Dokter "Jamer" yang Cinta Papua
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty dan Rudy Badil*
Dr Onny Suwardi Redjo MPH masih ingat keheranan para dokter muda ketika pertama kali mengetahui masih ada penderita frambusia di tanah Papua. "Benarkah masih ada frambusia?" tutur Suwardi menirukan ucapan sejumlah dokter baru itu.
Frambusia bukanlah penyakit yang gawat seperti HIV/AIDS. Penyakit ini mudah disembuhkan dengan pengobatan rutin. "Penyakit ini ada karena masalah kesehatan di Papua masih tra bae," papar Kepala Subdinas Pencegahan Penyakit Provinsi Papua tahun 2000-2006 itu.
Kalau frambusia sudah lenyap dari bagian daerah lain, sejumlah warga Papua masih terkena penyakit tersebut. Tak hanya frambusia, penyakit kaki gajah (filaria), kusta, dan penyakit cacing lain juga dialami penduduk setempat.
Kondisi alam Papua yang berawa-rawa, sanitasi yang buruk, serta kesadaran untuk segera mengobati penyakit yang belum tumbuh mengakibatkan sejumlah penyakit yang tergolong langka masih singgah di Papua.
Dalam kondisi fisik yang buruk, termasuk ketika seseorang terserang HIV/AIDS, membuat penyakit tersebut semakin mudah masuk dan menyerang manusia. "Sebenarnya mudah saja. Kalau orang mau telaten berobat, tentu cepat sembuh. Masalahnya, bagaimana membuat penderita mau berobat teratur sampai sembuh. Ini tidak bisa sebentar karena perlu waktu sekitar satu tahun," ucap Suwardi Redjo (57), yang kini menjadi konsultan pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Puskesmas Improvement Plan Support to Community Health Science (PIP SCHS).
Sebaliknya, bila penderita tidak dirawat dengan benar, penyakit itu akan berbahaya, bahkan bisa mengakibatkan kematian. "Contohnya cacing pita. Penyakit ini bisa menyerang perut bahkan menyerang kista otak," tutur peraih gelar Master Public Health dari Institute of Tropical Medicine Prince Leopold University, Belgia, itu.
Perawatan yang tidak benar terhadap penyakit yang diderita masyarakat itulah yang men- jadi kendala mengatasi masalah kesehatan di Papua. Belum lagi kalau bicara bagaimana masalah kesehatan dipolitisasi di sana-sini.
Dokter kedua
Menjadi dokter sesungguhnya bukan cita-cita Suwardi. Ayahnya, mantri Redjo di Merauke yang merupakan "Jamer" alias Jawa Merauke garis keturunan kedua, mendesak Suwardi mengambil jalur kedokteran pada Universitas Airlangga, Surabaya.
"Akhirnya saya menekuni bidang itu dan menjadi ’Jamer’ kedua yang jadi dokter, setelah dokter Kery Kartosen. Dia juga masih bersaudara dengan saya," kata pria kelahiran Merauke, 3 November 1950, itu.
Ia menuturkan, dulu kegemarannya ikut ayahnya bekerja. "Bapak sebagai mantri kesehatan, suka mengajak saya masuk- keluar kampung membasmi nyamuk atau pengobatan massal. Mungkin pengalaman masa itu memengaruhi saya untuk memilih berprofesi dokter. Padahal, waktu muda cita-cita saya menjadi ahli mesin karena saya suka mbengkel."
"Jamer" akronim Jawa Merauke alias orang Jawa yang lahir dan besar di Merauke jadi sebutan umum bagi keturunan orang Jawa yang datang karena "dibuang" Belanda. Mereka bukan ikut program transmigrasi.
Kakek Suwardi datang ke Papua karena dihukum Belanda. "Mbah dan rombongannya bekerja sebagai tentara marsose Belanda saat bertugas dengan Jenderal van Heutz sewaktu Perang Aceh. Mbah dianggap membelot dan berkhianat, lalu dikirim ke Merauke awal tahun 1900-an," cerita pria yang lahir, besar, dan berkarya di tanah Papua itu.
Hari-hari berat pada waktu awal kedatangan generasi mbah-mbah bisa teratasi sehingga mereka bisa bertahan dan beranak pinak. Suwardi memperkirakan ada ribuan keluarga "Jamer" di Papua saat ini. Sebagian besar "Jamer" ditawari pulang ke Belanda atau Jawa oleh Pemerintah Belanda akhir tahun 1949 dan 1960-an.
"Sampai generasi anak-anak saya pun lahir di Papua. Makanya, saya orang Papua dan bangga menjadi ’Jamer’ generasi ketiga," kata Suwardi terkekeh. Sampai sekarang sejumlah arisan trah "Jamer" di Papua dibentuk di sejumlah kota, termasuk di Jayapura.
Beradaptasi
Sebagai generasi ketiga dari keluarga Jawa yang hijrah ke Merauke, Suwardi tidak kesulitan beradaptasi dengan masyarakat setempat, khususnya suku Marind.
"Ah, tidak sulit bersahabat dengan dorang. Asal kita bisa ambil hati mereka. Keluarga saya su punya anak piara atau anak angkat dari Marind," ujar Suwardi.
Karena kecintaan pada lingkungan dan profesi, Suwardi memilih tetap bekerja di Papua. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Puskesmas Bintuni pada 1982-1984, juga Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Yapen Waropen.
Selama bertahun-tahun selanjutnya, Suwardi melakoni peranan sebagai dokter lapangan, khususnya keminatannya atas pembasmian dan penanggulangan penyakit menular. Persoalan inti tentu pada kurangnya asupan gizi yang bagus, kebersihan lingkungan, serta perhatian dan kesinambungan perawatan.
Kini, pada zaman serba "terbuka", Suwardi yang gemar kendaraan off road serta terampil bongkar pasang mesin kian tebal rasa prihatinnya terhadap masalah kesehatan masyarakat dan aksi pembasmian penyakit menular sejenis malaria dan demam berdarah.
Suwardi pun masih tetap aktif pada usia dini masa pensiunnya. "Kami sampai memasang iklan di koran, soal pembasmian massal penyakit kaki gajah di Jayapura."
Sebagai orang yang lahir dan besar di tanah Papua, Suwardi mengakui adanya kecenderungan masyarakat dekat dengan minuman beralkohol. "Ini kebiasaan. Mereka merasa comfort dengan minum. Memang susah berantas minuman keras, harus ada cara yang tepat," kata dokter yang tak tertarik hidup di Jawa meski sang istri berasal dari Surabaya, Jawa Timur.
Sejumlah kasus minuman keras membuat orang kehilangan kontrol dan terjadilah hubungan seks bebas. Ini menjadi pintu masuk penularan HIV/AIDS. Dia sadar, tak ada cara instan mengatasi masalah ini.
"Tetapi, ada yang saya kagumi, teman-teman Papua tidak takut disuntik. Kalau belum disuntik, rasanya mereka belum berobat," katanya.
* Rudy Badil, Wartawan Tinggal di Jakarta
Sumber : Kompas, Kamis, 30 Agustus 2007
May 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment