Jun 12, 2009

Amir Adenan : Dinding Serat Bambu Adenan

Dinding Serat Bambu Adenan
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty

Menaikkan pamor bambu merupakan ambisi Amir Adenan (70). Di tangannya, bambu bukan sekadar penyangga bangunan atau bahan bangunan kelas dua, tetapi merupakan bahan pokok untuk dinding dari serat bambu.

Pria yang masih aktif mengajar mata kuliah struktur dan konstruksi bangunan di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, itu terus-menerus berkutat mencari komposisi yang paling pas untuk bahan bangunan alternatif berbahan baku bambu.

"Saya punya gagasan untuk memanfaatkan limbah dari serat bambu. Setelah saya coba sejak tahun 1997, jadilah dinding dari bahan serat bambu yang tidak kalah kuat dibandingkan dengan dinding dari kayu atau batu bata," tutur Adenan.

Dinding berbahan serat bambu yang dimaksud Adenan berbentuk seperti lapisan kayu. Dinding berukuran 60 sentimeter x 240 sentimeter hasil rancangan Adenan itu kerap diikutsertakan di sejumlah pameran arsitektur. Ketebalan dinding bisa diatur sesuai dengan kebutuhan. Untuk pembatas luar rumah, ketebalan dinding dibuat hingga 2,5 sentimeter. Namun, untuk penyekat ruangan di dalam rumah, ketebalan satu sentimeter sudah cukup.

Bahan baku pokok yang dibutuhkan adalah serat bambu. Serat bambu paling mudah didapatkan dari limbah industri kerajinan bambu. Namun, bahan baku ini bisa didapatkan dari pengolahan bambu utuh, termasuk bambu yang sebelumnya digunakan sebagai penyangga bangunan yang baru saja dibuat.

"Pembuatan dinding berbahan serat bambu ini bisa memanfaatkan seluruh jenis limbah bambu. Potongan-potongan bambu sepanjang satu meter juga bisa dimanfaatkan," tuturnya.

Serat bambu itu diolah dan direkatkan dengan bantuan semen. Untuk mendapatkan tekstur bambu, Adenan menganjurkan untuk mengurangi jumlah semen sehingga kontur bambu yang kasar bisa terlihat untuk memunculkan kesan alami.

Dari sejumlah uji coba tentang daya tahan bambu, Adenan mendapati setidaknya tiga keunggulan dinding berbahan serat bambu, yakni ulet sehingga tidak mudah patah, tangguh menghadapi sejumlah gejala alam seperti gempa bumi, serta hemat dibandingkan dengan papan yang terbuat dari kayu.

Daya tahan serat bambu teruji dari sejumlah kejadian alam. Gempa di Yogyakarta pada 27 Mei lalu adalah salah satu bukti nyata. Ketika banyak rumah berdinding batu bata roboh, rumah-rumah dari anyaman bambu (gedhek) justru tegak berdiri.

"Saya semakin yakin pada kekuatan bambu sejak datang ke Bengkulu sekitar tahun 2000. Ketika itu gempa bumi juga menghancurkan sejumlah rumah yang berdinding batu, tetapi rumah bambu selamat," tutur Adenan.

Dari segi harga, Adenan memperkirakan, dana yang dibutuhkan untuk membuat satu dinding berbahan serat bambu berkisar Rp 50.000 saja. Sebagai perbandingan, harga jual lembaran kayu berukuran dua kali lipat dari dinding bambu itu mencapai Rp 175.000. Artinya, pemakai dinding berbahan serat bambu ini bisa menghemat uang sekitar 40 persen.

Di sisi lain, dinding berbahan serat bambu merupakan jawaban atas kebutuhan untuk mendapatkan bahan bangunan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Kebutuhan perumahan saat ini membuat manusia semakin mudah melakukan perusakan hutan, tanah, atau alam lainnya.

Padahal, sebagian alam yang digunakan untuk bahan bangunan mempunyai siklus perbaruan yang mencapai puluhan tahun, atau bahkan tergolong bahan yang tidak terbarukan lagi. Jika usia kayu siap tebang mencapai lebih dari 10 tahun, maka usia yang dibutuhkan bambu hingga siap pakai hanya 3-4 tahun.

Keawetan bambu sudah tidak disangsikan lagi. Sejak zaman nenek moyang, bambu dijadikan sebagai bahan utama untuk bangunan dan bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun.

"Ketika tahun 2000 saya datang ke rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu, anyaman bambu yang menjadi dinding rumah dan dilapisi semen masih ada dalam kondisi baik," kata Adenan, yang pernah mencoba metode pengawetan bambu yang murah dengan mengandalkan tenaga gravitasi.

Keluarga guru

Amir Adenan berasal dari keluarga guru SD di Grobogan, Jawa Tengah. Namun, ia tidak pernah bercita-cita menjadi guru atau dosen. Setelah menamatkan Sekolah Teknik Menengah 1 Solo, tahun 1957, ia bekerja pada seorang kontraktor yang mendapatkan proyek pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM). Pekerjaan ini dilakoninya sembari menjadi guru di STM 1 Jetis, Yogyakarta.

Tahun 1962, Adenan baru mendaftar sebagai mahasiswa angkatan pertama pada Jurusan Arsitektur UGM. Setahun setelah meraih gelar insinyur, Adenan ditawari menjadi dosen di almamaternya. Maka, sejak 1972 hingga 1992, ia resmi menjadi pegawai negeri sipil di UGM.

"Ketika itu saya belum mempunyai ketertarikan khusus pada bambu. Selain itu, laboratorium untuk eksperimen bahan-bahan bangunan juga belum dimiliki UGM ketika itu," tutur suami dari Titi Ismani serta ayah dari tiga putra itu.

Adenan mengakui, meskipun sejumlah keunggulan ada pada dinding serat bambu yang dibuatnya, hingga saat ini riset itu baru sebatas penelitian di kampus karena belum ada pihak lain yang membantu pengembangan massal hasil penelitian itu. Padahal, untuk mencukupi kebutuhan perumahan di Indonesia yang kian meningkat, diperlukan peningkatan alat yang bisa mempercepat proses produksi. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan lahan.

Sumber : Kompas, Selasa, 17 Oktober 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks