May 27, 2009

Ibrahim bin Ahmad : Ibrahim, Sosok Penjaga Bangsawan Riau-Lingga

Ibrahim, Sosok Penjaga Bangsawan Riau-Lingga
Oleh : Kenedi Nurhan

Sederhana, lugu, dan pendiam. Itulah kesan awal yang muncul dari keseharian Ibrahim bin Ahmad. Akan tetapi, kesan lugu dan pendiam itu segera sirna manakala akan ada pementasan Bangsawan di kampungnya. Ibrahim justru sibuk berkata-kata, memberikan instruksi kepada para pemain yang akan naik panggung.

Dilahirkan di Desa Penuba, Kecamatan Lingga, Kepulauan Riau, pada 1 Juni 1945, Ibrahim memang dikenal sebagai penggubah cerita-cerita untuk lakon panggung Bangsawan. Ia sekaligus bertindak sebagai sutradara, meski istilah ini sebetulnya tak dikenal di tengah komunitas teater tradisi Bangsawan di Riau-Lingga.

"Memang sejak kecil saya suka pada cerita-cerita yang kerap dikisahkan oleh para tetua kampung. Biasanya kisah mereka
tentang peristiwa sejarah yang terjadi di berbagai pulau, seperti Lingga, Singkep, Selayar, Bintan, dan Penyengat. Apalagi, menurut
sejarah, pada masa lampau Pulau Lingga ini, kan, pernah jadi pusat kerajaan besar," tuturnya saat ditemui di Daik, Lingga, beberapa waktu lalu.

Ibrahim memang sosok sederhana dan hanya menyelesaikan pendidikan sekolah rakyat (SR). Kemiskinan yang melilit keluarga membuat ia tak bisa melanjutkan pendidikan lanjutan. Ada orang yang menaruh perhatian kepadanya. Maka, selepas SR, ia diajak membantu bekerja di Kantor Syahbandar di Penuba.

Di sinilah Ibrahim mendengar banyak kisah tentang berbagai hal terkait sejarah masa lampau di wilayah laut dan kepulauan tersebut.
Penggalan-penggalan kisah yang lebih banyak bertutur tentang kehidupan dan petualangan para bangsawan kerajaan itu, lalu ia susun dalam bentuk cerita, dituangkannya di atas kertas dalam tulisan tangan.

Tiga tahun Ibrahim bekerja di Kantor Syahbandar Penuba, sebelum ia mengundurkan diri. Dalam tiga tahun itu, cukup banyak kisah sejarah yang ia tuangkan dalam bentuk cerita, kemudian dijadikan lakon untuk pementasan Bangsawan, sandiwara, atau tonil di Penuba pada masa itu. Tak lama kemudian ia pindah ke Kampung Budus di Desa Merawang, masih wilayah Kecamatan Lingga, dan meneruskan kebiasaannya mengarang cerita untuk lakon panggung Bangsawan.

Saat ini dia tergabung dalam grup panggung Bangsawan "Mekar Malam" yang dipimpin Auzar, mantan Pengulu (sekarang kepada desa) Merawang. Grup ini sangat bergantung pada Ibrahim. Selain sebagai instruktur saat latihan, tak jarang Ibrahim ikut naik pentas, terutama bila pemeran tokoh Khadam (tokoh ini dalam panggung Bangsawan mirip sosok punakawan padawayang Jawa) berhalangan.

Menjadi sutradara dan penulis cerita untuk lakon Bangsawan tak memberinya penghasilan apa pun. Kalaupun ada tanggapan, hampir tak ada bayaran kecuali sekadar uang rokok dan diberi makan-minum seadanya. Di tengah masyarakat pendukungnya yang miskin, panggung Bangsawan masa kini bahkan jarang bisa dipentaskan, kecuali ada warga yang sedikit
mampu mau menjadi sponsor.

"Latihan-latihan masih dilakukan. Saat latihan itulah sebetulnya pentas Bangsawan kami sajikan kepada masyarakat yang tinggal di
Merawang," kata Ibrahim.

Biaya latihan? "Tak adalah. Paling saya keluarkan untuk buat kopi," tambah Auzar, yang mendapat penghasilan sehari-hari dari ojek
sepeda motor.

Adapun tokoh kita, Ibrahim bin Ahmad, untuk mencukupi ekonomi keluarga sehari-hari, bercocok tanam di lahan yang tak begitu subur. Kadang ia juga mengolah pohon sagu untuk dijadikan bahan makanan. Dulu, sagu dijadikan bahan makanan pokok penduduk Riau-Lingga.

Mulai surut

Mulanya teater tradisi Bangsawan dikenal sebagai Wayang Parsi, yang diperkirakan masuk ke daerah ini pada 1870-an. Seperti halnya Mamanda di Kalimantan Selatan dan Dulmuluk di Sumatera Selatan, panggung Bangsawan tergolong teater rakyat yang dalam pementasannya menggunakan babak atau episode. Lakon yang disajikan selalu berkisah tentang kehidupan istana dan sekitarnya.

Ada dugaan, jenis pertunjukan ini masuk Semenanjung Melayu dibawa para pedagang India melalui Pulau Penang, Malaysia. Dari hasil penelusuran Sutamat Arybowo, peneliti LIPI yang meraih gelar doktor lewat disertasi panggung Bangsawan, teater ini disebarluaskan oleh Jaffar The Turk sampai ke tanah semenanjung dan Singapura, sebelum menyebar ke Riau-Lingga danwilayah Sumatera timur.

Di daerah Riau-Lingga, panggung Bangsawan yang berkembang merupakan panggung campuran, di mana alat musik, tari, dan ceritanya sangat sinkretis. Ia dimainkan oleh masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan, nelayan, petani, pedagang kelontong, buruh kedai kopi, atau guru. Penontonnya pun multi-etnis.

Pementasan panggung Bangsawan dilangsungkan kapan pun, tanpa menunggu hari libur. Panggung biasanya didirikan di lapangan terbuka tak jauh dari pasar atau pelabuhan. Pada masanya, pentas panggung Bangsawan ramai dikunjungi saat musim "angin selatan" (September-Desember). Pada musim ini angin bertiup kencang sehingga penduduk jarang pergi melaut atau bepergian jauh dari pulau mereka.

Struktur pementasan Bangsawan terdiri atas tiga bagian utama: prolog, dialog, dan epilog. Prolog berupa musik tablo dengan nyanyian pembuka, "Selamat Datang", diikuti pembacaan syair dan pengantar pementasan. Dialognya dibawakan para tokoh, mengikuti jalan cerita yang berparas istana dengan beragam latar.

"Adapun epilog berupa pesan dari pembawa acara yang mencerminkan semangat raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah," jelas Sutamat.

Pada masa konfrontasi dengan Malaysia, panggung Bangsawan mengalami masa jaya karena dapat menghibur para prajurit Marinir yang bermarkas di Pulau Penuba. Di sinilah pemuda Ibrahim amat berperan lewat cerita-cerita heroik yang dikarangnya.

Boleh dikata, ketika itu, di tangan Ibrahim panggung Bangsawan tak hanya sebagai media hiburan. Teater rakyat ini sekaligus berfungsi sebagai media komunikasi dan wahana propaganda untuk memberi semangat kepada masyarakat penonton.

Dalam perjalanan waktu, sejak beberapa dekade terakhir panggung Bangsawan kehilangan roh dan semangatnya. Orang-orang seperti Ibrahim mulai uzur, regenerasi tak berjalan mulus, sementara minat dan antusiasme masyarakat penonton pun ikut surut.

Alhasil, pentas panggung Bangsawan di Riau-Lingga semakin jarang bisa dinikmati, kecuali pada saat tertentu. Taruhlah seperti pada perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus, atau pada pesta rakyat yang diselenggarakan pemerintah daerah setempat.

Di luar itu, panggung Bangsawan dibiarkan merana, seperti halnya dialami Ibrahim. Meski namanya tercatat satu di antara 27 penerima penghargaan Maestro Seni Tradisi 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hingga pertengahan Mei 2008 "tanda penghargaan" yang seharusnya ia terima itu belum juga diserahkan. Jadi?

BIODATA
* Nama: Ibrahim bin Ahmad
* Lahir: Desa Penuba, Riau-Lingga, 1 Juni 1945
* Pendidikan: Sekolah Rakyat
* Istri: Raini (59)
Anak:
- Susanti (25)
- Nurliyanti (19)
- Azwar Sumiati (17)

Sumber : Kompas, Jumat, 5 Desember 2008

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks