Jun 18, 2009

Akmal Taher : Membenahi Belantara RSCM Jakarta

Membenahi Belantara RSCM Jakarta
Oleh : Julius Pour*

Tahun 1988, krisis ekonomi melanda Indonesia, memicu bangkitnya gerakan reformasi untuk mengoreksi jalannya pemerintahan Orde Baru. Bersama sejumlah dosen dari Universitas Indonesia, Akmal Taher datang ke Gedung MPR/DPR di Senayan, meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Melihat kiprah Akmal, seorang seniornya berkata, "Dokter ikut mengurus persoalan politik boleh-boleh saja, tetapi... mampu tidak dia mengelola tugas profesinya."

Prof Dr Akmal Taher, yang waktu itu selain dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) juga dokter bedah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, langsung ditunjuk menjadi Wakil Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM. Penugasan tersebut dia anggap tantangan, yang justru harus dijawab dengan kerja keras. Hasilnya? Beberapa bulan kemudian, posisinya langsung dimantapkan menjadi Kepala IGD RSCM.

Dilihat dari namanya, tugas IGD menangani beragam peristiwa gawat sekaligus darurat. Sementara Jakarta, kota metropolitan berpenduduk lebih dari sepuluh juta jiwa, setiap hari penuh beragam peristiwa, dari kecelakaan sampai aksi kejahatan, dari bencana alam hingga kerusuhan massal. Semua korban dalam dinamika yang melanda Jakarta, dari pengemis sampai pejabat negara, semuanya bermuara di IGD RSCM.

Maka, tidak heran, sebutan populer IGD RSCM adalah denyut jantung masyarakat Ibu Kota. "... apalagi, RSCM sejak awal diposisikan sebagai rumah sakit pusat. Maka juga lantas jadi rujukan siapa saja, mulai dari masyarakat awam sampai petugas keamanan," tutur Akmal, yang kalau disebut lengkap dengan semua gelar profesinya adalah Prof Dr Dr Med Akmal Taher dr SpU (K).

Gelar profesi bukan penunjang penampilan. Dokter umum alumnus UI tahun 1980 itu kemudian memang menjadi spesialis bidang urologi, dilengkapi keberhasilan meraih gelar doktor dari dua universitas, UI dan Hannover Medical School, Jerman.

Setelah dinilai bisa membereskan IGD RSCM, akhir tahun 2005 suami Dr Lenggo Geni Oetomo SpM dan ayah dari Ghifari Ikhwan itu malah diberi tambahan kepercayaan menjadi Direktur Utama RSCM, dilengkapi pada awal tahun 2006 ini diangkat sebagai guru besar FKUI. Sambil tersenyum, lelaki kelahiran Jakarta tahun 1955 itu melukiskan, "Memang... inilah tanda-tanda negara berkembang, tugas profesi masih harus ditambah tugas-tugas lain."

Diringkus Kopkamtib

Pengalaman adalah guru terbaik. Pada sisi lain, nasib manusia juga naik turun. Tampak misalnya pada hubungan Akmal Taher-Soeharto. Ketika tahun 1978 meletus aksi mahasiswa menggugat kepemimpinan Orde Baru, Akmal termasuk tokoh mahasiswa yang diringkus Kopkamtib. "Kebetulan saya Ketua Dewan Mahasiswa FKUI. Akibatnya, selama empat bulan lebih saya ditahan di Kampus Kuning, sampai akhirnya dibebaskan begitu saja tanpa pernah diajukan ke pengadilan, hanya terbatas sebagai saksi," ujarnya.

Persis sesudah 20 tahun peristiwa itu berlalu, pertengahan April 1998, setelah melakukan lawatan ke luar negeri Presiden Soeharto jatuh sakit dan terpaksa dilarikan ke RSCM. Akmal yang masa itu sudah jadi dokter bedah di RSCM direkrut untuk menangani pasien very very important person (VVIP) tersebut.

Tidak adakah sisa dendam dalam lubuk hatinya, khususnya mengingat pengalamannya diringkus oleh anak buah Pak Harto? "Yang selalu saya tanamkan, saya dokter, beliau pasien. Ingatan pengalaman pribadi semuanya saya hilangkan. Yang ada di depan saya adalah pasien. Sesuai sumpah dokter serta tuntutan profesi, semua talenta harus saya upayakan untuk mengusahakan sembuh," ucap Akmal sambil menerawang jauh.

Sekitar dua bulan sesudah ikut menyembuhkan Pak Harto, Akmal bersama rekan dan sejawatnya datang ke Gedung MPR/DPR. Kali ini, lewat para wakil rakyat, dia meminta Pak Harto lengser, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan.

C’est la vie, itulah kehidupan, kata orang Perancis. Perjalanan hidup seseorang memang mengalir tanpa bisa direncanakan.

Serba ruwet

Mereka yang baru pertama kali datang ke RSCM sering bagai terdorong masuk ke belantara. Serba ruwet, sangat sibuk, dan penuh rangkaian lorong ke segala penjuru. Tidak hanya secara fisik kawasan dan beragam bangunannya sangat banyak (lebih dari 10 hektar), telah tua (berdiri sejak tahun 1919), jumlah tenaga kerja di RSCM juga sangat banyak. Terbagi dalam 21 departemen, tenaga medisnya 2.131 dokter, dilengkapi 73 ahli farmasi, 29 ahli gizi, 30 ahli kesehatan masyarakat, 39 ahli terapi fisik, 212 tenaga keteknisan medis termasuk 99 tenaga rekam medis dan 1.875 tenaga lain berikut 1.472 perawat serta bidan.

Selain itu, sejarah pertumbuhannya menarik. Bermula sebagai CBZ yang didirikan tahun 1919, ketika pasukan pendudukan Jepang datang (1942) lantas diubah menjadi Ika Daigaku Byongin, RS Perguruan Tinggi. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, diubah jadi RSON (RS Oemoem Negeri), tahun 1950 jadi RSUP (RS Umum Pusat), tahun 1964 jadi RSUP Dr Tjipto Mangunkusumo disingkat RSTM. Baru kemudian pada tahun 1994 diresmikan sebagai RSUP Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, lebih dikenal sebagai RSCM. Pada akhir tahun 2000, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 116, RSCM ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan sekaligus jadi rumah sakit rujukan nasional.

"Itu sekarang yang harus saya benahi. Maka tugas saya mirip dirigen, menyerasikan segala potensi agar menghasilkan irama yang serasi dan bagus," kata Akmal.

Tentang beragam keluhan buruknya pelayanan dan rendahnya kinerja RSCM? Akmal Taher menjawab, "Kami memang belum sempurna, apalagi kami menangani dua tugas: rumah sakit rujukan sekaligus tempat pendidikan. Saya tak mau berjanji, tetapi yang pasti kami akan berusaha keras memperbaiki keadaan dan melakukan pembenahan."

"Prinsip saya," katanya lagi dengan rendah hati, "layani pasien sebaik mungkin, pelihara kemampuan komunikasi serta jalin terus hubungan pasien-dokter. Itulah kunci sukses profesi kedokteran."

Hari-harinya memang disibukkan dengan tetek bengek beragam tugas. Bertolak belakang dengan awal kariernya (1980-1983) sebagai kepala puskesmas di Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

"Dulu, meski tugas di pelosok perbukitan terpencil dan ke mana-mana naik kuda, saya sangat bahagia. Sebab dokter Geni sama-sama bertugas di puskesmas tersebut." Masa itu pasangan Akmal-Geni baru saja menikah. Mereka bisa bertugas bersama sambil menikmati bulan madu.

*Julius Pour Wartawan Tinggal di Jakarta

Sumber : Kompas, Senin, 3 April 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks