Oleh : Ani
Siapa bilang kalau ibu-ibu berkumpul kerjanya hanya ngerumpi dan ngegosip? Esther Sihombing justru menemukan sumber pendapatan baru dari hasil ngerumpi dan kumpul-kumpul dengan para ibu muda. Di rumahnya Esther menampung remaja yang kabur dari rumah.
Umumnya mereka adalah remaja yang menjadi ibu muda dan hamil di luar nikah. Untuk mengisi waktu ketika urusan rumah tangga selesai, Esther mengajak ibu-ibu muda tersebut untuk membuat kerajinan tangan patchwork dan quilting.
Lama-lama produksinya bertambah banyak. Esther menuturkan, timbul ide untuk memproduksi kerajinannya secara semimassal dan mulai memasarkannya. "Awalnya tidak sengaja. Hanya dari kumpul-kumpul dengan remaja yang saya tampung di rumah dan membuat kerajinan, akhirnya saya bikin usaha," kata Esther. Semula pembeli kerajinan buatan Esher terbatas pada sahabat dan teman dekat. Namun, setelah produknya mulai dikenal banyak orang pesanan mulai mengalir.
Keterampilan ini akrab disebut kerajinan menjahit kain perca. Caranya dengan memotong kain, menyambungnya menjadi bentuk-bentuk indah, kemudian menindasnya dengan jahitan yang mengikuti pola tertentu. Menyelesaikan produk quilting membutuhkan kreativitas, kesabaran, dan ketepatan ekstra.
Dalam memotong kain misalnya tidak boleh meleset 1 sentimeter pun. Bahkan, menurut Esther, dalam menyelesaikan pekerjaan, harus menggunakan mesin jahit yang sama. Misalnya, saat memulai pekerjaan menggunakan mesin jahit Singer buatan AS, selanjutnya harus menggunakan mesin yang sama. Hal ini karena meski satu merek, mesin jahit AS dan Indonesia memiliki ukuran "sepatu" yang berbeda sehingga hasil jahitan juga akan berbeda.
Pada 1995 Esther memulai usaha dengan membuat produk dekorasi rumah, seperti selimut, bed cover, taplak meja, sarung bantal, penutup lampu, gorden poni (violence), dan hiasan dinding. Ketika memulai usaha, Esther mengaku tidak menyiapkan modal awal. "Saya tidak memakai modal awal. Begitu punya uang saya beli kain dan lama-lama saya kumpulkan," katanya.
Wanita kelahiran 48 tahun lalu ini belajar seni quilting hanya dari membaca buku. Ia mencoba mengaplikasikan sendiri ilmu yang didapatnya dari buku berdasarkan trial and error. Setelah mahir, rasa percaya dirinya mulai tumbuh. Ia mulai melatih beberapa orang untuk menjadi karyawannya. Kini usaha Esther berkembang. Selain tujuh ibu muda yang diasuh di rumahnya, Esther juga memiliki 20 perajin yang siap dilatihnya sendiri.
Omzetnya lumayan. Padahal, Esther mematok harga lumayan tinggi, Rp 250.000-Rp 3,5 juta untuk setiap produk. Setiap bulannya tak kurang dari Rp 20-30 juta masuk ke kas tabungan yang diperolehnya dari hasill penjualan. Esther membuka kartu, produk yang paling laku adalah bed cover.
Mahalnya produk buatan Esther tak menyurutkan minat pembeli karena ia membidik pasar yang jelas. Sebagian besar pembelinya ibu-ibu dari kalangan menengah atas dan kaum ekspatriat. Kaum ekspatriat menggemari produknya karena di AS seni quilting kembali menjadi tren dekorasi dan sebagai penanda kebangkitan seni tradisional mereka. Meskipun tinggal di Bandung, menurut Esther, lebih dari 50 persen pembeli produknya justru berasal dari Jakarta. Biasanya pembelian dilakukan melalui pemesanan lewat telepon. Namun, tidak jarang juga pembeli datang langsung ke Bandung saat weekend agar bisa memilih secara langsung produknya.
====================
He Care Esther Quilt
Jalan Sumurbandung 14
Bandung
(022) 2501434/(022) 2515985
Sumber : Kompas, Selasa, 16 September 2008
0 comments:
Post a Comment