Tedi Permadi dan Kertas Tradisional Sunda
Oleh : Her Suganda (Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat/FWP-JB)
Jauh sebelum ada kertas produksi pabrik, masyarakat Sunda menuliskan naskah-naskahnya pada daun lontar, enau atau daun kelapa, kemudian kertas tradisional daluang. Namun, desakan kertas pabrik membuat tradisi pembuatan daluang ditinggalkan penduduk.
Padahal, daluang bisa digunakan untuk penulisan kaligrafi, piagam penghargaan, cetak foto, juga pengganti kanvas melukis. "Di Bali, daluang masih dijadikan salah satu bahan untuk menuliskan rajah dalam upacara ngaben," kata Tedi Permadi.
Pengajar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, ini mengakrabi daluang (daluang: kertas) karena tertarik pada naskah- naskah kuno Sunda.
"Awalnya, saya hanya ingin mengenalkan salah satu budaya masyarakat Sunda," tutur Tedi, yang pernah menukarkan mobilnya dengan naskah kuno.
Tahun 1998 Tedi dan lima teman dalam Kelompok Bungawari dipercaya Global Environment Facility/Small Grant Program- United Nations Development Programme (GEF/SGP-UNDP) untuk memberdayakan masyarakat lewat pendekatan budaya, khususnya konservasi teknologi tradisional. Maka, pembuatan daluang dijadikan kunci komunikasi dengan masyarakat sasaran karena tradisi itu pernah mengisi kehidupan masyarakat Sunda.
Daluang tak hanya digunakan untuk menuliskan naskah-naskah. Sejalan dengan masuknya kebudayaan Islam, daluang pun digunakan untuk penulisan Al Quran. Bahkan, pada masa pra- Islam, daluang menjadi bahan pakaian para pemuka agama lokal saat menyelenggarakan upacara.
Dalam perkembangan zaman, karena dianggap tak ekonomis dan kurang praktis, pembuatan daluang makin tersisih oleh kertas buatan pabrik. Walau begitu, sampai tahun 1997 tradisi membuat daluang masih dilakukan oleh dua keluarga bersaudara di Kampung Tunggilis, Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, Garut. Mereka hanya membuat daluang berdasarkan pesanan, itu pun tak bisa menjadi sumber pendapatan keluarga.
Pohon saeh
Peralatan dan cara pembuatan daluang yang biasa dilakukan oleh dua keluarga tersebut dijadikan model pengembangan selanjutnya. Masalahnya, bahan baku utama pembuatan kertas tradisional itu relatif langka.
Daluang terbuat dari kulit pohon saeh (Broussonertia papyrifera Vent) yang termasuk keluarga Moraceae. Di beberapa daerah di Nusantara, pohon ini disebut sepukau (Basemah), glugu (Jawa Tengah), dhalubang/dhulubang (Madura), kembala/rowa (Sumba), ambo (Baree), linggowas (Banggai), iwo (Tembuku), atau malak (Seram). Dalam usia 10-12 bulan, tinggi pohon itu bisa mencapai 4-6 meter dengan garis tengah batang 3-4 sentimeter.
Pohon saeh tak memiliki bunga dan buah. Daunnya lebar menyerupai telapak tangan dan berbulu. Pohon ini berkembang biak melalui akar rimpangnya yang menjalar ke mana-mana. Kulit pohon yang menjadi bahan baku pembuatan kertas ini sangat mudah dikelupas dari batangnya.
Saat menginventarisasi, Tedi hanya menemukan 10 batang pohon saeh, selain tiga alat pembuat yang dinamakan pameupeuh yang terbuat dari logam. Bentuknya menyerupai trapesium berukuran panjang sekitar 5 sentimeter dan lebar sisi-sisinya sekitar 3 sentimeter. Alat itu dihubungkan dengan gagang kayu sebagai pegangan.
Dengan cara dipukul-pukul, pameupeuh bisa membuat kulit pohon saeh menjadi lembaran kertas sesuai dengan ketebalan yang dikehendaki. Dari kulit saeh selebar 20 cm, Tedi membuat layar untuk wayang beber berukuran 1 meter x 2 meter tanpa sambungan. Hasilnya? Sehelai daluang berukuran 1 meter x 1 meter untuk memenuhi pesanan dari Bali, misalnya, dihargai sekitar Rp 1 juta.
Akan tetapi, pohon saeh rupanya tak hanya terdapat di Tunggilis. Dalam penelusuran lapangan selama April-Juli 1998, ia menemukan 710 batang benih pohon saeh yang tersebar di empat kampung lain. Semua kampung itu berada di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Benih dari daerah ini kemudian dia sebarkan ke daerah lain sebagai uji coba bahan pengamatan.
Menurut Tedi, pohon saeh termasuk tumbuhan yang mudah dibudidayakan hanya dengan memanfaatkan akar rimpangnya. Di dalam akar rimpang tersebut terdapat semacam jaringan tumbuh. Apabila terkena sinar matahari, jaringan itu akan terangsang berfotosintesis dengan mengeluarkan tunas baru.
Tidak menyerah
Tedi semula hendak menjadikan Kampung Tunggilis sebagai cagar budaya pembuatan daluang. Sebagai pendukung, ia meretas kegiatan ekonomi masyarakat setempat melalui program pendamping, seperti peternakan ayam bukan ras (buras) dan bantuan modal usaha pembuatan makanan ringan.
Akan tetapi, penyebutan Kampung Tunggilis sebagai cagar budaya pembuatan daluang malah menjadi bumerang. Para pedagang yang umumnya berdaya cium bisnis tajam masuk kampung itu. Ini membuat kelompok masyarakat pembuat daluang goyah.
"Energi kami sebagai pelaksana yang senantiasa harus menyubsidi berbagai kegiatan kelompok pembuat daluang habis terkuras," papar Tedi.
Tedi yang terpilih menjadi Pemuda Pelopor Kota Bandung Bidang Seni Budaya dan Pariwisata 2004 amat kecewa sebab merasa usahanya gagal. "Usaha ekonomi produktif yang dirancang untuk mereka tidak berjalan. Modal yang dipinjamkan juga tak dapat dikembalikan," ungkapnya.
Akhir tahun 2001 Kampung Tunggilis dia tinggalkan. "Tak berhasil membuat kembali daluang di Kampung Tunggilis bukan berarti gagal segalanya," ucapnya.
Tedi tetap bertekad menghidupkan kembali tradisi pembuatan daluang. Apalagi ia melihat harapan terbukanya pasar untuk daluang. Tak jauh-jauh, lewat pemasaran di beberapa toko kertas di Bandung, daluang sebagai kertas artistik mulai mendapat tempat. Daluang pun digunakan antara lain sebagai kertas piagam.
Selama tiga tahun ini, di atas lahan seluas sekitar 1.680 meter persegi milik dua temannya, di Desa Lembang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Tedi kembali mengembangkan pohon saeh.
"Sudah ada sekitar 3.000 bibit," katanya bersemangat.
Tempat itulah yang kini dia rencanakan menjadi lokasi konservasi budaya, sekaligus laboratorium lapangan bagi kepentingan ilmiah.
Untuk kembali menghargai kertas tradisional Sunda, akhir Juli lalu sebuah komunitas seni di Bandung memamerkan karya mereka berupa kaligrafi aksara Sunda di Taman Budaya Jawa Barat. Media yang digunakan para perupa itu tentu saja daluang.
Sumber : Kompas, Sabtu, 4 Agustus 2007
May 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Untuk Kang Tedi Permadi, saya berniat membududayakan pohon Saeh. Dimana yach beli bibitnya. terima kasih.
Post a Comment