Heulang Jawa dalam Mimpi Dili
Oleh : Gesit Ariyanto
Masa lalu tak mengenal kata "seandainya". Namun, kalau saja Dili (61) sepuluh tahun lalu berhasil mengambil anakan elang jawa (Spizaetus bartelsi) di sarangnya, di ketinggian pohon, lalu menjualnya demi "uang rokok", mungkin ia masih dapat ditemui berjualan jagung bakar di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Terhitung sejak tahun 1996 itu, ayah delapan anak tersebut dikenal sebagai pemandu wisata "nonton burung" di kawasan perkebunan teh Cibulao, yang berbatasan dengan Cagar Alam Telaga Warna. Ia tak lagi berkutat dengan karung-karung jagung, arang, dan asap, tetapi mendaki bukit berkemiringan sekitar 60 derajat untuk membuka akses ke pohon sarang dan mendampingi pemantauan.
Ribuan turis dan peneliti dari mancanegara, seperti Jepang, Perancis, Belanda, Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat, pernah didampinginya bersama sejumlah aktivis pemantau burung.
Didukung istrinya, Onah, Dili mantap menjalani hidup menjadi pemandu turis dan peneliti, selain menjaga vila milik perusahaan kebun teh. Dari sanalah honornya berasal. "Begini saja bapak sudah cukuplah," ungkapnya ketika ditanya mengenai ekonomi keluarganya.
Rumahnya berada di dusun Cibulao, setengahnya berdinding anyaman bambu dengan hiasan kalender yang sudah lewat tahun. Ubin plesteran berlubang di beberapa bagian dengan satu set sofa tua plus televisi 14 inci dan pemutar VCD.
Di rumah dengan dua kamar tidur itu para peneliti dari dalam dan luar negeri pernah menginap atau sekadar singgah. Dari dapur bertungku itu pula Onah memasak untuk menjamu turis dan peneliti.
Selama mengamati dan memandu, peneliti dari Jepanglah yang banyak menularkan ilmu kepada Dili. Mereka intensif meneliti perilaku elang jawa yang berkerabat dekat dengan elang gunung jepang.
Dari para peneliti Jepang pula, ia mengenal peristilahan ilmiah mengenai konservasi burung. Ia pun lalu paham cara menjebak elang jawa, memasang radio transmiter pelacak, hingga cara mengambil sampel darah untuk diteliti di laboratorium.
Selama menekuni aktivitasnya itu, jarang sekali Dili memandu wisatawan atau peneliti Indonesia. Bukan karena memilih-milih pekerjaan, tetapi memang sangat jarang.
Mengenai hal itu, ia berujar, "Orang Indonesia mah barodo, naliti artos wae, bukannya burung. Padahal, burung kan juga bagus diteliti." Lalu, ia pun tersenyum.
Selain soal elang jawa, ia juga paham menerangkan beberapa pengetahuan mengenai burung-burung migran yang pada musim-musim tertentu singgah di kawasan Puncak.
Salah satu keahliannya yang lain adalah memanggil elang jawa dengan bunyi siulan tertentu. Cara itu, menurut para pemantau burung, manjur.
Suara dalam mimpi
Bisa dikatakan, Dili-lah orang pertama yang mengetahui keberadaan elang jawa di kawasan Cibulao, sebelum berkenalan dengan para aktivis pemantauan burung pemangsa (raptor).
Pertautannya dengan kegiatan konservasi elang jawa diwarnai suara-suara dalam mimpinya. Ketika itu, bersama tetangga dan saudaranya ia sedang berusaha keras mengambil anakan elang jawa.
"Suara dalam mimpi itu bilang, saya boleh ambil burung, tapi gantinya harus nyawa saya atau saudara. Saya benar-benar takut," kenang dia. Pagi harinya, isi mimpi itu dia ceritakan kepada keluarga dan para tetangganya.
Sejak itu, anakan dan induk elang jawa terbang bebas hingga sekarang. Indukan yang sama, betina Mega dan pejantan Wiro, sudah menghasilkan enam anakan yang terus diteliti secara intensif dan menjadi model penelitian elang jawa.
Selama sepuluh tahun terakhir, Dili adalah saksi perkembangan enam keturunan pasangan Mega-Wiro di habitatnya yang sekarang. Terakhir, ia keluar masuk hutan tiga hari untuk mencari tahu lokasi sarang Togel, salah satu anakan yang mulai mandiri.
"Hutan ini harus dijaga betul-betul supaya elang tetap bertahan. Syukurlah, sejauh ini warga tidak suka mengganggu," tuturnya.
Keterlibatan intensifnya melindungi dan meneliti elang bermula dari ketidaksengajaan. Tahun 1996 lalu, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat yang bekerja sama dengan peneliti Jepang sedang mencari-cari lokasi baru sarang elang jawa.
Di tengah upaya itu, bertemulah mereka dengan Dili yang ketika itu masih berjualan jagung bakar. Dari gambar yang mereka tunjukan, Dili tahu bahwa burung itulah yang urung dia tangkap.
Penduduk Cibulao, Puncak, menyebut elang jawa dengan elang kuncung (karena berjambul), elang bangor/nakal (karena memangsa anak ayam), atau elang ruyuk (gerakan meliuk ketika menerkam mangsa).
Hanya Dili satu-satunya penduduk Cibulao yang aktif dalam konservasi burung simbol satwa langka nasional itu. Kepada Usman (20), salah satu anak lelakinya, ia berusaha menularkan ketertarikannya itu.
Salah satu kegundahan Dili kini menyangkut kebijakan pemerintah yang justru membahayakan keberadaan elang jawa. Belum lama ini, pemerintah daerah bermaksud mengubah Rawa Cisaat menjadi waduk demi alasan wisata. Proyek itu sungguh berdampak buruk.
Proyek terbengkalai itu berada di tengah kebun teh dan masuk wilayah "kekuasaan" pasangan Mega-Wiro—pasangan elang jawa itu. Setidaknya 30 pohon besar di sekitar rawa kini mati meranggas. Padahal, di rawa itulah Mega-Wiro biasa berburu tikus, makanan favoritnya.
Dampak proyek wisata di Rawa Cisaat itu membuat kantong makanan bagi elang jawa—yang merupakan obyek utama wisata "nonton burung" sekaligus obyek penelitian—menjadi terganggu. Selain itu, ratusan penduduk Cibulao pun kekurangan air bersih.
"Jangan sampai hutan turut rusak," ungkap Dili bernada prihatin.
Sumber : Kompas, Rabu, 29 November 2006
Jun 10, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment