May 31, 2009

Kayo Hubby : Pemberdayaan Warga Wamena ala Huby

Pemberdayaan Warga Wamena ala Huby
Oleh : R Benny Dwi Koestanto dan Ichwan Susanto

Masalah kesehatan dan peningkatan sumber daya manusia di tengah-tengah ”keterisolasian” Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, mengusik hati Kayo Huby untuk mendirikan Yayasan M Mula. Tanpa disadari, pergulatannya ini telah mengantarkan dia menjadi Ketua Lembaga Musyawarah Adat Masyarakat Jayawijaya.

Saya mengerahkan potensi tenaga medis lokal untuk mengelola pelayanan kesehatan di sini,” kata Huby menceritakan perjalanan hidupnya.

Setiap hari, balai pengobatan yang terletak di kawasan Pegunungan Tengah itu didatangi sekitar 80-an pasien. Pada umumnya mereka menderita malaria dan influenza.

”Kami prihatin terhadap masyarakat yang takut atau minder berobat ke rumah sakit daerah. Karena itu, pada tahun 1993 saya mendirikan Yayasan M Mula yang juga menaungi balai kesehatan,” tutur Huby di Wamena pertengahan Agustus lalu.

Huby bercerita, pada awalnya masyarakat enggan berobat ke balai kesehatan semacam itu. Namun, setelah tahu ada tenaga medis yang orang asli Jayawijaya, masyarakat setempat pun lalu tertarik datang ke balai kesehatan untuk mengobati berbagai penyakit yang mereka derita. Padahal, sebelumnya sebagian dari mereka lebih suka pergi ke dukun-dukun adat.

Balai kesehatan itu memang merekrut sembilan tenaga medis yang orang asli Jayawijaya. Pertimbangan Huby agar mereka betah memberi pelayanan di tempat asalnya sendiri. Tanpa dia duga, ternyata hal itu juga menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat setempat yang sebagian berpendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) itu.

Di samping tenaga medis lokal tersebut, ada juga seorang dokter, lima mantri, dan tiga perawat yang bekerja pada Senin hingga Jumat di balai pengobatan yang didirikan Huby.

Pada sepuluh tahun pertama, biaya operasional balai pengobatan itu mendapatkan bantuan dana dari donatur luar negeri sekitar Rp 150 juta per tahun. Namun, sejak tahun 2004 hingga kini, bantuan tersebut telah berhenti. Karena itu, selama tiga tahun terakhir ini kesembilan tenaga medis di yayasan tersebut tidak lagi mendapat honor.

”Pemerintah Kabupaten Jayawijaya juga tidak bisa memberikan bantuan,” ujar bapak tujuh anak ini.

Meskipun begitu, Huby bersyukur karena Departemen Kesehatan masih memberi bantuan berupa obat-obatan untuk balai pengobatannya.

”Sampai sekarang kami masih bisa bertahan. Biaya operasional balai pengobatan ini menggunakan uang yang dibayarkan oleh pasien untuk obat-obatan saja,” kata Huby.

Lelaki berusia 51 tahun ini mengaku, dia tidak tahu sampai kapan tenaga medis yang bekerja pada balai pengobatannya bisa bertahan bekerja tanpa honor. Ia berharap komitmen mereka dapat terjaga, sampai balai pengobatan itu mendapatkan lagi bantuan dana dari donatur.

Sangat dibutuhkan

Keberadaan balai pengobatan yang didirikan Huby bisa dibilang sangat dibutuhkan masyarakat setempat, mengingat mereka lebih suka menyampaikan berbagai keluhan penyakitnya kepada tenaga medis yang orang asli Papua.

Di Wamena yang berpenduduk 295.000 jiwa sekarang ini hanya dilayani oleh satu rumah sakit daerah dan satu klinik milik gereja serta balai pengobatan tersebut.

Gedung balai pengobatan Yayasan M Mula itu berdiri di tanah seluas tiga hektar. Meski tergolong bersahaja, balai pengobatan ini memiliki ruang perawatan pasien, ruang obat, dan laboratorium sederhana.

Balai pengobatan itu juga dihiasi dengan taman yang asri di halamannya. Ini membuat orang sakit yang datang merasa lebih nyaman. Di areal balai pengobatan ini pula Huby mendirikan rumah tinggalnya.

Pertanian

Selain dalam bidang kesehatan, melalui Yayasan M Mula, Huby juga memberi perhatian terhadap masalah pertanian, perikanan, dan peternakan. Huby melihat potensi alam Jayawijaya ketika ia berkesempatan mengikuti lokakarya di Bogor, Jawa Barat, pertengahan 1990-an.

”Organisasi ini bermitra dengan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya untuk memberdayakan dan meningkatkan keterampilan masyarakat dalam mengelola potensi alam,” paparnya.

Jayawijaya yang beriklim sejuk dan dingin memang berpotensi menjadi daerah pertanian sayur-mayur dan buah-buahan. Sayangnya, pemasaran hasil produksi kebun warga, seperti markisa, jeruk keprok (jeruk bokondini), dan beraneka sayur-mayur, hanya bisa dipasarkan di Wamena. Terbatasnya infrastruktur jalan di Jayawijaya membuat pemasaran produksi kebun warga setempat amat pun terbatas.

Pemasaran hasil bumi ke daerah-daerah lain di sekitar Wamena juga terkendala sarana transportasi sebab alat transportasi utama yang digunakan berupa pesawat terbang.

”Jika saja pembangunan transportasi darat Wamena-Jayapura sepanjang lebih kurang 500 kilometer bisa segera direalisasikan, keran distribusi hasil pertanian tentunya akan terbuka lebar,” tutur Huby berharap.

Untuk meningkatkan hasil pertanian, perikanan, dan peternakan, menurut Huby yang juga Ketua Lembaga Musyawarah Adat Masyarakat Jayawijaya, sejak setahun lalu dia meminta pemerintah pusat agar mengirimkan petugas pendamping atau semacam petugas penyuluh lapangan. Ini mengingat petani setempat selama ini masih mengandalkan sistem pertanian tradisional sehingga belum mendapatkan hasil maksimal.

”Saya telah siap dengan kelompok-kelompok petani. Jika pemerintah dapat mengirimkan dua petugas pendamping pertanian untuk satu kelompok, saya yakin pertanian di Jayawijaya bisa berproduksi maksimal,” ujar Huby yang membawahi 323 marga asli Papua di Jayawijaya.

Selain pertanian, Kabupaten Jayawijaya yang dialiri Sungai Baliem itu juga kaya akan potensi ikan mas, mujair, dan lele. Namun, masyarakat setempat hanya mengandalkan perikanan tangkap dengan peralatan sederhana. Andai kepada mereka diperkenalkan budidaya perikanan, Huby optimistis Jayawijaya akan jadi salah satu penghasil ikan air tawar terbesar di Papua.

Suami dari Henyet Asso ini berharap impian dia akan masyarakat Jayawijaya yang sejahtera bisa terwujud. ”Peningkatan kesehatan, keterampilan bertani, serta beternak merupakan kunci membebaskan Jayawijaya dari keterbelakangan,” ujarnya.

Biodata

Nama: Kayo Huby
Lahir: Wasiwa, Jayawijaya, Papua, 24 Mei 1956
Istri: Henyet Asso (48)
Pendidikan terakhir: SMA Wamena
Organisasi:
1. Ketua Yayasan M Mula yang bergerak dalam bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, perikanan darat, peternakan, dan koperasi
2. Ketua Lembaga Musyawarah Adat Masyarakat Jayawijaya
Penghargaan: Yayasan Andhika Bidang Ekonomi Tahun 2006

Sumber : Kompas, Rabu, 22 Agustus 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks