Jeremy, Kimia Membawanya ke Rusia
Oleh : Kris Razianto Mada
Vincentius Jeremy Suhardi tidak salah ketika ikut kompetisi kimia tingkat sekolah waktu duduk di kelas I SMA St Louis 1 Surabaya. Kompetisi itu menjadi awal keberhasilannya meraih medali perunggu pada Olimpiade Kimia Internasional Ke-39 di Moskwa, 15-25 Juli 2007.
"Padahal saat itu saya bingung, memilih matematika atau kimia. Saya suka matematika karena itu dasar untuk mempelajari semua yang terkait IPA. Tapi, saya juga mulai tertarik pada kimia," tutur Jeremy. Kimia adalah lanjutan dari ketertarikannya kepada pelajaran eksakta. Ketertarikan itu dimulai sejak ia masih di SD. "Saya merasa ada banyak hal di alam bisa dipahami dengan IPA," tuturnya.
Ensiklopedi sains untuk anak menambah ketertarikannya kepada kimia. "Saya belajar lebih banyak lewat buku itu," tuturnya.
Sampai sekarang orangtuanya juga terus memasok berbagai buku tentang kimia. Sebagai notaris sukses di Surabaya, ayahnya, Iwan Suhardi, relatif tidak kesulitan menyediakan buku-buku kimia.
Di SMP, ketertarikan Jeremy kepada IPA sudah lebih spesifik. Di antara fisika dan biologi, ia memilih biologi. Pilihan itu tidak lepas dari sistem pengajaran fisika yang lazim diterapkan di berbagai sekolah. "Lebih banyak teori daripada praktikum," ujarnya.
Sebaliknya di biologi, ia punya lebih banyak kesempatan praktikum. Selain itu, ia merasa biologi bisa menjelaskan cara kerja tubuh manusia. "Saya kagum bagaimana tubuh bisa bekerja secara sistematis. Penjelasan soal itu bisa ditemukan di biologi," tuturnya.
Ketertarikan terhadap biologi dialihkan ke kimia saat ia masuk SMA. Ia merasa kimia memberikan jawaban lebih tepat dan sederhana atas banyak pertanyaan di benaknya tentang kerja tubuh. "Kimia menjelaskan kerja makhluk hidup lewat serangkaian reaksi yang mudah dipahami," ujarnya.
Matematika telah dipelajarinya sejak SD, sementara kimia baru dikenalnya dalam waktu satu setengah semester. Itu pun masih pada tahap dasar, sebatas kurikulum untuk pelajar kelas satu SMA. Padahal, ia harus menghadapi kakak kelas yang telah belajar sedikitnya dua tahun pada kompetisi tingkat sekolah.
Namun, juara ketiga pada kompetisi sekolah itu membuktikan pilihannya tidak salah. Peringkat tersebut juga membuat dia dan empat temannya berhak mewakili SMA St Louis 1 Surabaya mengikuti kompetisi di Surabaya.
Di kompetisi tingkat kota ini, ia menduduki peringkat kedua. Sekali lagi ia melaju ke tahap kompetisi yang lebih tinggi, tingkat provinsi. Di sini peringkatnya melorot ke posisi 9 dari 14 peserta. "Saya merasa itu cambukan untuk berusaha lebih keras. Saya harus menambah jam belajar," tuturnya.
Olimpiade Sains Nasional
Ia dan 13 peserta lain yang memperoleh medali dinyatakan berhak mewakili Jawa Timur pada Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2006 di Semarang. Hanya saja, Jeremy tidak mendapat bimbingan cukup untuk bersaing di kompetisi itu.
Untung ia tidak mengandalkan bimbingan dari Pemerintah Provinsi Jatim semata. Dengan dukungan orangtua, ia mencari pembimbing sendiri dari sekolah lain dan dari para mahasiswa.
Wajar bila ia tidak berharap banyak di OSN. Ia ikut kompetisi itu dengan status pelajar kelas II SMA. Berarti, ia baru mempelajari kimia kurang dari 2,5 semester. Itu pun dilakukan di sela-sela mempelajari bidang studi lain di sekolah. Padahal, lawan-lawannya boleh jadi telah duduk di kelas III SMA.
"Ia tidak menyepelekan pelajaran lain meski berprestasi di kimia. Dari 12 mata pelajaran di sekolah, ia mendapat nilai rata-rata 91,0 dengan skala nilai 0 sampai 100," tutur Ny Yuliati Prayitno, ibunya.
Usaha keras Jeremy membuahkan hasil cukup lumayan. Dari 30 peraih medali bidang kimia di OSN 2006, ia menduduki peringkat ke-25. Dengan demikian, ia termasuk salah satu pelajar yang berhak ikut seleksi pembentukan tim Olimpiade Kimia Internasional 2007 di Moskwa.
Hasil seleksi hampir membuatnya kembali kecewa. Dari 16 pelajar yang dinyatakan lolos, ia menduduki peringkat 16. "Saya kemudian berpikir setidaknya ada kemajuan dari 25 ke 16. Selain itu, saya mendapat lebih banyak pelajaran selama masa persiapan," tuturnya.
Pada seleksi kali kedua untuk memilih tujuh peserta, ia kembali menjadi juru kunci. Seleksi itu diikuti 17 pelajar. Satu pelajar diberi kursi karena berprestasi di Olimpiade Kimia Internasional 2006, 15 lainnya ikut seleksi tahap pertama bersama Jeremy.
Saat seleksi terakhir untuk memilih empat anggota tim inti, lagi-lagi Jeremy menduduki urutan terakhir. "Saya tetap puas. Meski sedikit, kerja keras saya menunjukkan hasil," tuturnya.
Ke Rusia
Kerja keras Jeremy membuahkan hasil. Ia berhak berangkat ke Moskwa bersama tiga pelajar Indonesia lain pada pertengahan Juli 2007. Setelah bertanding selama 10 hari sejak 15 Juli, ia dinyatakan meraih medali perunggu dan menduduki peringkat ke-101. Dengan peringkat itu, ia berada di posisi ketiga di antara empat anggota tim Indonesia. "Saya senang. Dari kompetisi itu saya menilai kualitas pelajar Indonesia tidak lebih buruk dibandingkan dengan pelajar negara lain. Kalau mau, kita bisa mengalahkan Jepang yang disebut sebagai terbaik di Asia," tuturnya.
Medali pada kompetisi itu juga membukakan kesempatan bagi dia untuk belajar kimia di Rusia. Pada malam pembukaan, panitia menyatakan ada beasiswa dan tempat tinggal gratis bagi para juara yang ingin mendalami kimia lewat universitas-universitas di Rusia. Meski demikian, "Saya belum menentukan pilihan. SMA masih setahun lagi," tuturnya.
Di Rusia ia membidik Moscow State University. Juga mengincar kursi pada departemen kimia Massachusetts Institute of Technology dan Melbourne University.
"Saya tidak mau setengah-setengah mendalami ini," ujarnya penuh keyakinan.
Kesibukan Remaja Alim
Selain sibuk dengan berbagai macam soal kimia, Vincentius Jeremy Suhardi termasuk pemuda alim. Setiap akhir pekan, pelajar SMA ini sibuk di Gereja Hati Kudus Yesus yang terletak di sebelah sekolahnya.
Sejak SMP, ia telah menjadi putra altar di gereja itu. "Ini salah satu cara saya mengatasi kejenuhan akibat belajar dan sekolah. Saya bisa berinteraksi dengan banyak orang tanpa hambatan," ujar Jeremy. Putra altar adalah mereka yang membantu pastor dalam perayaan ekaristi.
Sulung dari tiga bersaudara ini lebih menikmati peran itu daripada menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan. "Kalau di gereja tidak lelah. Hanya sesekali saja jalan di lorong antarkursi jemaat," tuturnya.
Peran itu dipilihnya terutama atas dorongan kedua orangtuanya, yang menyarankan dia menyeimbangkan penguasaan ilmu dengan agama. "Kalau hanya sibuk dengan ilmu pengetahuan, jiwa bisa kosong dan tidak tahu harus ke mana," tuturnya. (RAZ)
Sumber : Kompas, Selasa, 28 Agustus 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment