Dominggus dan Kalpataru
Oleh : Agung Setyahadi
Di lengan kanan Dominggus Ledrick Sinanu (54) terdapat tato simbol pohon kalpataru. Di bawahnya gambar pita yang bertuliskan Kalpataru; di bawahnya lagi angka tahun 1981 dan D Sinanu.
"Saat saya dapat Kalpataru ini, saya sumpah jabatan kepada Tuhan untuk mengabdi kepada orang banyak," kata Sinanu, penyelamat hutan mangrove di Teluk Dalam Ambon, Provinsi Maluku, awal Februari.
Sinanu mendapat Kalpataru berkat usahanya sejak tahun 1977 menanami hutan mangrove yang rusak di Teluk Ambon. Bagi Sinanu, Kalpataru bukan sekadar penghargaan dari negara, melainkan amanat Tuhan yang harus ia jalani demi kebaikan umat manusia dan isi bumi.
Benar saja, lingkungan mangrove yang ia selamatkan kini menjadi periuk nasi bagi puluhan keluarga di daerah Mata Paso, Desa Lateri, Kecamatan Baguala, Kota Ambon. Ikan, teripang, siput, kerang, udang, dan rajungan merupakan hasil tangkapan di wilayah Teluk Ambon sehingga bisa menjadi pendukung perekonomian keluarga nelayan di daerah itu.
Lingkungan mangrove yang lestari itu juga menjadi tempat tinggal berbagai spesies burung, bebek laut, kuskus, ular, dan tentu saja kaya dengan plankton. Keanekaragaman hayati itulah yang kemudian membuat peneliti dan mahasiswa Universitas Pattimura menjadikan hutan mangrove di Teluk Ambon itu sebagai laboratorium alam. Di bawah bimbingan Sinanu, banyak mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berhasil menyelesaikan studinya.
"Peneliti dari Kanada, Inggris, dan Jepang juga pernah meneliti di sini. Anak-anak SD, SMP, dan SMA di Ambon juga banyak ke sini untuk membuat karya ilmiah," ungkap mantan petinju teman seangkatan Ellyas Pical di Sasana Garuda Pattimura ini.
Dedikasinya membantu peneliti itu mengantarnya memperoleh penghargaan Satya Lencana Pembangunan tahun 1995. Sinanu juga membagi pengetahuan tentang konservasi mangrove serta budidaya tambak ikan baronang kepada nelayan di Bali, Lombok, dan Jawa.
Menanam mangrove
Sinanu tergerak menanami mangrove ketika selaku nelayan, ikan hasil tangkapannya terus menurun. Untuk mengatasi hal itu, ia berpendapat hutan mangrove harus dilestarikan. Penebangan mangrove untuk kayu bakar dan tiang penyangga bangunan harus dihentikan.
"Dulu, hutan mangrove ini bisa dilalui mobil dari Mata Paso ke Negeri Lama karena tidak ada pohon lagi," kenang Sinanu.
Ia secara otodidak mengusahakan pembibitan pohon bakau yang dia ambil dari alam. Saat air surut, ia menanam bibit mangrove di lahan gundul yang membentang dari Mata Paso, Negeri Lama, Nania, Poka, Wayame, Lateri, Halong, hingga Air Luwu. Semua dengan biaya sendiri. Sebagian hasil penjualan ikan ia sisihkan untuk membeli kantong plastik pembibitan.
Sepanjang tahun 1977-1979 ia sudah menanam sekitar 10.000 bibit bakau. Penanaman terus ia lakukan hingga pertengahan tahun 2006.
Penanaman bakau kemudian menjadi program kuliah kerja nyata mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Ambon. Mereka tidak perlu membeli bibit mangrove, cukup menyetor kantong plastik supaya Sinanu bisa tetap membibitkan mangrove.
"Saat kerusuhan (sosial), para pengungsi juga saya ajak menanam mangrove. Saya berpikir, mangrove bisa menjadi pohon perdamaian. Dengan menanam mangrove, mereka bisa melepaskan diri dari segala emosi," kata Sinanu.
Sinanu ketat menjaga hutan mangrove dari penebang liar. Pohon hanya boleh ditebang bila sudah rusak. Pohon patah karena angin kencang, misalnya, hanya boleh dipotong bagian yang patah saja. Peraturan itu dapat berjalan karena nelayan merasakan manfaat hutan bakau.
Terancam rusak
Zaman keemasan nelayan Teluk Ambon itu kini nyaris tinggal kenangan. Hutan mangrove itu mengalami sedimentasi hebat akibat erosi perbukitan sekitar teluk. Perbukitan yang menjadi daerah tangkapan air itu dibuka untuk perumahan. Akibatnya, tanah erosi masuk ke teluk dan menyebabkan pendangkalan.
"Lumpur dari atas itu menimbun kolam-kolam saya hingga rata. Akar napas pohon bakau juga ikut tertimbun sehingga banyak yang kering. Sekitar 2.500 pohon rusak. Ini bukan kerugian bagi saya saja. Nelayan kini tidak bisa lagi melaut. Mereka jadi buruh bangunan karena ikan tidak ada lagi," kata Sinanu dengan mata berkaca-kaca.
Pembukaan lahan Bukit Lateri oleh pengembang perumahan pada tahun 2004 menyebabkan sedimentasi setebal 2 meter-5 meter dengan jangkauan hingga 150 meter dari bibir pantai.
Kekecewaan Sinanu semakin menjadi saat gugatannya kepada pihak perusahaan pengembang itu, di Pengadilan Negeri Ambon, ditolak dengan alasan tidak memenuhi prosedur hukum. Pemerintah Provinsi Maluku dan Kota Ambon pun dinilai Sinanu tidak mendukungnya dalam usaha penyelamatan lingkungan.
"Kalau pemerintah daerah tidak menghargai lingkungan yang saya bina sejak 30 tahun lalu, Kalpataru ini akan saya kembalikan ke Menteri Negara Lingkungan Hidup. Tidak ada lagi yang patut diberi penghargaan karena hutan mangrove sudah rusak. Tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dari Teluk Ambon," ujar Sinanu menegaskan.
***
BIODATA
Tentang Dominggus Sinanu
Nama: Dominggus Ledrick Sinanu
Lahir: Mata Paso, Ambon, 1953
Istri & anak: Istri sudah meninggal dengan dua putri, Since dan Diana.
Pendidikan: Kelas III sekolah rakyat
Pengalaman:
- Petinju (1979-1981)
- Menanam bakau (sejak 1977)
- Narasumber penelitian keragaman hayati hutan mangrove di Teluk Dalam Ambon.
- Orang pertama di Maluku yang berhasil membudidayakan baronang di karamba di hutan mangrove.
Penghargaan:
- Kalpataru (1981)
- Satya Lencana Pembangunan (1995)
Sumber : Kompas, Kamis, 15 Februari 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment