Stoner, dari "Crash King" ke Juara Dunia
Oleh : A Tomy Trinugroho
MotoGP, kelas paling bergengsi di ajang Kejuaraan Balap Motor Dunia, akhir pekan lalu memiliki juara dunia baru. Dia adalah Casey Stoner, pemuda sederhana asal Kurri Kurri, New South Wales, Australia. Bersama Ducati, Stoner menjadi juara dunia termuda kedua dalam sejarah MotoGP/kelas 500 cc.
Juara dunia paling muda ialah pembalap Amerika Serikat, Freddie Spencer. Dia menggondol gelar juara di kelas 500 cc pada tahun 1983 dalam usia 21 tahun 258 hari, sedangkan Stoner menjadi juara dunia pada usia 21 tahun 342 hari.
Menjadi juara dunia dalam usia muda tidak berarti Stoner menjalani karier balap dengan penuh kegemilangan. Sebaliknya, perjalanan karier yang dilalui Stoner adalah perjalanan karier yang penuh perjuangan berat.
Berbeda dengan mantan juara dunia MotoGP Valentino Rossi yang tampil gemilang sejak di kelas 125 cc, Stoner mengawali karier di kelas 125 cc dengan jauh dari tepuk tangan. Ia menutup musim perdananya di kelas 125 cc pada tahun 2001 dengan menempati urutan ke-29 klasemen, tanpa satu kemenangan. Sementara Rossi menutup musim perdananya di kelas 125 cc tahun 1996 dengan menghuni urutan kesembilan klasemen dan satu kemenangan.
Setahun kemudian Stoner naik ke kelas 250 cc Kejuaraan Balap Motor Dunia. Ia hanya berada di urutan ke-12 pada akhir musim. Alhasil, pada 2003, Stoner balik lagi ke kelas 125 cc dan menempati posisi kedelapan dengan satu kemenangan.
Pada tahun 2004, Stoner bertahan di kelas 125 cc. Ia memperlihatkan kemajuan dengan menempati posisi kelima klasemen akhir.
Stoner kemudian naik ke kelas 250 cc tahun 2005. Ia tampil sebagai rival utama bintang kelas 250 cc saat itu, Dani Pedrosa. Di akhir musim, Pedrosa berhasil mempertahankan gelar juara dunia, sedangkan Stoner berada di urutan kedua klasemen akhir.
Stoner dan Pedrosa kemudian hijrah ke kelas utama MotoGP pada 2006. Perbedaan perlakuan atau mungkin nasib pun terjadi di antara mereka
Stoner hanya mendapat tempat di tim Honda LCR, sebuah tim satelit dari raksasa pabrikan Honda. Kontras dengan itu, Pedrosa mendapat posisi terhormat di tim pabrikan, Repsol Honda.
Stoner menjalani musim perdananya di ajang MotoGP dengan tertatih-tatih. Penikmat MotoGP tentu ingat betul betapa seringnya Stoner mengalami kecelakaan pada 2006. Pembalap kelahiran Kurri Kurri, New South Wales, Australia, 16 Oktober 1985, itu sampai mendapat julukan "Crash King". Di musim perdananya, Stoner enam kali gagal finis dan satu kali tak mengikuti grand prix.
Stoner menutup musim 2006 pada posisi kedelapan dengan 119 poin. Pedrosa menutup musim 2006 di urutan kelima dengan 215 poin plus dua kemenangan.
Juara dunia MotoGP 2006 adalah Nicky Hayden. Rekan satu tim Pedrosa ini menjalani masa buruk pada 2007 dengan tanpa satu kemenangan pun.
Kehidupan di Ducati
Pada musim 2007, Stoner menarik minat pabrikan motor asal Italia, Ducati. Suami dari Adriana Tuchyna ini memang dikenal sangat gigih saat berlomba.
Selain Stoner, Ducati juga memburu Marco Melandri untuk menemani Loris Capirossi. Namun, Melandri masih ingin berlama-lama di tim satelit Honda yang pada 2006 bernama Fortuna Honda dan pada 2007 berganti jadi Honda Gresini itu.
Bergabung dengan Ducati, Stoner mendapat apa yang selama ini diharapkannya, yakni perhatian penuh dan fasilitas tim pabrikan.
"Jujur saja, kami beruntung mengikat kontrak dengan Stoner. Setahun lalu, semua orang di paddock tahu Stoner memang kencang, tetapi tak seorang pun berpikiran ia akan menjadi juara dunia pada tahun ini," kenang bos tim Ducati, Livio Suppo, seperti dikutip autosport.com.
Tampilnya Stoner sebagai juara dunia membuat kubu Ducati sangat bangga. Pabrikan berbasis di Bologna, Italia, ini baru terjun kembali di MotoGP tahun 2003 setelah absen tiga dekade.
"Luar biasa. Hanya dalam lima musim kami bisa mengantongi gelar juara dunia. Yamaha memerlukan 12 musim dan mereka harus mengikat kontrak dengan Valentino untuk memenangi gelar juara dunia," ujar Suppo.
Ducati pantas untuk kian besar kepala. Pertama kalinya, sejak tahun 1974, pabrikan Eropa atau pabrikan motor Italia mengantar pembalap mereka jadi juara dunia di kelas utama Kejuaraan Dunia Balap Motor.
Pada tahun 1974 atau 33 tahun silam, MV Agusta adalah pabrikan motor Eropa yang terakhir kali memiliki pembalap bergelar juara dunia. Ia adalah Phil Read asal Inggris. Sejak itu selalu pabrikan Jepang (Suzuki, Yamaha, dan Honda) yang mampu mengantar pembalap menjadi juara dunia.
Keberhasilan Ducati dan Stoner tak lepas berkat pemakaian motor anyar 800 cc—dari kapasitas sebelumnya 990 cc—dan penerapan regulasi baru soal ban pada musim 2007. Kedua faktor itu memberi kontribusi tidak sedikit bagi sukses Ducati dan Stoner. Kinerja ban Bridgestone yang dipakai Ducati juga sungguh superior ketimbang Michelin yang dipakai pembalap Fiat Yamaha, Rossi dan Pedrosa.
Dari 15 seri yang telah digelar, Stoner mengantongi delapan kemenangan. Rossi mencetak empat kemenangan dan Pedrosa satu kemenangan. Dua kemenangan lagi dipetik Capirossi dan pembalap Rizla Suzuki, Chris Vermeulen. MotoGP 2007 menyisakan tiga grand prix.
Keberhasilan Stoner menjadi juara dunia dalam usia yang belia tergambar saat ia masih bayi. Ayah Stoner, Colin, menceritakan, Stoner sudah suka mengendarai sepeda motor sejak baru berusia satu tahun enam bulan.
"Saya duduk di belakang dia dan mengarahkannya. Naik motor ternyata merupakan sesuatu yang begitu diinginkannya. Sejak itu, ia tak pernah kehilangan hasrat untuk selalu naik motor," kata Colin seperti dikutip Reuters.
Colin sangat mendukung putranya. Keluarga yang begitu menggilai motor itu mengikutkan Stoner pada berbagai kejuaraan untuk anak-anak. Pada usia empat tahun, Stoner mengikuti Pee Wee 50 untuk kategori umur di bawah sembilan tahun.
Ketika Stoner berusia enam hingga 14 tahun, ia bersama kedua orangtuanya menyusuri penjuru Australia untuk mengikuti berbagai kejuaraan motor di trek tanah (dirt track).
Jual tanah pertanian
Pada usia 14 tahun, Colin sadar Stoner masih tak bisa mengikuti road race (balap motor di trek aspal) karena Australia menetapkan pembalap minimal berusia 16 tahun. Dengan menjual tanah pertanian, mereka hijrah ke Inggris karena negara ini mensyaratkan usia minimal 14 tahun.
Sekitar tahun 2000, mereka hidup sangat sederhana di Inggris di dalam karavan. Mereka kadang-kadang hidup tanpa listrik dan air. Namun, itu semua tidak membuat mereka kapok dan pulang ke Australia.
Akhirnya, semua kesusahan itu tinggal menjadi cerita manis. Stoner kini sudah menjadi juara dunia. Ia adalah orang Australia ketiga yang menjadi juara dunia setelah Wayne Gardner (1987) dan Mick Doohan (1994-1998).
Sumber : Kompas, Selasa, 25 September 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment