Payadnya, Drama Gong Seni yang Lentur
Oleh : Putu Fajar Arcana
SETAHUN setelah peristiwa berdarah, lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI di mana hampir 100.000 orang lebih dibantai, situasi kesenian Bali begitu gamang. Sebagian besar seniman dirundung ketakutan karena kesenian pada masa-masa sebelumnya dianggap terlibat terlalu jauh dalam urusan-urusan politik praktis. Mereka bahkan hampir-hampir tak berani menyebut diri seniman.
SITUASI itu justru membuat Anak Agung Gde Raka Payadnya (61) tertantang. Sebagai lulusan Konservatori Karawitan (Kokar) Denpasar, ia merasa memiliki bekal untuk melahirkan sesuatu yang kira-kira dibutuhkan oleh zaman. Secara kebetulan di Pura Desa Abian Base, Gianyar, di mana ia tinggal, akan diselenggarakan upacara.
"Waktu itu kami diminta mementaskan sendratari, tetapi karena waktunya mepet, maka bersama kawan-kawan kami buat drama klasik," tutur Payadnya di sela-sela menjadi juri lomba membuat makanan Bali dalam rangka ulang tahun ke-234 Kota Gianyar, 19 April 2005.
BERSAMA para seniman lain, seperti Nyoman Sunarta dan I Wayan Sumerta, pada 24 Februari 1966 Payadnya mementaskan Jaya Prana di pelataran Pura Desa Abian Base. Ia tidak menduga itulah yang menjadi awal lahirnya sebuah bentuk kesenian Bali (modern) bernama drama gong. Istilah drama gong diberikan kemudian oleh Ketua Kokar waktu itu, IGN Pandji, ketika menyaksikan kelompok Wijaya Kusuma pimpinan Payadnya berpentas di suatu tempat.
"Awalnya saya hanya sebut drama klasik saja, tapi Pak Pandji memberi nama drama gong karena menggunakan gong sebagai iringannya," kata Payadnya.
Sejak itu, tutur Payadnya, Wijaya Kusuma diundang pentas ke berbagai tempat. "Sebelum kalender terbit, seluruh tanggalnya sudah habis dipesan, ha-ha- ha," kata dia. Sebagai pemeran Jaya Prana, seorang abdi raja yang setia, nama Payadnya berkibar. Ia menjadi idola publik Bali waktu itu.
Berselang setahun, kelompok drama gong tumbuh di mana-mana, sampai akhirnya Lembaga Kesenian Nasional menyelenggarakan festival drama gong tahun 1968. Wijaya Kusuma tampil sebagai pemenang utama.
Kerja keras kelompok ini, dengan hampir tak ada hari tanpa pentas dalam sebulan, menghasilkan dua hektar tanah. "Itu aset kami dari hasil bermain drama gong antara 1966 sampai 1975," kata Payadnya. Aset itu dibagi rata setelah Wijaya Kusuma bubar.
KETIKA menciptakan drama gong, Payadnya sesungguhnya berkiblat sepenuhnya kepada bentuk-bentuk kesenian "modern" yang sudah masuk ke Bali sebelum peristiwa berdarah itu. Kebetulan ia pernah menonton tonil dan film. "Makanya drama yang kami bikin itu 80 persen menggunakan bahasa Indonesia, sisanya baru bahasa Bali. Adegan pun sudah diatur seperti dalam film, bahkan kami sudah menulis naskah," kata suami dari Anak Agung Rai Candra ini.
Candra tak lain adalah pemeran Layonsari dalam lakon Jaya Prana, lawan main Payadnya. Pasangan ini pernah menjadi begitu populer di seantero Bali lantaran akting mereka yang menyihir. Bahkan, tanpa kesan sombong, Payadnya bercerita ia jarang berani keluar rumah lantaran takut dihadang para gadis.
"Sampai saya takut keluar. Banyak orang yang menunggu di depan rumah..., ha-ha-ha," kenangnya.
Drama gong kemudian menjadi bentuk kesenian Bali modern pertama yang mengikuti struktur dramaturgi dalam seni-seni modern. Bentuk kesenian baru ini kemudian sepenuhnya menggunakan bahasa Bali sehari-hari. Oleh karena itu, ia menjadi begitu cepat akrab dengan publik Bali sampai ke pelosok-pelosok desa.
Pada masa jayanya, daerah ini pernah mencatat ratusan kelompok drama gong. "Terutama antara tahun-tahun 70-an, justru ketika Wijaya Kusuma mulai redup karena banyak pemainnya yang sibuk," kata Payadnya.
Ketika era televisi memasuki Bali pada tahun 70-an, lagi-lagi drama gong seperti mendapat angin baru. Kesenian ini menjadi mata acara yang paling ditunggu pemirsa. Lahirlah kemudian tokoh-tokoh populer, seperti Luh Sukerti atau Wayan Lodra yang senantiasa berpasangan dalam setiap lakon.
Drama gong, kata Payadnya, sejak mula dilahirkan merupakan bentuk kesenian populer. Ia akan dengan sangat mudah mengikuti perkembangan selera publik penonton. "Sekarang, misalnya, di mana orang sedang banyak yang sumpek, maka drama gong yang menonjol adalah bentuk-bentuk komedian. Bahkan dugaan saya lebih dari 50 persen isi pentas drama gong sekarang banyolan saja," katanya.
SEBAGAI bidan drama gong, Payadnya tak merasa keberatan. "Karena memang ini seni populer, dia harus mengikuti perkembangan. Kalau jenis kesenian seperti Arja atau Gambuh, ya kita jadikan inspirasi saja.... Sayang kalau diubah-ubah," kata dia.
Menurut peraih penghargaan Dharma Kusuma tahun 2004 dari Gubernur Bali Dewa Made Beratha ini, saat kelahirannya drama gong pernah memancing polemik keras di koran lokal. Para seniman modern, kata Payadnya, keberatan kalau bentuk kesenian baru itu disebut drama. "Karena, katanya, tidak memenuhi unsur-unsur drama, ha-ha-ha...," kata dia.
Namun, bersama Wijaya Kusuma, Payadnya jalan terus. Terbukti kendati kelompok ini resmi bubar tahun 1975, drama gong tetap eksis. Ia malah secara lentur menyesuaikan diri dengan media baru seperti televisi. Sebagai bukti kelenturan lain, kata Payadnya, ia bahkan pernah membuat lakon dengan judul Pedang Biru. "Ini adaptasi dari cerita silat Mandarin, dan tetap digemari nyatanya," ujar mantan anggota DPRD Gianyar periode 1992-1997 ini.
Drama gong kini seperti menjadi muara paling populer dari seluruh persoalan kontemporer masyarakat Bali. Walau sebagian besar ceritanya bersumber dari cerita panji, ia selalu bisa saja mengadopsi masalah-masalah baru yang merundung masyarakat kini.
Drama gong dalam perkembangan kini tidak lagi mengambil bentuk kelompok yang mapan. Raka Payadnya, misalnya, meski tak punya kelompok, ia bisa saja "dibon" bermain dengan kelompok lain. "Tak perlu latihan. Datang dan langsung main, sudah klop," kata ayah dari tujuh anak ini.
Kini tidak banyak yang tahu kalau drama ini mengambil bentuk-bentuk tonil dan pengadeganan mirip film. Ia terlanjur dipahami sebagai bentuk kelanjutan dari tradisi seni Gambuh dan Arja yang klasik itu. (Putu Fajar arcana)
Sumber : Kompas, RAbu, 27 Mei 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment