Jun 12, 2009

Achmad Sopandi Hasan : Warna Bumi Achmad Sopandi

Warna Bumi Achmad Sopandi
Oleh : Yunas Santhani Azis

Paling enak menyebutkan predikat yang disandang pria berumur 48 tahun, kelahiran Tasikmalaya, 15 Februari, Achmad Sopandi Hasan. Biar disebut sekenanya, pasti "kena" dan predikat tersebut juga bukan sekadarnya.

Segala karya Sopandi—pemikirannya dan pencapaiannya—berada pada tataran elite, diakui, dan dihormati berbagai kalangan tingkat nasional dan mondial. Bahasa silatnya, Sopandi yang lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1981 itu adalah pendekar yang dihormati kawan dan lawan.

Sopandi adalah pelukis. Lukisannya, yang berciri satu warna, terkenal. Sejak tahun 1975, sudah 101 kali dia memamerkan karya-karyanya secara tunggal dan keroyokan. Pameran digelar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, Maladewa, dan Jepang.

Sopandi adalah seorang senior "anak gunung" walau pada usianya kini, anggota perkumpulan Wanadri itu lebih pas disebut "bapak gunung". Predikat itu pasti diamini remaja pencinta alam hingga Mbah Maridjan yang memiliki dan dimiliki Gunung Merapi.

Sopandi adalah guru. Cuap-cuapnya di muka kelas laku di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, Mara Institute of Technology, dan Universiti Pendidikan Sultan Idris. Dua yang terakhir ada di Malaysia.

Suami guru sekolah menengah kejuruan, Emma Indrawati, itu juga adalah akademisi, peneliti, praktisi geologi (geolog), dan arkeolog. Sopandi sedikit lagi jadi PhD, rajin menekuni lapisan tanah, menyambangi, dan mempelajari lukisan purba di goa-goa.

Hidup Sopandi memang penuh warna-warni. Namun, bila seluruh predikatnya itu bisa dimasukkan ke kantong plastik, diaduk-aduk, dikocok-kocok, sintesis yang keluar pastilah cuma dua, alam dan warna. Kalau keduanya diulek lagi, satu yang dihasilkan, warna alam.

Warna alam

Alam merupakan inspirasi Sopandi dalam berkarya sebagai pelukis, pengajar, peneliti, dan jadi sumber kegilaannya pada warna. Sebaliknya, kecintaannya yang mewarna buta pada warna-warni membuat Sopandi tergila-gila pada alam.

Mana yang lebih dulu, sama saja berdebat soal ayam dan telur. Yang pasti, Sopandi bukan ayam atau telur, tetapi bunyi kotek yang menyuarakan alam dan warna bumi ke sudut dunia mana pun yang bisa dia capai.

Yang membedakan Sopandi dari pelukis lainnya adalah dia sama sekali tak menggunakan cat keluaran pabrik. Semua pigmen warna yang dia butuhkan ada di dapur, pekarangan rumah, jalan tanah yang becek, semak belukar, hutan, pantai, hingga sumur goa bawah tanah.

Untuk menghasilkan bermacam warna, Sopandi menggunakan kesumba, kulit akar mengkudu, bunga srigading, kayu tegeran, buah jelawe, kerang, sarang semut, hematit dan pirit dalam lapisan tanah, sampai batu bara dan jelaga di pantat panci.

Ada yang dikeringkan, ada yang digerus. Semua dilarutkan dengan air tebu, santan kelapa, atau lemak hewan. Kuasnya pun bisa hanya berupa beberapa lembar daun ubi jalar.

"Warna alam itu awet. Lukisan purba yang pakai hematit bisa tahan ribuan tahun. Warna alam malah bisa dimakan, tidak seperti warna-warna kimia," kata Sopandi di sela-sela acara melatih warga Desa Segading, Kutai Timur, Kalimantan Timur, dalam membuat kerajinan rakyat.

Perjalanan hidup terus menumbuhkan minat Sopandi akan indahnya warna yang dihasilkan bumi. Acara mandi-mandi di kali waktu kecil, misalnya, membuat Sopandi terkagum-kagum akan merahnya tanah liat.

Saat bergiat di alam sejak bangku sekolah menengah, dia kerap jengkel sekaligus terpesona pada warna celana panjangnya yang diubah oleh lumpur dan getah ilalang. "Dicuci berkali-kali juga tidak hilang," tutur Sopandi.

Menekuni warna alam membuat Sopandi jadi terkenal dan menyandang bergudang predikat. "Saya jadi laku diundang (ceramah, pameran, mengajar) ke luar negeri," kata Sopandi.

Gelar keilmuannya terus bertambah, juga karena warna alam. Predikat S-2 dia raih dengan mempelajari pewarnaan alam pada batik. Kini dia tengah menyelesaikan studi doktoral dengan meneliti warna-warni lukisan purba di goa-goa Malaysia.

Kepada ilmu pengetahuan, Sopandi menyumbangkan 300 spesies tanaman yang terbukti andal sebagai bahan warna. Beberapa di antaranya tengah dia buatkan hak patennya pada lembaga paten dunia di Swiss.

Warna alam juga membuat Sopandi laris manis sebagai konsultan. Institut Kraf Negara Malaysia, Rotary International, dan perusahaan tambang batu bara PT Kaltim Prima Coal mengangkatnya sebagai konsultan ahli untuk program pemberdayaan masyarakat.

Predikat konsultan juga amat disukai Sopandi. Inilah kesempatan baginya mengenalkan kembali pewarnaan alam kepada masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat sesungguhnya adalah penemu pewarnaan alam, tetapi pengetahuan dan kemampuan itu hilang seiring dengan modernisasi dan industrialisasi.

"Dulu saya sering gangguin mereka (maksudnya, bertandang ke warga pedesaan sebagai peneliti atau pencinta alam). Sekarang, apa yang saya peroleh dari mereka, saya kembaliin lagi," tutur Sopandi.

Selain misi idealis, ada hal lain yang disukai Sopandi atas pekerjaannya sebagai konsultan. Dia leluasa menjalani hobinya, yaitu jalan-jalan ke pelosok negeri dengan bersandal jepit, celana pendek, dan telanjang dada.

Hobi lain yang tersalurkan adalah mandi di kali. Sebagian besar wawancara ini juga dilaksanakan sambil berendam di Sungai Keraitan, di belakang Desa Segading, Kalimantan Timur. Cuma, susah mengajak Sopandi beranjak pergi begitu dia nyebur di kali.

Sumber : Kompas, Senin, 23 Oktober 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks