Jun 1, 2009

Abdul Madjid, Tegak Dalam Badai

Abdul Madjid Tegak dalam Badai
Oleh : Sutta Dharmasaputra

Hari ini, Jumat 16 November 2007, usianya genap 90 tahun. Namun, melihat perawakannya, orang tak akan menyangka. Badannya masih kekar, tegak. Prinsipnya tentang negara kebangsaan Indonesia apalagi. Pikirannya tetap cemerlang dan mengalir dalam kalimat-kalimat yang bernas tertata.

Tegak dalam Badai Sebuah Jalan Politik dipilih menjadi tema perayaan 90 tahun Abdul Madjid yang akan diadakan di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, malam ini. Acara yang, menurut dia, digagas anak-anak biologis maupun ideologisnya. Adhyaksa Dault, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, adalah ketua panitianya.

"Saya sebenarnya tidak ingin ulang tahun dirayakan karena sebagai pensiunan DPR tak punya banyak uang. Tapi, anak- anak justru bilang salah kalau HUT Ke-90 tidak dirayakan," ucap Madjid di rumahnya di bilangan Setiabudi, Jakarta, Rabu (14/11/2007) sore.

Di panggung politik nasional, sosok dan peran Abdul Madjid tak asing lagi. Kini dia bisa jadi satu-satunya politisi aktif yang punya pengalaman paling panjang di negeri ini.

Sejak tahun 1945 dia sudah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun yang sama dia dikirim oleh Dr Ratulangi, Gubernur Sulawesi, berkeliling Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara untuk menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Meski sempat masuk daftar hitam tentara Belanda, dia berhasil meyakinkan masyarakat Minahasa untuk ikut menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Padahal, saat itu Minahasa dikenal sebagai daerah yang beraliran Republik Indonesia Serikat dan Twappro (Twaatde Provinci), tempat para pensiunan KNIL yang menghendaki Minahasa dijadikan provinsi ke-12 dari negeri Belanda.

Selain fasih berbahasa Belanda, dia pun dikenal sebagai orator ulung. Ketika Bung Karno berkunjung ke Makassar dalam rangka pengibaran Sang Merah Putih di Lapangan Karebosi, dan malam harinya diadakan pertandingan pidato, dia merebut juara pertama. Dalam wejangannya, Bung Karno sempat menyatakan merasa "keok" dengan pemuda Abdul Madjid.

"Apakah Bung Karno hanya membesarkan hati saya? Bagi saya terserahlah. Yang pasti Bung Karno pernah menyatakan ’keok’ terhadap saya," ucap ayahanda Ratna Riantiarno, penggiat Teater Koma, itu terkekeh.

Abdul Madjid bisa disebut politikus yang paling lama duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tahun 1959 dia sudah duduk sebagai anggota Konstituante. Ia juga sempat mengalami sebagai anggota DPRS/ MPRS pada tahun 1967-1971 serta menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) selama dua periode, yaitu 1972-1977 dan 1977-1982.

Pada masa reformasi, dia juga sempat menjadi anggota DPR dari PDI Perjuangan periode 1999-2004. Saat itu, ayah dari sembilan anak ini menjadi anggota Dewan tertua.

Penampilan politikus berkumis tebal dan berjanggut lebat ini pun khas. Kopiah hitam, kacamata hitam, tongkat, dan cangklong yang tak pernah lepas dari mulutnya ke mana pun dia pergi.

Kini, dia juga aktif sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Kehidupan politik tidak bisa dipisahkan darinya.

Badai politik

Kendati usianya sudah hampir seabad, perhatian Abdul Madjid terhadap negara tetap tinggi. Dalam perbincangan, dia sempat mengungkapkan kegelisahannya. Indonesia saat ini tengah dilanda badai politik.

Badai itu bukan bersifat fisik, tetapi badai politik terhadap Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Indikasinya, penghayatan dan pengamalan Pancasila yang semakin mengambang. Nilai-nilai gotong royong juga makin hilang. Akibatnya, kata dia, budaya Indonesia juga hilang.

Baginya, Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila merupakan warisan para pendiri bangsa yang harus dipertahankan sampai kapan pun.

Menurut dia, dalam Pancasila itu sesungguhnya terkandung nasionalisme Indonesia yang khas. Nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme yang chauvinistis, tetapi justru mendorong hidup bersaudara dengan bangsa-bangsa lain dengan aman dan damai. Nasionalisme Indonesia juga bukan sekadar bangga dengan tradisi, melainkan nasionalisme yang memerdekakan dan menghidupkan. Karena itu pula, Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika.

Demokrasi Indonesia bukan sekadar dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi sangat menitikberatkan untuk rakyat.

"Yang mutlak itu justru untuk rakyat. Dari rakyat dan oleh rakyat, kalau tidak berjuang untuk rakyat bukan demokrasi Indonesia," tegasnya.

Hal ini juga tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, di mana sila keempat dan kelima dari Pancasila dibaca dalam satu napas. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "Ini tertulis dalam pembukaan."

Demokrasi Indonesia juga harus diridai Tuhan. Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan ketuhanan karena dalam Pembukaan UUD 1945 hal ini pun ditegaskan. "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya."

Abdul Madjid yang turut mendirikan negeri ini semakin prihatin dengan tidak dianggap pentingnya nilai-nilai kebangsaan. Padahal, dalam Pembukaan UUD 1945, kebangsaan menempati kedudukan yang vital.

Pidato Bung Karno, kata Abdul Madjid, menyebutkan, yang kita dirikan adalah negara kebangsaan Indonesia. Pidato itu pun diterima secara aklamasi oleh sidang BPUPKI. Karena itu, bila bangsa ini menghormati para pendiri bangsa, seharusnya negara kebangsaan Indonesia ditegakkan.

Abdul Madjid lalu mengutip Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang dia ucapkan dengan lancar di luar kepala. "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

"Sekarang ini banyak yang tidak tahu cita-cita proklamasi. Kalau ditanya, pasti harus berpikir dulu. Parpol pun tidak ada yang menempatkan cita-cita itu sebagai tujuan perjuangan, hanya PDP," ujarnya.

"Saat ini orang berpolitik bukan berjuang untuk rakyat, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Banyak yang berpolitik hanya untuk mencari kedudukan dan duit," katanya prihatin.

Pudarnya nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan ini karena pada era Orde Baru, Pembukaan UUD 1945 hanya dibaca teks harfiahnya belaka, bukan makna di balik kalimat. Karena itu, sejak zaman Orde Baru, dia lantang menyatakan keyakinannya, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tidak akan membuat orang menjadi Pancasilais.

Pada usianya kini, Abdul Madjid ingin terus mewariskan nilai-nilai yang pernah dia dengar langsung dari pendiri bangsa. "Saya yang 90 tahun ini ingin mewariskan demokrasi Indonesia," ucapnya.

Sedemikian optimistis dia, kalau menelepon Abdul Madjid, Anda akan mendengar nada tunggu yang juga mencerminkan perasaannya itu.

Dia memilih lagu Badai Pasti Berlalu sebagai ring tone-nya.

Selamat ulang tahun eyang....

(ush)

Sumber : Kompas, Jumat, 16 November 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks