Oleh Agnes Rita Sulistyawaty
Air mata menitik dari pelupuk mata Johny Ivan lima tahun silam. Rasa gembira, syukur, dan haru bercampur dalam putaran turbin yang digerakkan air menjadi listrik. Kabupaten Pasaman di Sumatera Barat pun menjadi tempat pertama pemasangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro buatan Johny.
Keberhasilan lima tahun silam itu berlanjut dengan dibuatnya 40 pembangkit listrik tenaga mikrohidro atau PLTMH. Dibantu 20 pekerja di bengkelnya, Johny turut berperan dalam menerangi ribuan rumah warga di Sumbar.
”Bila dilihat di lapangan, barang kali hanya 50 persen keluarga yang mendapat listrik dari PLN. Selebihnya mereka harus hidup dengan penerangan seadanya,” katanya.
Kemampuan membuat pembangkit listrik bertenaga aliran air lebih berasal dari ilmu yang dia peroleh di lapangan dan buku-buku yang dipelajarinya secara otodidak. Pendidikan formal sebagai insinyur teknik elektro relatif tak memberi teori PLTMH yang memadai baginya.
Pembelajaran tentang PLTMH didapat Johny sejak ia menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumbar. Sejak tahun 1995 dia menjadi tim teknis PLTMH.
”Ketika itu alat-alat PLTMH didatangkan dari Bandung. Saya mendapat ilmu PLTMH dari seringnya menangani PLTMH, mulai dari pemasangan hingga perbaikannya,” tutur pria yang juga mendesain semua PLTMH.
Maka tak heran kalau masyarakat pun mengadukan masalah PLTMH kepada Johny. Keinginannya membantu masyarakat berkemampuan ekonomi pas-pasan untuk menikmati listrik mendorong dia membuka bengkel di lahan sewaan sekompleks dengan rumahnya, Villa Bukit Indah, Kelurahan Koto Luar, Kecamatan Pauh, Kota Padang.
Jabatan sebagai kepala seksi lalu dilepaskannya agar dia mempunyai lebih banyak waktu untuk menekuni PLTMH. Kebetulan Dinas Pertambangan dan Energi juga kerap membangun PLTMH sehingga keterampilan Johny sejalan dengan tugasnya sebagai PNS.
Pesanan pertama
Dia menghabiskan waktu dua bulan untuk membuat pembangkit pertama. Pembangkit itu dipesan Pemkab Pasaman. Ketika itu dana pemkab terbatas sehingga tak satu pun perusahaan yang berani menerima tawaran dalam proses tender. Johny sanggup membantu pembuatan pembangkit sampai proses pemasangannya.
”Dananya Rp 150 juta. Tak ada pilihan selain juga mengeluarkan dana pribadi untuk mencukupinya. Yang penting pembangkit terwujud dan masyarakat bisa menikmati,” ujar Johny.
Idealnya, dana untuk satu pembangkit Rp 500 juta-Rp 600 juta. Namun, dia harus bisa menangani membangun pembangkit dengan dana maksimal Rp 300 juta.
Pembangkit pertama buatan Johny yang dicat berwarna-warni lalu diangkut ke lokasi pemasangan. ”Perjalanan sampai ke tempat pemasangan alatnya sekitar tujuh jam. Itu juga hanya bisa ditempuh dengan ojek. Kadang ojek pun harus melewati sungai karena beratnya medan ke tempat lokasi,” kenangnya.
Setelah perjalanan yang melelahkan, pembangkit berkapasitas 70 kilowatt itu pun terpasang dan bisa menerangi sebanyak 115 keluarga. Ketika listrik mulai menyala, sejumlah warga yang baru sekali itu menikmati aliran listrik tak kuasa menahan haru. ”Saya juga terharu, ada perasaan senang dan bersyukur,” kata Johny.
Dia tak kuasa menahan air mata mengingat selama proses pemasangan PLTMH juga melibatkan masyarakat sekitar. ”Saya senang kalau masyarakat ikut terlibat dalam pembuatan PLTMH. Setelah pembangkit terpasang dan listrik mengalir, masyarakat juga ikut merawat,” ujarnya.
Melibatkan warga
Dilihat dari sisi teknis, pembangkit itu umumnya mempunyai karakter yang sama. Sumber energi dari aliran air yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit sangat banyak. Aliran air setinggi 2 meter saja bisa menghasilkan listrik 400-900 watt per rumah untuk 100 keluarga.
Dalam berbagai proses pemasangan PLTMH, Johny berusaha melibatkan warga setempat, mulai dari bergotong-royong membangun bak penampungan air, memasang pipa dan pembangkit, hingga membuat sambungan listrik ke rumah-rumah warga. Keterlibatan ini penting untuk membangun kesadaran warga agar mereka juga menjaga kelestarian daerah hulu dan menjamin sumber air terus mengalir.
Johny juga menggalakkan iuran listrik di kalangan warga yang menikmati listrik PLTMH. Nilai iuran itu minimal Rp 25.000 per keluarga setiap bulan. Sebagian dari iuran itu digunakan untuk biaya perawatan, pembelian pelumas mesin, penggantian onderdil, dan gaji operator. Sisanya disimpan sebagai kas warga untuk perbaikan besar pembangkit atau membangun fasilitas lain, seperti tempat ibadah dan sekolah. Pengelolaan iuran itu sepenuhnya di tangan warga.
Di beberapa tempat, besarnya iuran hingga Rp 60.000 per keluarga setiap bulan. ”Kalau iurannya Rp 60.000, warga bisa membangun fasilitas publik, seperti masjid. Namun, ada juga warga yang minta iuran Rp 10.000-Rp 20.000. Kalau dananya minim, mereka dapat apa? Padahal, setelah listrik masuk ke rumah, warga lalu membeli televisi, kulkas, dan penanak nasi,” ceritanya.
Sejauh ini belum ada pengaduan kerusakan pembangkit yang dibuatnya. Johny berharap pembangkit buatannya bisa bertahan puluhan tahun tanpa perbaikan asal air terus mengalir dan memutar turbin pembangkit.
Kegiatan produktif
Johny juga tengah mengembangkan PLTMH untuk mendukung kegiatan produktif warga, seperti penggilingan padi yang digerakkan listrik dan peternakan ayam yang membutuhkan penerangan khusus.
Dia merintis bengkel sekaligus laboratorium PLTMH di salah satu hulu sungai di Kota Padang. Ia berencana membuat pembangkit listrik untuk penerangan sekaligus mendukung peternakan warga. Tempat ini juga digunakan untuk pembelajaran bagi mereka yang tertarik PLTMH.
Sebagian warga yang terlibat pembangunan PLTMH ikut menimba ilmu lanjutan. Johny tak keberatan. Baginya, ilmu tentang pembangkit ini tak perlu disembunyikan. Ia senang semakin banyak orang tahu dan mau membuat pembangkit.
”Semakin banyak pembuat pembangkit, makin cepat pemerataan listrik di berbagai tempat. Tahun lalu saya mendapat 14 pesanan pembangkit, dan tahun ini lebih banyak lagi. Mungkin saya tak sanggup mengerjakan semua itu,” ujarnya.
Berkaitan dengan penyebarluasan ilmu, Johny mendirikan LSM Prowater, akronim dari Program Wahana Terpadu. LSM ini menjadi wadah bertukar ilmu antaranggota yang terdiri atas dosen, mantan wali nagari, orangtua, hingga kaum muda.
Sumber : Kompas, Minggu, 19 April 2009
0 comments:
Post a Comment