May 31, 2009

Asafa Powell : Asafa, Si Pemalu dari Orangefield

Asafa, Si Pemalu dari Orangefield
Oleh : Ida Setyorini

Anak termuda dari enam bersaudara pasangan William dan Cislin Powell itu terbiasa bersaing dengan kelima saudara lelakinya. Mereka senang joging dan berlomba sprint di Orangefield, Jamaika

Orangefield merupakan daerah pegunungan dengan perkebunan jeruk membentang sejauh mata memandang. Daerah itu berlokasi 3,5 mil dari Linstead yang termasuk wilayah St Chaterine. Warna hijau mendominasi area tersebut. Setiap kali mendekati panen, warna oranye buah jeruk dan sitrus turut mewarnai kawasan perkebunan tersebut.

Anak itu adalah Asafa Powell (24), sprinter kebanggaan Jamaika. Pada Minggu (9/9), ia memecahkan rekor dunia lari 100 meter putra dengan pencapaian 9,74 detik pada seri kedua di Kejuaraan Atletik Grand Prix IAAF di Rieti, Italia. Dia menajamkan rekor dunia atas namanya sendiri, 9,77 detik, yang tercipta di Athena, Yunani, tahun 2005.

Dalam keluarga, dia bukan bintang pertama. Sang kakak, Donovan, yang tertua dari mereka, sudah tampil di Olimpiade Sydney 2000 pada nomor estafet 4 x 100 meter, meski hanya finis keempat. Kakak lainnya, Vaughn adalah bintang sepak bola semasa hidupnya yang singkat. Dia tiba-tiba kolaps dan meninggal di lapangan sepak bola di Georgia.

Asafa kecil bersama kelima kakaknya tumbuh dalam lingkungan gereja karena ayahnya seorang pendeta senior di Redemption National Church of God. William dan Cislin sangat ketat mendidik anak-anak mereka dan mendisiplinkan anak-anak dengan tongkat. Tanpa izin dari sang ayah, mereka tidak boleh pergi berdansa atau menonton.

Si bungsu keluarga Powell itu adalah anak pemalu yang sedikit bicara. Namun, dia selalu ingin tahu dan sering mengikuti ayahnya mereparasi mobil.

"Asafa selalu senang berada dalam pelukan saya. Biarpun dia sudah besar, setiap kali pulang ke rumah dia langsung memeluk saya. Sampai-sampai saya perlu mengingatkan dia bahwa dia bukan lagi anak kecil," tutur Cislin dengan nada sayang.

Asafa yang suka bermain gitar dan menabuh drum itu menjadikan Donovan sebagai idola. Dia pun tidak mau kalah dari semua kakaknya. Jalan-jalan desa menjadi arena pembentukan dan kebugaran tubuh mereka. Meski paling muda di antara mereka, Asafa memiliki semangat kompetisi paling tinggi. Dia akhirnya mampu mengalahkan Vaughn.

Cintanya pada atletik tumbuh seiring dengan kesukaannya berlari bersama para kakak. Ambisinya adalah mengungguli Donovan yang tampil sebagai finalis pada Kejuaraan Dunia Atletik 1999 di Sevilla, Spanyol.

"Dulu saya tidak suka berlari. Saya hanya berlari dan tidak tahu bakal menjadi seorang pelari. Seingat saya, saya ingin menjadi pesepak bola, latihan dan bergabung dalam tim," ujar Asafa.

Saat duduk di SMA Charlemount, Asafa sudah menjadi pelari tercepat di sekolah. Dia turun di banyak nomor, seperti 100, 200, dan 400 meter. Pada semua nomor itu dengan mudah dia melewati para pelari lain. Dalam buku tahunan, Asafa dengan penuh percaya diri menulis, dia ingin menjadi manusia tercepat di muka Bumi

Namun, ketika itu namanya belum dikenal luas, hingga William membawanya ke St Jago. Tetapi, di tempat ini pun Asafa tidak berkembang. Lalu, sahabat ayahnya, Nyonya Frazer, membawa Asafa ke Jose Marti untuk latihan rutin setiap malam. Dia lalu melanjutkan studi ke UTech di Kingston, ibu kota Jamaika. Semasa di kampus itulah Asafa mengalami kemajuan pesat.

Tahun 2001, ketika masih di SMA, pelatih Stephen Francis yang berkedudukan di Kingston, melihat potensi bocah asal Orangefield itu. Padahal, waktu itu Asafa bukan pelari tercepat. Dia hanya finis keempat dengan catatan waktu 10,64 detik di Kejuaraan Nasional Atletik Antar-SMA se-Jamaika.

"Beruntung Asafa tidak pernah menjadi sprinter idola semasa SMA dan tak memiliki pelatih resmi. Maka, ketika saya mulai menangani dia, Asafa sama sekali tak punya harapan atau target tertentu di benaknya. Tanpa banyak tanya ia menjalankan semua program," ujar Francis mengenang.

Menurut dia, Asafa benar-benar tak menyadari potensi dan bakatnya di lintasan. Dia tidak pernah tahu betapa cepat dia berlari. Ia hanya tahu harus berlari semakin cepat seperti yang diminta pelatih.

Ketika atlet-atlet Jamaika lainnya pindah latihan ke Amerika Serikat, negara yang lebih aman ketimbang negerinya sendiri, Asafa memilih tetap latihan di dalam negeri, di Kingston. Ia menuruti imbauan mantan pelari gawang Brigitte Foster yang menyatakan atlet muda tidak perlu hijrah ke AS atau Eropa, hanya karena alasan ekonomi.

Daerah Karibia rupanya kawasan yang paling banyak menghasilkan sprinter kelas dunia. Sebut saja Hasely Crawford yang merebut emas pada Olimpiade Montreal 1976 untuk Trinidad.

Ben Johnson yang didiskualifikasi setelah meraih emas 100 meter putra di Olimpiade Seoul 1988 dengan catatan waktu 9,79 detik adalah sprinter Kanada kelahiran Jamaika. Ada pula Linford Christie yang menyabet emas pada Olimpiade Barcelona 1992 untuk Inggris.

Untuk latihan, Asafa berlari di rumput tanpa mengenakan sepatu spike, sepatu berpaku khusus untuk lomba nomor sprint. Dia memilih sepatu lari biasa yang bersol datar.

Sampai tahun 2003 nama Asafa belum terkenal di dunia internasional. Apalagi dia bercita-cita menjadi insinyur, bukan atlet profesional. Tahun itu pula, Asafa gagal meraih medali pada Kejuaraan Dunia Atletik di Paris karena didiskualifikasi di perempat final nomor 100 meter.

Akan tetapi, setahun kemudian ia menjadi favorit juara di Olimpiade Athena 2004. Sayangnya, dia gagal memenuhi harapan tersebut karena hanya finis kelima. Ia harus merelakan emas jatuh ke tangan Justin Gaitlin (AS).

Pada tahun itu, untuk pertama kali Asafa mampu berlari di bawah limit 10,00 detik di Kingston. Padahal, dia tidak memiliki program latihan secanggih rivalnya, sprinter AS.

Asafa gagal tampil pada Kejuaraan Dunia 2005 di Helsinki, Finlandia, karena otot pahanya robek. Lagi-lagi dia harus melihat Gaitlin menggaet emas dalam ajang tersebut dengan menjuarai dua nomor sekaligus, 100 meter dan 200 meter putra.

Tahun 2006 merupakan masa keemasan Asafa. Dia 12 kali membukukan catatan waktu di bawah 10,00 detik, termasuk dua kali menyamai rekor dunia miliknya. Pencapaiannya, menggaet emas 100 meter putra pada Commonwealth Games di Melbourne, Australia, dan menyapu bersih di seluruh enam seri Kejuaraan Atletik Golden League IAAF, telah mengantarkan dia meraih predikat Atlet Terbaik IAAF 2006.

Persaingan antara Asafa dan Gaitlin pun terjadi, tetapi keduanya tak pernah menjelekkan lawan. Justru keduanya berkali-kali melempar pujian dan mengungkapkan kebahagiaan ketika sang lawan mencapai hasil lebih baik. Gaitlin yang sembilan bulan lebih tua dari Asafa, menyamai rekor dunia Asafa di Doha, 12 Mei 2006. Tetapi, dia mendapat sanksi larangan bertanding selama delapan tahun karena terbukti positif menggunakan hormon testosteron.

Setelah gagal mempersembahkan emas dari Kejuaraan Dunia 2007 di Osaka, Jepang, Asafa mengakui telah melakukan kesalahan. "Persiapan saya bagus, saya siap, tetapi saya melakukan kesalahan besar di final."

Kesalahan itu ditebusnya di Rieti dengan mengukir rekor dunia baru 9,74 detik. Dia menjadi satu-satunya sprinter bebas doping yang mampu berlari dengan catatan waktu seperti itu. Bahkan, anak pemalu dari Orangefield itu yakin dia bakal berlari lebih cepat pada kejuaraan berikutnya. (AFP/reuters/ap)

**
Asafa Powell adalah orang keempat di luar sprinter AS yang memegang rekor dunia lari 100 meter putra sejak tahun 1912. Dia pun orang pertama setelah sprinter Kanada kelahiran Jamaika, Donovan Bailey, yang mengukir rekor dunia tersebut. Bailey membukukan catatan waktu 9,84 detik di Olimpiade Atlanta 1996. Walau mulanya dia lebih suka sepak bola ketimbang atletik dan tidak pernah berambisi menjadi atlet, Asafa lalu berkarier sebagai sprinter profesional. Ini terutama setelah tragedi beruntun menimpa keluarga. Kakaknya, Michael, tewas tertembak saat mengemudikan taksi di New York. Satu kakak lain, Vaughn meninggal dunia setelah pingsan di lapangan sepak bola. Ditambah, sang ayah, William Powell ditembak rahangnya ketika mencegah perampokan di rumahnya, di Orangefield. Gagal di Kejuaraan Dunia 2003 dan Olimpiade Athena 2004, serta Kejuaraan Dunia 2005 di Helsinki, Finlandia, Asafa berkilau di Kejuaraan Atletik Super Grand Prix di Tsiklitiria, Athena, Yunani 2005 dengan memecahkan rekor dunia milik Tim Montgomery (AS), 9,78 detik, yang tercipta tahun 2002. Asafa mengukir rekor dunia baru dengan waktu 9,77 detik. Kembali gagal meraih emas di Kejuaraan Dunia 2007 di Osaka, Asafa membuktikan diri sebagai sprinter tercepat, mengukir rekor dunia dengan waktu 9,74 detik di Rieti, Italia, Minggu (9/9).

***
BIODATA

Nama: Asafa Powell
Lahir: St Chaterine, Jamaika, 23 November 1982
Tinggi: 1,90 meter
Berat: 88 kilogram
Prestasi:
- Emas di 100 meter putra di Commonwealth Games 2006, Melbourne, Australia
- Perunggu di nomor 100 meter putra di Kejuaraan Dunia Atletik 2007, Osaka, Jepang
- Perak di nomor estafet 4 x 100 meter putra di Osaka, Jepang
Rekor dunia:
- 9,77 detik di Athena, Yunani (2005)
- 9,74 detik di Rieti, Italia (2007)
Penghargaan: Atlet Terbaik IAAF 2006

Sumber : Kompas, Kamis, 13 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks