Jun 19, 2009

Baiq Mardayu, Sang Kader "Pemborong"

Baiq Mardayu, Sang Kader "Pemborong"
Oleh : Khaerul Anwar

Ketika semua hasil jerih pekerjaan selalu dihitung dengan materi, masih adakah orang yang mau bekerja sukarela tanpa imbalan? Ada. Baiq Mardayu (45), istri Lalu Hayat dari Mataram, Nusa Tenggara Barat, adalah contohnya.

Ibu tiga anak warga RT 07, Lingkungan Karang Pule, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat ini sudah menjadi ”kader” selama 17 tahun. Kader yang dimaksud di sini adalah melakukan kerja sosial, tanpa imbalan uang yang memadai.

Tahun 2005 memang dia dan kader lain mendapat insentif Rp 60.000 sebulan—jumlah yang kurang memadai untuk tugas yang mereka jalankan. Sebelumnya, imbalan yang didapat berupa berobat gratis di Puskesmas Karang Pule. Insentif lain: dikenal masyarakat yang suka menyapanya ”Buk Dokter” atau ”Buk Bidan”.

”Kami puas jika anjuran kami dipatuhi warga, atau munculnya inisiatif para ibu yang minta pil KB karena jatahnya habis diminum,” kata Mardayu menceritakan kepuasan kerjanya.

Boleh dibilang, Mardayu adalah kader ”pemborong”. Bukan pemborong tender proyek, tetapi pemborong kegiatan yang digelar multi-instansi, seperti kader pos pelayanan terpadu (posyandu), kader keluarga berencana (KB), petugas minum obat (PMO) bagi penderita tuberkulosis (TBC), serta tutor bagi warga yang buta aksara latin. Karenanya, baik-buruknya citra pelayanan instansi teknis menjalankan programnya ada dalam genggamannya.

Berat agaknya tugas Mardayu dan para kader lainnya, apalagi yang dihadapi bukan teknis medis, melainkan nonmedis, terutama soal sosial budaya: perilaku yang merugikan cara hidup sehat, yang umumnya ada pada masyarakat akar rumput yang berpendidikan rendah, minim pengetahuan, miskin harta, dan tinggal di lingkungan permukiman kumuh.

Dia punya cara sendiri menghadapi situasi demikian, misalnya mendatangi dan mengajak suami-istri mengobrol seputar kebersihan lingkungan hingga masalah KB. Kadang, dia berdebat dengan para suami yang sok tahu menafsirkan dalil agama dan melarang istrinya memasang alat KB. Kerap kali pula dia harus merayu kalangan bapak penderita TBC agar rajin minum obat.

Model pendekatan itu, tak pelak membuat Mardayu jadi tempat berkeluh kesah dan ”penyelamat” kalangan ibu rumah tangga yang kemudian diusahakannya memasang alat KB tanpa sepengetahuan suami yang melarangnya untuk itu. Persoalan seperti ini dialami para ibu dengan lima-enam orang anak.

Namun, ada juga ibu-ibu yang bersikap skeptis terhadap Mardayu. ”Untuk apa ditanya-tanya, mau ngasi bantuan?” begitu reaksi ibu rumah tangga saat Mardayu mendata keluarga miskin, pedagang bakulan, dan lainnya yang akan mendapat subsidi modal usaha dari instansi teknis.

Terkadang rasa kesal membalut hati Mardayu. Umpamanya, walau dia sudah keliling kampung menginformasikan adanya penimbangan balita (bayi di bawah usia lima tahun) di posyandu, ada saja ibu dan balita yang tidak datang pada hari ”H”.

Kocek pribadi

Kepedulian dan senang adalah kata kunci Mardayu menjadi kader selama 18 tahun. ”Awalnya saya berlima, yang lain berhenti karena menikah dan alasan lain, tinggal saya yang bertahan, membantu teman kader lain,” ucapnya.

Kalau diukur dari tingkat ekonomi, lulusan SMA ini tinggal mengurusi anak dan suaminya yang pegawai negeri sipil. Tetapi, mata batinnya tidak mampu menutup realitas sosial di sekitarnya. ”Saya tidak punya uang, tetapi saya punya tenaga untuk membantu orang lain.”

Oleh karena itu, Mardayu–seperti halnya para kader lainnya—berani korban uang. Suatu ketika, dia membawa ibu yang akan melahirkan pada pukul 24.00. Dia kemudian mencarikan kendaraan cidomo (kereta kuda khas di Lombok), mengantar dan menemani di tempat persalinan (puskesmas, rumah bidan), selain mengeluarkan isi kocek pribadi untuk ongkos transportasi.

Mardayu juga harus siap jalan bila ada keperluan mendadak. Menjelang subuh, Mardayu pernah didatangi seorang lelaki dengan membawa parang. Katanya, istrinya lemas, menggigil setelah operasi steril. Dia bergegas jalan kaki melihat kondisi pasien dan menelepon petugas lapangan keluarga berencana. ”Ternyata ibu itu tidak pernah makan sejak dioperasi.”

Lain hari, Mardayu menemani seorang ibu dan balitanya hendak memasang alat KB berupa inplan. Sementara sang ibu dipasangi alat kontrasepsi, Mardayu menggendong bocah ibu itu. Tak dinyana, sang bayi buang air kecil disusul buang air besar, yang kemudian membasahi pakaian Mardayu.

Peran Mardayu dan kader lain tidak disangsikan menjadi ujung tombak bagi instansi pemerintah, jembatan penghubung rakyat dengan penguasa, membuka mata hati dan kata hati kalangan yang lebih suka omong kemiskinan dan pemberdayaan rakyat miskin ketimbang berbuat secara nyata.

Sumber : Kompas, Rabu, 25 Januari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks