May 31, 2009

Johszua Robert Mansoben, Tak Butuh Bangku Politik

Johsz R Mansoben Tak Butuh Bangku Politik
Oleh : Korano Nicolash LSM dan Rudy Badil*

"Ah itu tra betul, barang itu cuma tato. Yang inikah?" tanya pria Papua itu sambil mengangkat lengan dan menunjukkan tanda tutul biru kehitaman sebesar sekitar setengah sentimeter di siku kanannya.

Ini tanda sudah kena suntik frambosia, wabah sakit kulit yang dulu mewabah tahun 1950-an di Papua," ujar Dr Johszua Robert Mansoben (58), pakar antropologi Papua dari Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura.

Ia melanjutkan, "Tanda ini jangan dijadikan isu politik lokal, soal perbedaan antara amber yang pendatang rambut lurus dan komin yang pribumi rambut keriting. Istilah itu asal Biak. Amber itu dulunya sebutan penghormatan, saya pun kalau pulang kampung dipanggil amber."

Sebagai salah seorang sumber penting di Jayapura, Johsz tidak akan buka suara lebar-lebar kalau pertanyaan itu dianggapnya di luar jalur keilmuannya. Apalagi kalau menyangkut soal politik praktis yang belakangan ini lagi seru-serunya tersebar di Jayapura. Bahkan, Johsz dengan tenang terdiam dulu, lalu tiba-tiba bilang: "Ah sa tra tau, itu soal belum ada penelitiannya," ujarnya menepis pertanyaan tentang "proteksi" terhadap arus "pendatang amber" atau soal lain yang nyerempet latar belakang demo-demo yang begitu sering terjadi di pusat kota.

Bahkan, antropolog Papua kelahiran Biak itu mengaku buta politik. Jangankan politik nasional, politik lokal yang menyangkut suku bangsanya di tanah Papua sana pun Johsz tidak tahu.

"Saya mulai tahu sekitar awal tahun 2000-an, setelah mulai banyak terbitan buku tentang Papua. Ya, dari sejarah pembentukan Papua, lalu kasus Pepera 1969 dengan masalahnya di PBB, hingga otonomi khusus yang katanya jadi jalan tengah akibat permintaan masyarakat Papua yang ingin berdiri sendiri," papar Johsz yang pernah berkolega di Universitas Indonesia (UI) dengan Dr Meutia Hatta Swasono, sebelum menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.

Dari pembicaraan panjang dengannya, terasa sekali ketekunan Johsz dari tuturannya yang menitikberatkan pada soal pendidikan sebagai pilar utama "pembangunan" warga Papua. Johsz bersekolah rakyat tiga tahun di Biak, lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah anak lelaki, Jongens Vervolg School, di Korido hingga lulus tahun 1960.

Selanjutnya, ia masuk SMP YPK Biak yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia dan lulus pada tahun 1963. Setelah itu dia masuk ke SMA Gabungan Jayapura dan selesai tahun 1966 serta meneruskan pendidikan ke Jurusan Geografi Uncen dan meraih gelar bachelor of art tahun 1972.

Masa bersekolah dengan sistem asrama dianggapnya merupakan waktu penggemblengan disiplin dan tanggung jawab. Kemudian mulailah Johsz bergabung dengan Museum Uncen dan mendalami soal kuratorial benda etnografika Papua. Bahkan, Johsz dengan bimbingan Prof MT Walker mengadakan perjalanan ke pedalaman Papua dan menulis serial laporan ilmiah pada tahun 1975. "Pak Walker saat itu segera meminta saya studi antropologi di Jakarta. Biar dididik Profesor Koentjaraningrat," katanya

Memang terkabul. Johsz muda, yang selalu tampil necis dengan rambut kribonya saat studi di UI, menyelesaikan gelar S1 Antropologi tahun 1982. Bahkan, kemudian melanjutkan ke Rijksunivesiteit Leiden di Belanda dan meraih gelar MA pada tahun 1984. Jauh sebelum menyelesaikan gelar doktoralnya di Leiden, juga pada tahun 1994, Johsz menuturkan dirinya sempat berbincang dengan Koentjaraningrat, Bapak Ilmu Antropologi Indonesia, sang "sponsor" yang sekaligus guru besarnya.

"Pak Koentjaraningrat mengingatkan, setelah selesai belajar ada dua pilihan, yakni menjadi politisi atau menjadi pengajar dan ilmuwan. Tentu ada untung ruginya dari kedua pilihan itu," kata salah satu mahasiswa Papua andalan almarhum Prof Dr Koentjaraningrat itu. "Saya memilih jadi pengajar antropologi untuk mahasiswa Papua serta peneliti antropologi di Papua," katanya datar.

Dr JR Mansoben MA, begitu nama formalnya sebagai penulis karya ilmiah, selama studi pendalaman di Kampus UI dan Leiden juga berkontinu melakoni profesinya sebagai antropolog peneliti lapangan, misalnya di Halmahera-Raja Ampat (1979-1991), sistem politik tradisional di Irian Jaya sekaligus bahan disertasinya, dan aneka proyek penelitian antropologi.

Selain itu, dia juga melakukan penelitian soal dampak pembangunan jalan raya terhadap pengembangan ekonomi di Kabupaten Paniai dan Jayawijaya pada tahun 1999. Bahkan, Johsz memimpin studi amdal proyek LNG di Teluk Bintuni. Kini dia juga memimpin tim penelitian sejarah penduduk dan kebudayaan lokal di Kabupaten Supiori dan Sarmi.

Orientasi budaya

Beberapa kolega Johsz di kampusnya menganggap Dr Mansoben itu memang pengajar dan peneliti serius. "Beliau tekun dan disiplin. Makanya, kami menyebut Pak Johsz itu Prof Koentjaraningrat dari Papua," ujar mantan mahasiswanya.

Ulasan Johsz soal orientasi budaya dalam membangun manusia Papua dianggap amat relevan untuk mengenal orang Papua dalam pembangunan masa kini. Namun, Johsz tetap memilih jalur akademisi murni dan tidak akan menjawab sembarangan pertanyaan "aneh-aneh" soal gejolak politik Papua, meski Kampus Uncen tempatnya mengajar dan membagi ilmu pengetahuan mau tak mau menjadi pusat pemikir dan pelaku gerakan kemajuan pembangunan warganya. Johsz sepertinya memilih bangku kampus dan kantor, daripada menyeberang ke bangku politik yang basah tapi panas.

Johsz bilang: "Menjadi politisi akan cepat terkenal, tapi cepat menghilang kalau dihujat orang. Sedangkan menjadi ilmuwan akan lama sekali baru terkenal. Namun, kalau sudah dikenal, nama baik kita tetap akan disebut orang sekalipun kita telah tiada," ujar Johsz, yang selama tahun 1999 mendalami manajemen riset dan jejaring kerja di Kanada maupun di Cornell University di Amerika Serikat.

Johsz yang tetap berstatus dosen dan peneliti Uncen masih teguh mengembangkan potensi anak-anak muda Papua supaya menjadi ahli antropologi lapangan serta memperkenalkan Papua di panggung ilmu pengetahuan.

Istilah amber rambut lurus dan komin yang keriting, bagi Johsz bukanlah soal politik. Itu cuma hal kultural, seperti kasus tutul tato biru yang dianggap tanda pemisahan "asli" dan "pendatang". Kalau tanya politik lokal, otsus, dan demo-demonya, Dr JR Mansoben pun mungkin terdiam lagi, lalu bilang, "Tra tau." Alias tidak tahu. Tahu!

*Rudy Badil, Wartawan Tinggal di Jakarta

Sumber : Kompas, Senin, 27 Agustus 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks