Hasan Djafar "Memperkaya" Tarumanagara
Oleh : ST Sularto
Sering dimintai pendapat tentang Kerajaan Majapahit, terakhir oleh produser film Laksamana Cheng Ho dan diarahkan menjadi ahli epigrafi (tulisan dalam prasasti kuna), Hasan Djafar (66) dikukuhkan sebagai doktor Ilmu Pengetahuan Budaya bidang arkeologi di Universitas Indonesia, Selasa kemarin, dengan predikat sangat memuaskan.
Dari arkeologi ke epigrafi, lantas sejarah kuna, lalu arkeologi lagi, dia seperti bajing loncat. "Ah tidak juga, ketiga bidang itu saling berkaitan memperkaya pengetahuan dan data tentang masa lalu," kata Hasan di kantornya, Jumat (19/10). Arkeologi khususnya tentang Majapahit dia teliti untuk meraih gelar sarjana tahun 1975. Epigrafi dengan penguasaan bahasa-bahasa kuna, seperti Sanskerta dan Jawa Kuna dia tekuni saat menjadi asisten Prof Boechari, ahli epigrafi Indonesia pertama.
Bertahun-tahun melakukan penelitian pustaka dan penggalian situs-situs di Jawa Barat, utamanya Situs Batujaya, Karawang, Hasan selain dikenal sebagai arkeolog dan epigraf, juga ahli sejarah kuna. Saat Situs Batujaya ditemukan pada tahun 1984 oleh Tim Penelitian Fakultas Sastra (sekarang PIB) UI, Hasan berada di Belanda.
"Tahun 1984-1985 saya di Belanda sebagai kandidat doktor epigrafi dibimbing Prof De Casparis dan Prof Teeuw. Epigrafi gagal. Saya tidak mau hanya setengah-setengah, harus perfect. Minat saya lebih besar ke arkeologi. Saya minta maaf kepada Pak Boechari yang memberi rekomendasi."
Kembali ke Indonesia, menjadi dosen di almamater, Hasan menekuni arkeologi. Ia mengikuti jalur biasa program S-3 di bawah promotor Prof Edi Sedyawati. Bidang epigrafi sangat membantu kajian arkeologisnya. Epigrafi memberikan dukungan mengungkapkan data temuan dari penggalian maupun pustaka.
Tentang Kerajaan Majapahit, meskipun dia menjadi narasumber resmi Situs Trowulan, Hasan merasa pengetahuannya terbatas skripsi. Anehnya, skripsi yang dibukukan itu mengalami cetak ulang berkali-kali. "Sampai saya malu sendiri, skripsi tipis kok dipakai referensi."
Perlu diperkaya
Secara arkeologis data Kerajaan Tarumanagara masih perlu terus diperkaya. Hasan bergelut menekuni situs peninggalan Kerajaan Tarumanagara, terutama didorong naluri minimnya data. Selama ini banyak perdebatan di antara para ahli, misalnya tentang lokasi pusat Kerajaan Hindu itu.
Keberadaan Tarumanagara didasarkan atas temuan Prasasti Ciaruteun di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor. Karena temuan itu ada ahli berpendapat, pusat kerajaan di Bogor, tetapi silsilah dan bagaimana kerajaan memerintah masih samar. Ditemukan pula prasasti lain yang memperkuat pendapat hubungan Tarumanagara dan Purnawarman. Prasasti-prasasti yang ditulis dalam huruf Palawa berbahasa Sanskerta itu bercerita tentang kesaktian Purnawarman. Di antaranya Prasasti Tugu di Cilincing, Prasasti Cidangeang di Pandeglang. Lantas ada pendapat (Noordyn) pusat kerajaan di sekitar Cilincing, ahli lain (Wolters) berpendapat di Bogor.
Di tengah minimnya data Tarunamanagara, berdasar penelitian di Situs Batujaya, Hasan berpendapat, ibu kota kerajaan di tepi pantai sekitar Karawang atau dekat Situs Batujaya. Pendapat ini pernah dikemukakan ahli bahasa Sanskerta, Poerbatjaraka, berdasar Prasasti Tugu. Ibu kota kerajaan di Bekasi.
Tak ada maksud menganulir pendapat yang sudah ada, Hasan sepakat, "Tentang lokasi ibu kota belum ada kepastian." Silang pendapat di antara para ahli itu biasa. Pendapat yang terbanyak memiliki bukti, itulah yang diyakini mendekati kebenaran.
"Serupa situs Trowulan, sampai sekarang belum diketahui persis di mana ibu kota Kerajaan Majapahit, kecuali baru dipastikan dalam areal situs Trowulan itu berpusat kerajaan Hindu, Majapahit."
Budaya agraris
Tarumanagara dikenal sebagai Kerajaan Hindu, tetapi berdasar temuannya di Batujaya yang terdiri atas 30 candi—20 di antaranya sudah digali—agama Buddha mulai masuk di sini. Temuan itu memperkaya data yang bisa ditafsirkan, Tarumanagara tak seluruhnya Hindu, bisa dikatakan Hindu-Buddha.
"Temuan gerabah dan terakota di kompleks percandian yang disertakan dalam kubur menunjukkan gerabah dibuat di India dengan tradisi Buddha," kata Hasan menunjukkan foto-foto artefak temuan di Situs Batujaya.
Selain dugaan Hindu-Buddha—pada tahun 1957 ditemukan Situs Cibuaya berjarak 20 kilometer sebelah timur Situs Batujaya—temuan pun menegaskan berkembangnya budaya agraris dan pemakaian bata bata hasil bakaran sebagai bahan bangunan candi. Bata ini sama seperti pada candi di Situs Muarojambi (Buddha) dan Trowulan (Hindu).
Mengapa bukan batu yang tak menuntut pembakaran? "Itu menunjukkan manusia mengembangkan keterampilan dengan cara beradaptasi dengan lingkungan setempat."
Ditemukannya arang dalam batu bata bakar, menunjukkan manusia zaman itu sudah memanfaatkan teknologi. Sekam sebagai bahan campur tanah liat untuk memperoleh hasil dengan suhu lebih tinggi. Sekam dari padi, tanah liat dari lahan yang mereka garap untuk pertanian. Budaya agraris menyatu dengan keseharian. "Itu menguntungkan, sebab lewat arang bisa diketahui umur bangunan."
Menurut dia, temuan-temuan itu menunjukkan mereka hidup di pinggir sungai. Situs Batujaya berada di pinggir beberapa sungai antara lain Sungai Tarum, Situs Muarojambi di pinggir Sungai Batanghari. Sesuatu yang biasa pada masa lalu, di mana pusat kerajaan dan kegiatan berada di pinggir sungai demi mempermudah jalur transportasi.
Seperti situs-situs lain di Indonesia, lingkungan Situs Cibuaya sudah rusak. Berlokasi di tengah persawahan, bagian atas dikepras untuk bercocok tanam, situs-situs itu tinggal beberapa meter di bawah tanah. Ada yang baru digali 10 sentimeter sudah ditemukan batu bata bangunan. Situs-situs umumnya ditemukan di kedalaman penggalian 2-3 meter, setelah empat meter sudah ditemukan kotak-kotak kubur batu prasejarah.
Situs Batujaya selain terdapat di bawah permukaan tanah, juga ditemukan di bawah gundukan tanah yang oleh masyarakat setempat disebut unur. Sisa bangunan tersebar di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telukbuyung, Kecamatan Pakisjaya seluas lima kilometer persegi.
Menurut Hasan, temuan Situs Batujaya pada 1984 amat penting, karena di Jawa Barat tak banyak ditemukan peninggalan budaya berupa candi, berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama ini yang dikenal masyarakat barulah Candi Cangkuang di Garut yang ditemukan tahun 1967, di Ciamis, di Pangandaran, dan kompleks percandinan Cibuaya pada 1957 yang jauhnya 20 kilometer sebelah timur Situs Batujaya.
Untuk memperkaya bahan rekonstruksi pengetahuan masa lalu, terutama Kerajaan Tarumanagara yang eksis pada abad 5-7 Masehi, temuan ini menantang. Penggalakan penelitian, termasuk penggalian situs sebagai salah satu cara memperolah bahan, menjadi keharusan sebelum situs-situs melapuk. Hasan, seperti rumpian di kalangan arkeolog, berdesah, "Arkeologi bukan ilmu masa lalu, tetapi ilmu yang memberi bahan bangsa ini memperkaya jati dirinya."
Repotnya, bidang ini terkesan tersisih. Selain minimnya dana penelitian, juga "pelitnya" penganugerahan gelar guru besar. Untuk bergelar guru besar, pengajar arkeologi harus bergelar doktor, sementara disiplin lain tidak. DD Bintarti dari Puslit Arkenas, misalnya, mengeluh, akibat "pelitnya" gelar guru besar, "Arkeolog-arkeolog sudah sepuh pun harus turun naik menangani langsung mahasiswa." Tampaknya, masa depan keahlian arkeologi, bidang yang ditekuni ilmuwan, seperti Dr Hasan Djafar, bukan lahan "basah"!
Sumber : Kompas, Rabu 24 Oktober 2007
May 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment