May 31, 2009

Muhammad Agil, "Comblang" Badak Sumatera

Muhammad Agil, "Comblang" Badak Sumatera
Oleh : Helena F Nababan

Bicara mengenai Andalas, seekor badak sumatera bercula dua yang dibawa kembali dari Los Angeles Zoo, Amerika Serikat, ke habitat asli di hutan tropis Sumatera, ingatan kita kembali pada 21 Februari 2007. Badak yang lahir lima tahun lalu dan besar di Cincinnati, AS, dikembalikan ke Indonesia untuk membuahi tiga badak betina sumatera, Bina, Ratu, dan Rosa, yang ada di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.

Dalam upaya pengembalian untuk pembuahan itulah Muhammad Agil (44) terlibat aktif, bahkan bisa dikatakan sebagai "comblang". Apalagi, dengan spesialisasi pada badak sumatera, dia dipercaya sebagai konsultan veteriner atau penyakit hewan di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK).

"Andalas sudah beberapa kali dipertemukan dengan Rosa. Tinggal menunggu saja kapan keduanya siap dikawinkan," kata dokter hewan ini mantap.

Sikap optimisme Agil itu terpancar lantaran ia yakin, upaya mengawinkan badak sumatera yang sudah dirintis sejak tahun 1994 itu akan membuahkan hasil. Jauh sebelum itu, ia sudah meneliti badak sumatera ketika harus menyelesaikan tugas akhir pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1988-1989.

Kurun waktu itu, ia bersama Marcellus Adi CTR, yang sekarang menjadi Manajer Kawasan SRS TNWK, mempelajari kegagalan penangkaran badak sumatera selama 100 tahun. Meski beberapa ahli badak dunia sempat meragukan upayanya, Agil tetap tekun mengamati penyebab kegagalan penangkaran badak di kebun binatang dan Taman Safari, Cisarua, Jawa Barat. Didukung ahli badak dari International Rhino Foundation, J Nico van Strien, ia memulai pengamatan perilaku alamiah dan reproduksi biologi badak.

"Cara ini belum pernah ada yang melakukan. Bahkan, di Cincinnati, AS, tempat dua induk badak sumatera dipelihara sampai menghasilkan keturunan badak Andalas, Suci, dan Harapan. Semuanya hanya melakukan pengamatan atas hormon reproduksi dan ultrasonografi (USG)," kata Agil, pengajar pada bagian reproduksi dan kebidanan Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Dari pengamatan perilaku alamiah badak sumatera atau Dicerrorhinus sumatrensis, ia mendapati badak sumatera ketika akan kawin menunjukkan perilaku tertentu. Dari pengamatan itu, Agil menyimpulkan, harus ada metode khusus untuk mengetahui waktu tepat mengawinkan badak-badak tersebut.

Belajar di Jerman

Tahun 1993 Agil mendapat beasiswa S-2 mengenai reproduksi badak di Georg August University of Goetttingen, Jerman. Di Jerman ia bertemu Prof J Keith Hodges, Kepala Departemen Biologi Reproduksi German Primate Centre.

Prof Hodges pernah meneliti badak afrika. Selain mengamati perilaku, Hodges juga mengambil sampel urine dan feces badak afrika. Pengambilan sampel urine dan feces untuk mengetahui kandungan hormon reproduksi seperti progesteron dan estrogen. Dengan penelitian hormon reproduksi biologi dan pengamatan perilaku alamiah, Hodges membantu peningkatan jumlah perkembangbiakan badak afrika.

Tahun 1994-2000, ia sering bolak-balik Indonesia-Jerman untuk mengambil sampel feces dan urine badak sumatera. Ia menganalisis kandungan hormon reproduksi pada urine dan feces di laboratorium di Jerman.

Dari penelitian hormon dan feces diketahui, badak sumatera memiliki kekhasan. Tak seperti badak afrika atau badak india yang hormon reproduksinya bisa diketahui melalui tes urine. Badak sumatera kandungan hormon progesteronnya lebih banyak pada feces.

Pengetahuan ini cukup mendasar. Belajar dari pengalaman Nico, Agil mengetahui ketika badak jantan memiliki ketertarikan kepada badak betina, alat kelaminnya berubah dan terlihat jelas. Ini berlaku juga untuk badak betina.

"Perubahan alat kelamin tidak sejelas pada sapi atau domba. Kalau sudah ada tanda ini, dua ekor badak bisa dipertemukan, perkawinan badak bisa dilakukan," katanya.

Sebelum mempertemukan badak jantan dan betina, Agil mengamati badak betina untuk mengetahui kesiapannya. Badak sumatera di bawah pengawasan SRS tak memiliki musim kawin.

Untuk mengetahui badak betina siap dikawinkan, ia memakai alat ultrasonografi (USG) untuk memeriksa rahim badak. Ketika badak betina siap dikawinkan, folikel-folikel pada rahim membesar. Perubahan itu menunjukkan masa estrus atau berahi tiba.

Estrus terjadi setiap 23-24 hari sekali selama 12-24 jam. Karena sempitnya waktu estrus itulah, pemantauan kesiapan badak dengan pengamatan perilaku, penelitian kandungan hormon reproduksi pada feces, pengamatan USG, dan perubahan organ kelamin yang dilakukan secara terus-menerus di SRS TNWK akan membantu perkawinan badak sumatera.

Sekitar 18-20 hari setelah perkawinan, badak-badak dipantau lagi dengan USG. Kebuntingan badak betina terdeteksi setelah hari ke-60 seusai pembuahan.

Keterbatasan waktu estrus, didukung sifat badak sumatera yang soliter, membuat badak sumatera di habitat asli sulit berkembang. Apalagi, badak sumatera merupakan satwa jenis monotocus atau satu bayi dalam satu kebuntingan dengan lama kebuntingan normal 15-16 bulan.

Itu sebabnya, badak sumatera tergolong satwa slow-breeding. Ini membuat populasinya terus turun, selain karena perburuan. Di Indonesia kini diperkirakan tinggal 300-an ekor badak sumatera di alam (hutan), di penangkaran SRS TNWK, dan di kebun binatang.

Doktor badak pertama

Ketekunannya untuk setidaknya mempertahankan populasi badak di habitat aslinya sejak tahun 1994-2006 mengantarkan Agil memperoleh gelar doktor. Gelar itu ia raih setelah mengikuti program sandwich S-3 tahun 2000-2007 di bidang reproduksi badak yang diselenggarakan IPB dan Georg August University of Goettingen. Pencapaian itu menjadikan dia sebagai doktor pertama di Indonesia untuk bidang reproduksi badak sumatera.

Lewat disertasinya, "Reproduksi Biologi Badak Sumatera", Agil menyimpulkan, SRS TNWK sebagai satu-satunya tempat penangkaran badak sumatera secara semi in situ di habitat aslinya sama sekali tak menunjukkan kesalahan dalam menerapkan manajemen penangkaran.

Kegagalan penangkaran spesies badak sumatera yang terancam punah lebih disebabkan kurangnya informasi mengenai kondisi reproduksi badak betina, atau karena gangguan pada organ reproduksi badak.

Selain itu, kegagalan reproduksi terjadi karena lembaga konservasi atau kebun binatang yang memelihara badak sumatera tak mengetahui secara pasti cara dan waktu yang tepat untuk mengawinkan badak. Di SRS TNWK, kegagalan kelahiran yang menjadi sorotan dunia itu akibat rendahnya kualitas sperma badak jantan.

Agil merekomendasikan, metode dan strategi itu bisa dipakai untuk penyelamatan dan pengembangbiakan badak sumatera, asal didukung pemerintah dan pihak terkait. Rhino Protection Unit (RPU) di TNWK atau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan bisa menggunakan metode itu untuk mengetahui populasi badak secara pasti.

Sumber : Kompas, Jumat, 31 Agustus 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks