumber : Kompas, Jumat, 16 September 2005
Jun 25, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment