Kesetiaan Sederhana Darsi
Oleh : Ardus M Sawega
"Duh mbok gunung reratune mami/bisa karya lamong/kadya pundi wusanane, anggone ingsun arsa niyati/tan wurung ngemasi rakanto mbok gunung/Sanadyan piranga warsi/nora wurung wong ayu sing nggoleki/pinangka usada branta…"
Bayangkan ketika tembang Dandanggula Wacan tersebut dilagukan dengan nada suara berat, lantang, penuh emosi dari Gatotkaca yang lagi kasmaran. Ketika satria ganteng berkumis baplang dari Pringgodani itu bersilutut seraya kedua tangannya bergetar mengacung ke depan, mendamba ke arah Pergiwa, gadis asal Pertapan Andongsumawi.
Wah, kalau Bapak sedang gandrungan seperti itu hati terasa nyes. Bukan hanya saya yang gogloh (runtuh), banyak wanita lain kepincut, tutur Darsi Pudyorini (74) mengisahkan adegan tari Gatotkaca Gandrung yang menampilkan dirinya dengan suami, Roesman (1926-1990).
Dalam wawancara dengan Kompas tahun 1982, Roesman digambarkan Darsi sebagai "ganteng, cakrak, dan setiap kali mengalunkan tembang Pangkur Palaran suaranya bisa melumpuhkan lutut perempuan". Roesman lalu mengibaratkan istrinya sebagai "tali yang mengendalikan saya dari perbuatan tak wajar". Pernyataan itu seperti pedoman di tengah kehidupan seniman tradisional Jawa yang cenderung longgar secara moral.
Tari fragmen Gatotkaca Gandrung membawa pasangan Roesman dan Darsi, keduanya penari kelompok Wayang Orang Sriwedari Solo, menjadi penari legendaris sejak tahun 1950-an. Sudah ratusan kali tari tersebut dibawakan keduanya di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Istana Merdeka Jakarta masa Presiden Soekarno.
Gatotkaca Gandrung adalah favorit Bung Karno, dan selalu dipertunjukkan setiap kali ada tamu berkunjung ke Indonesia. "Kalau bukan Gatotkaca Gandrung, Bung Karno membuat kreasi tari Gatotkaca-Burisrawa. Burisrawa-nya dibawakan Pak Surono (juga penari Sriwedari). Tetapi beliau minta tetap ada adegan Gatotkaca gandrung pada Pergiwa," Darsi mengenang.
Hati penonton dibikin gemas setiap kali tampil adegan Pergiwa berdiri di atas satu kaki Gatotkaca dan bersahut-sahutan melagukan tembang asmara. Konon Bung Karno terkesan, bila Roesman melakukan adegan Gatotkaca trisik—dia istilahkan nggledek, berlari kecil sambil kaki diseret saat hendak "terbang".
Sekalipun menjadi penari kesayangan Istana, Darsi mengaku ia dan suami belum pernah memperoleh hadiah khusus dari Bung Karno. "Saya pernah menerima hadiah dari Ibu Fatmawati berupa kebaya dan kain jarik gaya Yogyakarta," ungkap Darsi di rumahnya di Kampung Kalitan, Solo, Rabu (14/11).
Berpasangan
Pada 2 November 2007, Darsi menerima Piagam Hadiah Seni dari Pemerintah melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang diserahkan Menbudpar Jero Wacik di Candi Prambanan. Piagam itu menyebutkan, penghargaan itu diberikan Pemerintah Indonesia atas prestasinya yang luar biasa dalam bidang seni.
Selain piagam, Darsi juga menerima uang, tetapi ia tak mau menyebutkan jumlahnya. "Saya malah belum menghitung. Berapa pun bagi saya cukup banyak, untuk menambah modal," ungkap Darsi yang membuka usaha persewaan pakaian pengantin dan tari.
Dedikasi Darsi di bidang tari, terutama tari Jawa tradisional, tak diragukan lagi. Terlahir 5 April 1933 dengan nama Darsiyah dari anak seorang juru kemasan di Kampung Kebonan, selatan Taman Kebon Raja Sriwedari, Solo, Darsi belajar menari pada RNg Wiryopredoto yang lalu menariknya menjadi pemain di Wayang Orang (WO) Sriwedari saat ia berusia 14 tahun.
Ia dan Roesman, yang kemudian jadi pasangannya, menjadi ikon WO Sriwedari sejak 1950 hingga Roesman tutup usia pada 1990. Pasangan itu, dan sejumlah pemain WO Sriwedari yang statusnya di bawah dinas pariwisata setempat, baru diangkat sebagai pegawai negeri tahun 1986.
Sekalipun telah pensiun sejak 1991, selama beberapa tahun Darsi tetap setia naik pentas WO Sriwedari. Sekalipun kesenian wayang yang dulu nyaris jadi mitos di tengah masyarakat Jawa itu, kini tak lagi punya penonton. Ia dan suaminya—sampai akhir hayat—setiap malam bermain di panggung Sriwedari. Mereka berboncengan naik skuter atau becak dari rumah ke Taman Sriwedari yang jaraknya tak jauh sekalipun honor mereka pun tak menutup ongkos naik becak.
Bahkan, pada usia di atas 70 tahun, Darsi masih menari. Terakhir ia menari atas undangan mantan Menteri Sosial Nani Soedarsono pada tahun 2004 di Jakarta. Walau fisik telah mengeriput, peran yang dia bawakan selalu wanita muda yang canthas-trengginas. "Untuk menutup keriput terpaksa bedaknya tebal-tebal," ujarnya ketawa.
Ia sejak dulu mendapat peran yang lanyap, mbranyak seperti Srikandi, Mustakaweni, Dewasrani. Pemeranan itu, dalam konsep tari Jawa, disesuaikan dengan gandar atau karakter fisik penari. Dalam beberapa kesempatan ia juga menari sebagai Menakjingga, Kelana Topeng, Dewi Durga, Narasoma, hingga Gatotkaca palsu dalam perhelatan wayang orang yang dibawakan para perempuan.
Kini, Darsi mengaku tak sanggup lagi menari. Postur tubuhnya tak lagi gemuk segar seperti 25 tahun lalu sewaktu Kompas mewawancarainya. Sekarang lututnya suka goyah bila berdiri agak lama, tetapi ia mengaku tak pernah sakit serius. "Kecuali kepala mumet, dan kalau sudah bisa muntah, tubuh terasa sehat lagi."
Sejak muda ia tak suka minum jamu, juga tak mengonsumsi minuman khusus menjelang atau usai menari. Nglakoni (laku asketik) atau puasa pun dia tak pernah. Bahkan, setiap kali melahirkan—delapan kali melahirkan—ia juga tak minum jamu dari dukun bayi, seperti adat perempuan Jawa.
"Sampai usia kandungan lima bulan pun saya masih naik panggung. Ya, terpaksa perutnya diplethet (diikat) setagen. Setelah bayi usia tiga lapan (3 x 35 hari) saya menari lagi," cerita ibu dari enam anak, sembilan cucu, dan dua cicit ini.
Mumpuni, tapi Buta Huruf
Roesman, suaminya, menggambarkan Darsi sebagai perempuan jujur, lugu, dan bersahaja. Justru karena keluguannya, Darsi menjadi "rem" yang menyadarkan, hidup tak perlu harus menuntut.
Sekalipun mumpuni menari dan segala pengetahuan yang berhubungan dengan kesenian Jawa, ia tetap bersahaja. Darsi pun menyimpan kekerasan hati, juga sikap mandiri. Itu dia buktikan saat memutuskan bergabung menjadi penari (profesional) WO Sriwedari.
Ia mendatangi ayahnya, Carangkoro, meminta restu. Ayahnya menolak keras, anak priayi kok jadi penari. Kalau Darsi nekat jadi penari, anak gadisnya itu dilarang menginjak halaman rumah. Meski sambil menahan tangis, Darsi tetap membulatkan tekad.
Sejak usia dini Darsi belajar pada RNg Wiryopredoto di Ndalem Mangkuyudan. Berbakat dan punya "tulang baik", pelajaran menari dan menembang dikuasainya. "Saya belajar secara kupingan (mendengar). Semua gending dan wulu-suku-nya saya hafal sampai sekarang," katanya.
Tak satu pengetahuan pun yang membuat dia mampu menari dan menembang sampai tingkat mumpuni itu dilakukan lewat catatan. Ia buta huruf karena hanya sampai kelas satu SD. Belakangan, ketika anak-anak telah dewasa, ia belajar menulis dan membaca.
Dari enam anaknya, hanya si sulung Rusini yang menjadi penari. Menyayangkan kesenian wayang orang tak lagi diminati masyarakat, Darsi melihat zaman memang berubah. "Ya maklum, sekarang hiburan ada di mana-mana," ujarnya.
Sumber : Kompas, Kamis, 15 November 2007
Jun 1, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment