Jun 19, 2009

Bernhard Bart Merevitalisasi Songket Minang

Bernhard Bart Merevitalisasi Songket Minang
Oleh : Yurnaldi

Kalangan masyarakat di Sumatera Barat berdecak kagum melihat hasil kerajinan tangan kain tenunan songket yang sangat halus dan bernilai seni tinggi di Rumah Songket ErikaRianti, Padang. Salah satu warisan nenek moyang mereka, yang sudah terkubur 200 tahun lalu, kini hidup lagi.

Kalau saja tidak ada seorang Bernhard Bart (58), yang suka berwisata ke Ranah Minangkabau, Sumatera Barat, warisan budaya Minangkabau berupa tenunan songket itu barangkali sudah punah.

”Untuk bisa menghasilkan bentuk jadi seperti sekarang butuh waktu 10 tahun. Setiap kali waktu libur dan punya dana tabungan untuk modal wisata, saya selalu mengunjungi museum- museum dan toko-toko antik di sejumlah negara, kolektor serta sentra-sentra tenun kerajinan tangan, seperti di India, seluruh negara ASEAN, dan China selatan,” kata Bernhard Bart, seorang arsitek berkebangsaan Swiss.

Setiap yang ia lihat dan temukan, ia minta izin untuk mencatat dan mendokumentasikannya. Sebab, untuk beli, kata Bernhard, jelas tak mungkin. Sangat mahal karena sudah menjadi barang antik dan langka.

Bersama Erika Dubler serta sahabatnya yang seniman, Alda Wimar dan Nina Rianti, mereka kemudian sepakat mendirikan Rumah Songket EtikaRianti, agar karya seni yang terancam punah itu bisa menggeliat lagi.

Jauh-jauh hari Bernhard, Erika, Nina, dan Alda telah memotivasi dan membina sejumlah remaja di sentra-sentra penghasil songket yang terancam punah. Alat-alat tenun songket dibelikan, motif lama yang tenggelam sekitar 200 tahun itu digambar dengan komputer dan diberikan kepada masyarakat agar dibuatkan replikanya, sesuai dengan asal kain songket tersebut.

Maksudnya, kata Bernhard, kalau motif lama itu berasal dari Nagari Kotogadang, dikembalikan ke Kotogadang, Kabupaten Agam. Motif dari Nagari Tanjung Sungayang dikembalikan ke Sungayang, Kabupaten Tanahdatar. Yang asal Pandai Sikek, Kabupaten Agam, dikembalikan ke Pandai Sikek.

”Saking halusnya dan dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam pembuatannya, satu selendang kain songket baru bisa selesai dikerjakan selama enam bulan,” kata Bernhard.

Di Indonesia, ia menemui beragam motif songket dan ikat yang berciri etnik, mulai dari Tanah Batak di Sumatera Utara yang terkenal dengan ulosnya hingga ke Tanimbar di Maluku Tenggara, yang terkenal dengan tenun ikatnya. Namun, sejak tahun 1996 Bernhard jatuh cinta dengan songket Minangkabau.

”Keunikan motif lama songket Minangkabau adalah karena setiap motif mengandung arti dan makna filosofis. Sedangkan di daerah lain, motif songket hanya sebagai ornamen ataupun hiasan saja,” ujarnya.

Dua tahun lagi tuntas

Sebagai arsitek yang ahli tenun songket, Bernhard bercerita panjang dengan Kompas soal alat tenun, cara tenun (teknik), jenis dan ukuran benang, pewarna alami, maupun corak. Dengan membawa satu dus berisi ribuan foto-foto dokumentasi yang tertata dengan rapi dan semua tercatat melalui katalog, ia dengan tangkas memungut foto untuk mendukung penjelasannya.

”Lebih dari 1.000 corak/motif sudah saya gambar dengan komputer. Dari corak yang sederhana sekali (hanya dua baris yang berbeda) sampai corak yang sangat rumit dengan lebih daripada 110 baris dan lebar sampai 260 gigi (istilah dalam tenun). Yang sebesar ini hanya bisa ditemukan di dalam kain songket khas Kotogadang,” ungkapnya.

Menurut dia, songket lama dari Kotogadang adalah yang terhalus di dunia yang masih ditenun dengan tangan. Di India selatan, penenun juga menyongket kain sari (pakaian perempuan India) yang juga lebih halus, tetapi ditenun dengan sistem jaguard. Penenun tidak mencukie (istilah Minang, untuk mengangkat benang untuk membuat motif) sendiri, corak langsung diberi komputer.

Dijelaskan lebih jauh, di India, kata Bernhard, ada teknik tenun seperti ikat, ikat dobel (patola), songket, tapis dan sebagainya, ada teknik hiasan kain seperti sulaman, batik, dan plangi. Penenun dari kota Mandalay di Myanmar terkenal, mereka menenun kain yang amat halus ditenun dengan teknik tapesty weaving. Karena itu, pihaknya bisa membandingkan baik alat tenun, teknik tenun, maupun motif/corak.

Tahun 1996 Bernhard sempat bertemu Hj Rohani, yang ketika itu berumur 76 tahun. Hj Rohani baru belajar menenun kain songket khas Tanjung Sungayang (Basahi Hitam) tahun 1965 dari ibunya yang juga seorang penenun.

”Hj Rohani ketika itu memiliki sehelai Basahi Hitam, berhasil menenun replika kain tradisional yang digunakan untuk tangkuluak (penutup kepala) oleh perempuan dan selendang oleh laki-laki (penghulu). Ibu Hj Rohani, penenun satu-satunya di Sumbar yang masih menenun dengan halaman depan kain ke bawah. Motif lama songket Minangkabau ’tempo dahoeloe’ ditenun dengan teknik ini. Di Pandai Sikek kain dibalik, yang bagus ke atas. Dengan teknik ini penenun bisa menenun lebih cepat, tapi hasil kurang bagus,” kata Bernhard.

Uniknya, untuk melakukan revitalisasi, membuat replika motif lama songket Minangkabau ini, Bernhard harus mencari benang sutra asli yang cocok (makau) dan berkualitas sampai ke Singapura. Belinya minimal sebanyak 500 kilogram dengan harga 5.000 dollar AS. Ia melukiskan, satu selendang butuh benang lebih kurang 150 gram.

Benang-benang itu, menurut dia, kemudian diberi pewarna alami agar tahan lama dan berkualitas, tidak dari pewarna kimia. Alat-alat tenun juga dibuat dan didesain sendiri ada dengan bahan kayu dan ada dari bahan besi. Termasuk alat/mesin untuk menggintir benang dari sutra tunggal yang cukup kuat untuk losen dan pakan.

”Dalam tempo dua tahun lagi semua akan tuntas. Tinggal menulis buku untuk masing-masing daerah. Artinya, setelah kita bina penenun dan lalu kita berikan buku agar lebih berkembang, diharapkan songket Minangkabau dengan motif lama kembali menggeliat,” papar Bernhard Bart.

Rumah Songket ErikaRianti, yang kini dipimpin Nanda Wirawan, akan menggelar pameran songket lama hasil revitalisasi tersebut. Saat ini sudah siap 40 helai songket motif lama. Sampai rencana Pameran September 2006 di Jakarta, jumlahnya diperkirakan akan bertambah, terdiri dari salendang, tutuik, dan ikek.

Sumber : Kompas, Rabu, 1 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks