Jun 29, 2009

Arif Havas Oegroseno, di Balik Pertahanan Ambalat

Arif Havas Oegroseno, di Balik Pertahanan Ambalat
Oleh : Rakaryan S

SETAHUN sebelum persoalan "perebutan" klaim atas wilayah perairan di Laut Sulawesi yang kita namakan blok Ambalat dan Ambalat Timur mencuat ke permukaan, Arif Havas Oegroseno SH LLM (42) telah sibuk memperdalam pemahamannya atas wilayah di Laut Sulawesi itu dan hak Indonesia atas wilayah tersebut.

SEBAGAI Direktur Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri, Havas menyurati Pemerintah Malaysia ketika negara itu meributkan pemberian konsesi baru oleh Indonesia untuk mengeksplorasi kekayaan minyak dan gas di blok Ambalat Timur. Pada intinya, ditegaskan bahwa wilayah Ambalat dan Ambalat Timur adalah milik Indonesia.

"Sejak tahun 1960-an kita juga sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu, dan mereka tidak pernah ribut. Bahkan setelah peta Malaysia tahun 1979 diumumkan, kita juga memberikan beberapa konsesi minyak di sekitar itu, Malaysia juga diam saja. Itu kan artinya mereka mengakui kedaulatan kita atas wilayah itu. Mengapa mereka sekarang ribut dan mengklaimnya?" kata bapak dua anak ini.

Maka dari itu, ketika Malaysia meneruskan klaim mereka dengan mengeluarkan konsesi untuk eksplorasi migas di sekitar blok Ambalat dan Ambalat Timur, Havas langsung menyiapkan "amunisi" untuk menghadapi para pemikir Malaysia. Untuk perundingan dengan Malaysia, tim perunding Indonesia memiliki 10 kasus serupa dan sejumlah perjanjian antarnegara yang bisa mendukung posisi Indonesia dalam penarikan garis landas kontinen dan ZEE di laut Sulawesi.

HAVAS mencapai kursi Direktur Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan sejak 31 Desember 2003 melalui perjalanan panjang. Lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, ini mendapat gelar LLM dari Harvard Law School, Amerika Serikat.

Putra keluarga pegawai negeri Amir Fattah dan Yuniarti ini sempat pulang ke Indonesia untuk meminang Sartika, putri pelukis kenamaan Barli Sasmitawinata. Ia kemudian mengambil cuti kerja setahun dari Deplu dan bekerja di Lawyer, Bracewell and Patterson Law Firm, sebuah kantor hukum yang terbilang kecil di Houston, AS.

"Saya hanya ingin mencari pengalaman. Di sana saya bertugas di legal advice department, jadi bukan orang yang tampil di pengadilan. Tapi sampai akhir saya bekerja di sana, saya lulus tes jadi lawyer di Amerika," ungkap pria kelahiran Semarang 12 Maret 1963 ini.

Menyadari Indonesia memiliki beberapa persoalan perbatasan dengan negara-negara tetangganya, pada tahun 2004 ia mengikuti kursus khusus mengenai hukum perbatasan di satu-satunya tempat untuk studi perbatasan, yaitu International Boundaries Research, Durham University, Inggris.

Pada kursus itu, Havas mempelajari sejumlah kasus perbatasan dan tinjauan dari sisi aturan hukumnya, termasuk kasus yang mirip dengan persoalan Indonesia-Malaysia sekarang ini terkait blok Ambalat.

Dosen pengajar di Kursus Studi Perbatasan itu antara lain David Anderson, negosiator kawasan Inggris untuk soal delimitasi yang sekarang menjadi hakim di tribunal Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On the Law of the Sea/Unclos); Rodman Bondy, pengacara kawakan delimitasi batas laut yang sudah sering berperkara di Mahkamah Internasional; Prof Morris Mandelson, pakar public international law; Dr Fox Smith, pakar US Ocean Policy Division.

Hasilnya, Havas pun kini semakin yakin akan kebenaran garis-garis perbatasan yang sudah dibuat para pakar hukum laut Indonesia terdahulu. Cara Indonesia menentukan batas-batas wilayahnya sudah berpegangan pada aturan-aturan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB.

LULUSAN pendidikan calon diplomat Deplu angkatan 13 (1986-1987) dengan peringkat kelulusan terbaik di angkatannya itu semakin terasah setelah bertugas sebagai petugas urusan hak asasi manusia (HAM) di Perwakilan Tetap RI Geneva (1993-1997). Di kota ini pula Havas membesarkan Faiz (11) yang lahir di Jakarta dan mendapatkan putra kedua, Nabila (8).

Havas sempat menduduki jabatan Kepala Seksi HAM Direktorat Organisasi Internasional Deplu (1997-1998), kemudian merintis dibukanya kembali hubungan diplomatik antara Indonesia dan Portugal yang dibekukan tahun 1989. Diawali dari petugas Kantor Urusan Kepentingan Portugal (1999-2000) bersama seorang karyawan Deplu lainnya, dia kemudian menjabat sebagai Kepala Bagian Informasi dan Sosial-Budaya (2000-2003) setelah Kedutaan Besar RI secara resmi hadir di Lisabon, Portugal.

"Setelah masalah Timtim selesai, hubungan kita dengan Portugal jadi luar biasa. Dari dua negara yang tadinya akan berkelahi, kini menjadi sangat dekat sekali. Kami menyelenggarakan cultural week Indonesia, tetapi hampir sebulan penuh di Lisabon. Kita menggelar tarian Bali, dan tiketnya sudah habis dipesan sebulan sebelumnya. Saya juga menyelenggarakan festival film Indonesia, memutarkan film Cut Nyak Dien, Daun di Atas Bantal, dan Bulan Tertusuk Ilalang, juga sambutannya sangat baik," kenang Havas.

Ketika itu dia memang bertekad mengubah wajah Indonesia, yang di kalangan warga Portugal hanya dikenal karena soal Timor Timur, menjadi wajah sebuah negeri yang sepatutnya dikunjungi. Hasilnya, kunjungan warga Portugal ke Indonesia yang semula rata-rata lima orang per hari menjadi hampir 100 orang per hari.

Meninggalkan Portugal, Havas dioleh-olehi Pemerintah Portugal sebuah buku mewah, yaitu buku puisi karya-karya Luis De Camoes bertitel Lusiadas. "Kita mewarisi banyak dari Portugal. Prosesi Paskah yang sekarang ada di Flores, itu persis sama dengan yang pernah ada di Portugal, dan terakhir kali dilaksanakan di sana tahun 1950," papar Havas, yang tinggal empat tahun tiga bulan di negeri itu.

Meski hari-harinya sangat padat dengan masalah, seperti masalah perbatasan dengan Malaysia, Timor Timur, Singapura, serta menyelesaikan sejumlah perjanjian internasional, dalam keseharian Havas tetap terlihat tenang dan riang. Ketenangan itu pula yang dipertunjukkannya sebagai Ketua Tim Perunding Indonesia saat berunding dengan tim teknis Malaysia, beberapa pekan lalu di Bali.

Hasilnya? "Nothing to worry about…. Di lihat dari sisi mana pun, posisi kita sangat kuat," ungkap diplomat yang hobi membaca dan menonton itu. (RAKARYAN S)

Sumber : Kompas, Selasa, 5 April 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks