Abdus Samad, Lestarikan Hutan dan Kantong Semar
Oleh : C. Wahyu Haryo PS
Panggilan hati menjadi juru kunci Makam Juang Mandor, tempat pembantaian sekaligus kuburan massal semasa penjajahan Jepang, membuat Abdus Samad yang kala itu berusia 42 tahun memilih meninggalkan jabatan empuk sebagai Wakil Kepala Logistik Pemerintah Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dia lalu menjadi pegawai negeri sipil atau PNS biasa yang bertugas mengurus makam.
Namun, justru jalan yang dipilihnya pada tahun 1974 itulah yang membawa dia masuk ke sejumlah rimba di Kalimantan. Ia bisa menyalurkan hobinya mengoleksi anggrek hutan, terutama jenis kantong semar (Nepenthes spp).
Melalui hobinya itu, Samad mengajak dan mengajarkan masyarakat di sekitar hutan untuk membudidayakan tanaman hias khas hutan Kalimantan, khususnya kantong semar. Dengan hanya "memanfaatkan" flora khas hutan tanpa mencabut tanaman itu dari habitatnya, lelaki kelahiran Kabupaten Ketapang, 6 April 1932, tersebut berharap kelestarian hutan bisa terjaga.
"Kalau saja sejak dulu masyarakat diajari cara memanfaatkan flora khas hutan dengan memerhatikan kelestariannya, mereka tidak perlu merambah hutan, menebang pohon, atau menambang emas di kawasan hutan," katanya saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Kalbar).
Ia mengisahkan, saat kali pertama masuk ke Cagar Alam Mandor yang berada di belakang Makam Juang Mandor, kondisi hutan masih utuh. Ragam pepohonan asli, seperti meranti (Shorea spp), tengkawang (Shorea stenoptera), dan ramin (Gluta renghas), lalu flora khas, seperti anggrek hitam (Coelogyne pandurata), anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii), dan kantong semar (Nepenthes). Sementara satwa asli, seperti klempiau (Hylobates agilis), burung enggang (Bucherosrhinoceros), kukang (Nycticebus coucang), dan beruang madu (Helarctos malayanus), banyak dijumpai di kawasan konservasi seluas 3.080 hektar itu.
Hutan mulai rusak saat penebangan kayu log marak tahun 1996 dan mencapai puncaknya pada era reformasi. Ditambah lagi pada masa eksplorasi hutan itu, masyarakat sekitar mulai mengetahui bahwa flora khas, seperti anggrek, serta satwa asli di lokasi tersebut, banyak dicari orang kota dan harga jualnya mahal. Namun, akibat eksplorasi hutan itu tak dipikirkan. Ekosistem hutan yang rusak dan perburuan liar telah membuat fauna dan flora khas setempat hampir punah.
Samad masih ingat bagaimana masyarakat sekitar hutan banyak mencabut anggrek hitam untuk dijual kepada orang dari luar daerah itu. Setelah anggrek hitam di hutan habis, masyarakat di sekitarnya tidak bisa lagi mengambil manfaat dari kekayaan flora itu.
Tren baru
Setelah anggrek hitam susah didapat dan popularitasnya meredup, muncul tren baru di mana pasar tanaman hias mulai kepincut kantong semar. Tanaman karnivora dari jenis anggrek yang ujung daunnya berbentuk kantong itu semakin menyedot perhatian pencinta tanaman hias di Indonesia pada tahun 2004.
Gengsi kantong semar semakin melambung karena pada peringatan Hari Kemerdekaan RI Ke-60, tanaman itu dipamerkan di Istana Merdeka, Jakarta.
Indonesia bisa dibilang memang surganya kantong semar. Dari sekitar 86 jenis kantong semar, 64 jenis di antaranya berasal dari Indonesia. Sekitar 34 jenis atau lebih dari separuh jenis kantong semar di Indonesia tersebut ditemukan di Pulau Kalimantan.
Hati Samad yang pencinta tanaman anggrek ternyata juga kepincut dengan tanaman yang satu ini. Ia yang sering keluar masuk hutan di Kalbar, antara lain di Kabupaten Landak, Sintang, Sanggau, dan Ketapang, mulai mengumpulkan kantong semar.
Dari pergumulannya secara otodidak, Samad mendapatkan pelajaran berharga bahwa kantong semar justru bisa bertahan hidup di luar habitat aslinya saat diambil dengan cara setek batang. Tak ingin pelajaran dari kepunahan anggrek hitam terulang kembali, dia mengajarkan cara setek batang kantong semar kepada masyarakat sekitar hutan. Hasil penangkaran kantong semar itu lalu dibelinya dari masyarakat untuk selanjutnya ditangkarkan lagi di rumahnya.
"Saya hanya mau membeli kantong semar yang hasil setek. Dengan cara itu, masyarakat bisa mendapat uang dari kekayaan alam, sementara kelestarian hutan tetap terjaga," kata Samad.
Di rumah dia yang luasnya tak lebih dari 1.000 meter persegi, sekitar 5.000 kantong semar dari 11 jenis, di antaranya Nepenthes bicalcarata, Nepenthes rafflesiana, Nepenthes ampullaria, serta Nepenthes reinwartheana, dibudidayakan. Samad menjual kantong semarnya itu dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp 25.000 hingga puluhan juta per pokok tanaman. Dengan koleksinya yang cukup banyak, bisa dibilang ia seperti merawat "brankas hidup" di halaman rumah.
Bagi pencinta kantong semar, nama Samad relatif tak asing karena koleksinya banyak dibeli dan sering digunakan untuk penelitian maupun didokumentasikan orang. Pembeli tanaman kantong semarnya tak hanya dari dalam negeri, tetapi juga tamu dari Kanada, Jepang, dan Thailand. Mereka umumnya tahu tentang Samad dari foto yang dipublikasikan media atau informasi dari mulut ke mulut.
Dari pengalaman, kata Samad, kantong semar justru tumbuh subur tanpa diberi hormon atau pupuk. Perawatan tanaman ini pun sederhana, cukup dengan menyiram air sehari sekali.
"Kuncinya justru ada pada humus, lumut-lumutan, dan tanah gambut yang menjadi medianya untuk hidup. Jika kantong semar hasil setek sudah bisa bertahan 3-6 bulan saat ditanam di polybag, dipastikan tanaman itu bisa hidup di mana pun karena akarnya sudah kuat. Bahkan ketika dikirim ke Bandung dan Jakarta selama tiga hari, tanaman itu tidak mati," tuturnya.
Selain keuntungan ekonomi dari membudidayakan kantong semar, Samad juga memperoleh manfaat lain dari tanaman itu bagi kesehatan tubuh. Di balik tubuhnya yang kurus terbalut kulit keriput, Samad tampak bugar. Pandangan matanya jelas dan pendengarannya masih baik.
Menurut dia, semua itu karena ia sering meminum air rebusan akar kantong semar yang telah dikeringkan. Meminum air kantong semar yang masih kuncup, kata dia, juga baik untuk kesehatan. Kantong semar yang masih kuncup disebutkan mengandung cairan yang bisa dipakai sebagai obat batuk, sakit mata, mag, dan diare.
BIODATA
Nama: Abdus Samad
Lahir: Ketapang, Kalimantan Barat, 6 April 1932
Istri: Muhibah (68)
Anak:
1. Ismanto
2. Zulfahriati
3. Umi Sadariah
4. Nur Rahmawati
Pendidikan: Sekolah Rakyat
Riwayat Pekerjaan:
- Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Ketapang Urusan Rumah Tangga, 1957
- Wakil Kepala Logistik Kabupaten Ketapang, 1960
- Juru Kunci Makam Mandor, 1974-sekarang
Sumber : Kompas, Kamis, 25 Oktober 2007
May 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment