Tegep, Tetap Tegap dengan "Boots"
Oleh : Rini Kustiasih
Sepatu boot atau bot buatan Tegep Oktaviansyah diproduksi di tengah krisis moneter 1997. Bot dari Bandung, Jawa Barat, itu tidak tergoyahkan ketika badai krisis ekonomi datang lagi belakangan ini. Sepatunya dikenakan artis, pejabat, hingga ekspatriat.
Hobi yang ditekuni sungguh-sungguh akan mendatangkan rezeki. Setidaknya itu pengalaman Tegep Oktaviansyah, pemilik dan pendiri sepatu bot merek Tegep Boots ini.
Kejeliannya melihat peluang dan keinginan kuat untuk menciptakan produk yang berbeda membuat Tegep Boots dikenakan artis, pejabat, sampai ekspatriat asal Amerika Serikat, Jerman, dan Australia. Omzet produksinya dalam satu bulan mencapai Rp 100 juta-Rp 200 juta.
Kisah sukses itu bermula dari hobi Tegep mengenakan sepatu bot sejak SMA pada era 1990-an. Untuk mendapatkan sepatu bot, kala itu bukanlah hal yang mudah dan murah. Harga bot yang berkisar Rp 400.000, untuk ukuran Tegep, tergolong mahal. Namun, demi memenuhi hasratnya, Tegep yang kuliah di Jurusan Desain Produk di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, mencoba membuat bot sendiri.
”Saya belajar dari nol, mulai dari melihat pengerjaan oleh perajin hingga membaca buku tentang pembuatan sepatu bot yang baik,” katanya.
Tegep mempelajari anatomi kaki agar sepatu buatannya nyaman dipakai. Pada 1997 dia menggandeng seorang rekan untuk membuat sepatu bot bermerek Kanselir. Desain Kanselir masih sebatas model sepatu para koboi dan bot yang dipopulerkan oleh personel The Beatles.
”Desainnya masih sepatu bot klasik, dengan bentuk jungle, seperti yang sering dipakai koboi atau pengendara motor besar,” ujar Tegep.
Dia sendiri adalah penggemar motor besar dan anggota komunitas bikers Brotherhood. Anggota komunitas itu adalah pasar awal sepatu bot buatan Tegep dan merupakan pelanggan setianya.
Lolos dari krisis
Badai krisis pada pertengahan 1997 memukul usaha Tegep dan rekannya. Harga bahan baku sepatu bot dari kulit naik tiga kali lipat.
Kongsi usaha itu pun buyar karena perbedaan prinsip. Maka, Tegep memulai lagi usahanya dengan empat pekerja. Krisis ia lawan dengan peningkatan kualitas material dan desain.
”Saya tidak mau menurunkan kualitas produk. Itu akan membuat kepercayaan pelanggan hilang,” ujar Tegep beralasan.
”Saya belajar membuat desain baru dengan material yang baru pula. Saya sering terinspirasi oleh katalog-katalog sepatu dan tertantang mengembangkan desainnya,” tambahnya.
Desain sepatu bot Tegep didominasi motif etnis, seperti Dayak (Kalimantan), Mauri (Selandia Baru), dan Aztec (Indian). Warna-warnanya pun dikombinasikan secara ekstrem.
”Kalau bisa saya bikin perpaduan warna yang ’gila’, beda, dan tak terpikirkan sebelumnya,” ungkapnya. Salah satu desain Tegep bahkan disimpan di museum sepatu dan kulit di Jerman.
Desain menarik itu dia terapkan pada material berkualitas dari kulit binatang, seperti ular, biawak, buaya, kelinci, sapi, bahkan ikan pari. Kiat itu mampu menarik hati pelanggan. Di tengah krisis, sepatu buatan Tegep tetap dicari meski harganya tinggi.
”Saya juga mendapat berkah saat krisis, yakni dengan makin banyaknya pembeli beralih pada produk lokal. Bot buatan saya mulai dilirik, sebab harga buatan luar negeri tak lagi terjangkau,” ujarnya.
Hal lain yang membuat Tegep bertahan ialah pasar yang jelas dan tersegmentasi. Sejak awal dia menyasar kalangan menengah ke atas dengan jenis produk tunggal, yakni sepatu bot. Bagi laki-laki kelahiran Tasikmalaya itu, berebut kue besar dengan bagian yang kecil tidaklah menyenangkan. Ia lebih menikmati kue kecil dengan bagian yang besar.
Melihat peluang
Jeli melihat peluang, Tegep ingin menguatkan posisi di pasar dengan merek yang mewakili produknya. Seorang dosen menyarankan produknya dinamai dengan nama dia sendiri.
”Nama Tegep kan jarang dan unik, jadi kenapa tidak kamu namai saja dengan namamu sendiri,” ucap Tegep menirukan perkataan dosennya.
Untuk mengenalkan sepatu botnya, Tegep membawa produk itu ke mana-mana dan mengikuti berbagai macam pameran. Omongan dari mulut ke mulut dalam komunitas bikers membuat bot buatannya makin dikenal. Tegep pun tak ragu memberikan sepatunya agar dipakai manggung oleh artis atau komunitas band sebagai cara berpromosi.
Kini, dengan kisaran harga Rp 1 juta-Rp 12 juta, pelanggannya menyebar dari artis hingga pejabat negara. Sebut saja Andy ”/rif”, Prabowo Subianto, Fahmi Idris, dan pesanan perwira Polda Metro Jaya. Baru-baru ini, anak Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pun memesan sepatu sneaker dari kulit ular di Tegep Boots.
Tegep juga melayani pesanan sejumlah butik di Jakarta, Bandung, Bali, Makassar, dan Australia. Pelanggannya dari dalam dan luar negeri. Tegep juga menyuplai sepatu bot untuk toko koboi milik Tantowi Yahya di Jakarta.
Menurut dia, menjaga kepercayaan pelanggan adalah kunci suksesnya. ”Membeli sepatu sama halnya dengan memilih tukang cukur. Sekali merasa cocok dan puas dengan pelayanannya, Anda akan terus kembali. Ini soal kepercayaan,” katanya.
Setiap kaki pelanggan diukur dan digambar. Pemilihan warna dan desain pun diserahkan kepada pemesan. ”Setiap sepatu adalah pilihan personal. Ia harus dibentuk dan diperlakukan berbeda-beda,” ujarnya.
Tegep melayani keluhan pelanggan yang sepatunya tak nyaman. Selalu ada garansi perbaikan sepatu untuk setiap pembelian.
Dalam tiga tahun terakhir, bersama desainer Mardiana Ika dan Iva Latifah, Tegep merambah dunia fashion. Sepatunya dipakai model dunia dalam Bali Fashion Weeks dan Hongkong Fashion Weeks (2007 dan 2008). Pada bagian bawah sepatunya tercetak: Handicrafted with pride in Bandung (dibuat dengan rasa bangga di Bandung).
Tegep sadar masih ada ratusan perajin sepatu di Bandung yang tak bernasib sebaik dirinya. Dia pun aktif menjadi pembicara dalam semiloka dan pelatihan bagi perajin sepatu Cibaduyut di Bandung. Kegiatan itu dimotori Departemen Perindustrian serta Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM.
Tegep yang sempat menjadi instruktur tenaga kerja ILO-PBB (2001-2004) ini juga menampung mahasiswa dan siswa kejuruan untuk magang di tempat kerja sekaligus tokonya di Jalan Pelajar Pejuang 104, Bandung. Dia menyupervisi langsung 24 tenaga kerja.
”Saya tak khawatir ilmu saya dibajak dan produk saya dikalahkan para anak didik. Bagi saya, berbagi ilmu adalah kewajiban. Kalau memang sudah rezeki kita, tak akan ke mana-mana,” tuturnya.
Sumber : Kompas, Selasa, 31 Maret 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment