Bunyamin, Berbagi Lewat Peci
Oleh : Agustinus Handoko
Ketika dia masih bekerja pada sebuah lembaga penyantun orang miskin untuk menyalurkan bantuan di luar desanya, sebenarnya ia merasa gelisah sebab ratusan warga di desanya sendiri juga hidup miskin. Selama dua tahun dia bertahan, sebelum memutuskan berhenti.
Setiap kali menyampaikan bantuan untuk orang miskin, Bunyamin tak bisa melepaskan bayang-bayang kemiskinan yang melilit ratusan warga di desa asalnya, Desa Kebonpedes, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Kegelisahan itu makin memuncak, karena semakin hari makin banyak orang yang menganggur di desanya. Tetapi, tak kunjung datang orang atau lembaga yang bisa menggandeng mereka keluar dari kemiskinan. Kondisi inilah yang membuat Bunyamin memutuskan keluar dari lembaga tersebut, dan kembali ke kampung.
Dengan bekal tabungan, dia lalu menghabiskan waktu sekitar setahun untuk mencoba berbagai usaha yang sekiranya tepat untuk mengentaskan kemiskinan warga sekitar.
Tahun 1995 misalnya, cerita Bunyamin, ia berusaha membuat kerajinan rajut berbahan benang nilon yang kemudian dikenalkannya kepada tiga warga kurang mampu di sekitar rumahnya. Selama setahun mereka bisa menghasilkan rajutan berbentuk tas dan sandal.
Namun, karena biaya produksi mahal, maka harga produknya pun relatif mahal. Akibatnya, pemasarannya pun sulit. "Tas dan sandal relatif mahal karena kualitasnya memang lebih bagus dibandingkan dengan bahan lain. Sayang, tidak terlalu laku," kata Bunyamin.
Ia kemudian mencoba rajutan lain berupa peci atau kopiah dengan berbagai model. Bersama para perajin, Bunyamin langsung memasarkan peci rajutan itu. Mula-mula ia menawarkan peci rajutan itu ke pasar-pasar tradisional di Sukabumi. Ketika peci rajutan itu mendapat respons bagus dari konsumen di Sukabumi, Bunyamin makin percaya diri untuk memasarkannya ke luar Sukabumi.
Dia sengaja memilih kerajinan rajutan, karena pekerjaan itu relatif tak asing bagi warga di kampungnya. Meskipun sudah mulai laku, tetapi pembuatan peci rajutan masih bisa dikerjakan oleh Bunyamin dibantu tiga perajin.
Melihat permintaan peci rajutan semakin banyak, Bunyamin makin yakin usaha ini bisa menjadi lokomotif pembawa gerbong kesejahteraan bagi warga di desa, terutama bagi warga yang menganggur.
Pahlawan kesiangan
Bunyamin mulai menyambangi satu per satu keluarga kurang mampu untuk diajak bergabung menjadi perajin. Ia meyakinkan mereka bahwa dengan mengisi waktu menganggur itu, mereka dapat keluar dari kubangan kemiskinan.
"Tak mudah, tetapi saya terus berusaha dan mereka pun bisa melihat hasilnya. Saya mengutamakan pendekatan ini kepada warga yang menganggur," tutur Bunyamin.
Kelompok ibu-ibu rumah tangga yang menjadi pengangguran terselubung adalah kalangan pertama yang bersedia bergabung menjadi perajin peci rajutan.
"Ibu-ibu rumah tangga kan punya waktu, setelah mereka mengerjakan pekerjaan rumahnya. Saya lihat mereka hanya menganggur saja sambil menunggu suami yang bekerja sebagai buruh di sawah," ungkapnya.
Meski tetap ada sebagian warga yang tak yakin pada usaha Bunyamin, tetapi dia tak putus asa. Peluang justru terbuka bagi dia, ketika terjadi krisis multidimensi tahun 1997. Krisis tersebut telah membuat hampir seluruh warga miskin makin tak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Jumlah perajin yang bekerja pada dia bertambah karena desakan ekonomi. Kalau sebelumnya hanya puluhan orang saja, kini jumlah perajin aktif yang membuat peci rajutan menjadi 128 orang. Mereka tak hanya berasal dari Desa Kebonpedes saja, tetapi tersebar di empat desa di Kecamatan Kebonpedes, dan satu desa lagi di Kecamatan Sukaraja.
Para ibu-ibu rumah tangga pun semakin rajin, sebab lewat kerja keras mereka, kesulitan ekonomi keluarga bisa terbantu. Bayangkan, kata Bunyamin, dengan ketekunan dan kerapian rajutan tangannya, seorang ibu bisa menghasilkan lima peci rajutan dalam sehari, yang berarti dapat mengantongi uang setidaknya Rp 17.500 per hari.
"Memang, belum semua warga yang menganggur mau menjadi perajin peci rajutan. Tetapi, sekarang ini sudah 177 orang yang terdaftar sebagai perajin di sini," papar Bunyamin yang awalnya memulai usaha ini hanya dengan modal Rp 54.000.
Tak bisa memenuhi
Kini, lebih dari 10 tahun sudah usaha itu ditekuninya. Selain bisa memberi pekerjaan dan penghasilan tambahan bagi warga desa, Bunyamin sampai terpaksa menolak pesanan karena tak sanggup memenuhinya. Tanpa menyebutkan omzetnya, rata-rata produk peci rajutan dari Kebonpedes per bulan mencapai sekitar 2.000 potong. Jumlah itu selalu habis terjual.
Apalagi menjelang Idul Fitri, bahkan sekitar tiga bulan sebelum Hari Lebaran tiba, setidaknya Bunyamin harus memenuhi permintaan konsumen sebanyak 20.000 potong per bulan.
"Sebenarnya, kalau mau memenuhi semua pemesan, saya harus membuat 30.000 buah peci rajutan. Tetapi saya tidak sanggup. Saya tetap harus mengawasi sendiri produk kerajinan ini, supaya kualitas tetap terjaga. Ini biar konsumen tidak lari," tutur Bunyamin.
Tak ingin mengecewakan konsumen, dia tak hanya memenuhi permintaan dalam jumlah banyak. Peminat peci rajutan eceran pun dia layani. Bunyamin menjual produk peci rajutannya seharga sekitar Rp 35.000 per potong untuk eceran, dan Rp 350.000 untuk paket satu kodi atau 20 potong peci rajutan dengan berbagai model.
"Supaya konsumen tidak bosan, saya bisa memadu-padankan warna peci. Ini kelebihan peci rajutan dengan peci nasional yang modelnya baku dan pilihan warnanya pun terbatas," tutur Bunyamin.
Untuk menunjukkan variasi peci rajutan buatannya, Bunyamin menunjukkan empat model peci rajutan yakni peci rajutan biasa seperti peci nasional, peci rajutan bulat, peci rajutan bulat rata, dan peci rajutan bulat Istambul. Kombinasi warna benang rajutannya pun semakin beragam, mulai dari hitam, putih, merah, dan krem.
Meski sebagian warga di kampungnya relatif tak lagi menganggur dan telah memiliki penghasilan "lumayan", namun Bunyamin mengaku tak ingin berhenti sampai di sini.
"Saya berharap, ke depan, para perajin bisa mandiri agar tingkat kesejahteraan mereka makin meningkat, dan pemasarannya pun tak hanya tergantung sama saya," ujarnya.
***
BIODATA
Nama: Bunyamin
Lahir: Sukabumi, 18 Desember 1951
Istri: Iis Sumartini (40)
Anak:
1. Eva Sofia (10)
2. Fina Nurul Hakim (6)
3. Fani Agustina (2)
Pendidikan:
1. SDN Ranji
2. SMP Muhammadiyah Kota Sukabumi
3. SMEAN Kota Sukabumi
4. Sekolah Tinggi Agama Islam Tarbiyah Kota Sukabumi
Sumber : Kompas, Jumat, 14 September 2007
May 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment