Mimpi Budi, Ancol Pusat "Pembudayaan"
Oleh : Kenedi Nurhan
Bermain dan belajar. Dua kosakata sederhana ini mulai melekat di benak Budi Karya Sumadi ketika dipercaya memimpin PT Taman Impian Jaya Ancol pada 2004. Baginya, Ancol harus bisa memberi nilai tambah. Bukan sekadar tempat bermain yang cuma bersifat menghibur.
Sebagai pengelola tempat rekreasi terbesar di Indonesia, Budi tak ingin anak-anak yang datang ke Ancol bersama orangtua mereka dijadikan ’obyek’ semata; sumber pendapatan bagi perusahaan yang ia pimpin. Sebagai ayah dari satu putri yang juga masih anak-anak, ia ingin memberi sedikit sentuhan kecil kepada mereka.
Keberadaan pusat rekreasi yang terletak di pantai utara Jakarta tersebut dia angankan juga bisa menjadi sarana pembelajaran alternatif bagi masyarakat, khususnya anak-anak. "Belajar dalam suasana gembira, atau sebaliknya, tentu menyenangkan bagi anak-anak," kata lelaki kelahiran Palembang, 18 Desember 1956, ini.
Di sinilah pentingnya memadukan aspek permainan yang menggembirakan dengan upaya pemaknaan baru atas apa yang oleh para pedagog disebut belajar sambil bermain. Sebuah simbiosisme yang bersifat mendidik. Artinya, kata Budi, selain konsep keberadaan sejumlah wahana bermain yang ada di Ancol harus ditata ulang, beberapa wahana baru juga perlu dibangun.
Selama ini kegiatan wisata di Tanah Air lebih dikenal sebagai penuh hura-hura. Meski kadang berbiaya mahal, kecenderungannya tanpa memberi pengalaman edukatif. Masyarakat pun umumnya berwisata demi kegembiraan, lepas dari rutinitas belajar atau bekerja.
Budi melihat fenomena ini tak cuma potensi pasar, tetapi juga sarana mewujudkan mimpinya. Lewat apa yang kemudian dikenal sebagai konsep edutainment, di mana proses belajar yang didasari kesenangan dan kegembiraan dijadikan satu paket kegiatan, diyakini keberadaannya akan membuka ruang- ruang baru dalam pengembaraan anak-anak usia sekolah.
Edutainment! Itulah kata kuncinya.
"Ancol punya potensi mewujudkan semua itu. Jika itu terwujud, berarti Ancol sekaligus ikut memberi sentuhan kecil untuk terlibat mengembangkan semacam pendidikan alternatif yang didasarkan pada produk hiburan yang sarat unsur entertainment," ujarnya.
Kalau para pengunjung Dunia Fantasi, misalnya, kini bisa mengamati atau memeragakan secara sederhana gerakan-gerakan fisika melalui sejumlah wahana yang ada, itu semua bagian dari proses belajar sambil bermain yang menjadi kepedulian dia.
Sementara di Gelanggang Samudera, anak-anak tak sekadar mengenal ekosistem laut, tetapi dibantu panduan khusus untuk mengamati keanekaragaman hayati berikut peran dan fungsinya bagi kehidupan. Metode pengenalan pun dirancang agar mudah dipahami serta memberi kesenangan pada anak ketika diimplementasikan.
Bekerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Ancol menyediakan semacam lembar kerja siswa (LKS) yang bertuliskan: Ayo Jadi Detektif. Topiknya disesuaikan dengan kurikulum ilmu pengetahuan alam (IPA) siswa SD.
Bagi siswa kelas IV-VI, misalnya, tersedia dua pilihan materi: menu makanan bawah air dan kiat hewan air beradaptasi. Lewat pilihan menu pertama, siswa diajak mengenal ekosistem perairan, penggolongan ikan berdasarkan jenis makanan, sekaligus memperdalam pelajaran matematika. Pada menu kedua, di samping pengenalan ekosistem perairan, siswa diajak memahami peran dan fungsi morologi sirip dan bentuk-bentuk adaptasi ikan terhadap lingkungan.
"Siswa juga diperkenalkan pada dampak kegiatan manusia terhadap keseimbangan alam. LKS dilengkapi panduan bagi guru untuk membantu mereka mendampingi siswa," papar Budi.
Peran anak muda
Dalam upaya mewujudkan mimpinya, Budi tak bekerja sendiri. Dalam satu kesempatan, arsitek lulusan Universitas Gadjah Mada (1981) ini banyak melibatkan orang muda untuk mewujudkan mimpi tersebut. Pemikiran itu bukan saja ia gali dari mereka yang ada di lingkungan kerjanya, tetapi juga dari sejumlah mitra kerja yang ia jalin.
Belakangan, ia melibatkan komunitas mahasiswa-dosen dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk menggarap aspek seni dan budaya di Ancol. Beberapa kegiatan sudah digarap, seperti ketika IKJ memberi sentuhan dalam China Golden Weeks pada perayaan Tahun Baru China, 17 Februari-4 Maret 2007. Dalam cakupan dan peristiwa kebudayaan yang lebih luas, Ancol-IKJ bersama sejumlah mitra kerja—termasuk Kompas—pada 24-27 Agustus ini menggelar Urban Festival 2007.
"Sebagai pemanasan, 12-19 Agustus ini 150 warga asli dari pedalaman Kabupaten Asmat, Papua, hadir di Pantai Carnaval Ancol dengan aneka budaya dan karya seni mereka," tuturnya.
Budi yang sebelumnya lebih banyak terlibat urusan teknis-arsitektural, terutama ketika bertugas pada divisi properti di bawah bendera PT Pembangunan Jaya Group, kini harus bersentuhan dengan aspek artistik-estetika kultural. Karena itu, ia perlu banyak ’mendengar’ dan ’membaca’; menyimak setiap masukan dan mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan.
"Orang-orang muda itu sangat kreatif. Begitu pun cara kerjanya. Ide-ide mereka kadang terkesan liar, tetapi bila dikaji banyak yang memberi inspirasi," kata suami Endang Sri Hariatie (50) dan ayah dari Bambina Ayudia (9) ini.
Setiap akhir pekan, bila tak ada pekerjaan yang betul-betul tak bisa ditinggalkan, ia bersama keluarga memilih menyepi di kediaman mereka yang asri di pinggiran kawasan Bintaro Jaya, Tangerang. Jauh dari rumah "kontrakan"-nya di kawasan Ancol, Jakarta Utara.
Di tengah kerimbunan aneka jenis pohon mangga ("ada delapan macam," kata Endang), pohon kelor, dan matoa yang tumbuh di halaman, Budi merasa bisa melepas kepenatan hidup di Jakarta yang sumpek. Apalagi sesekali kicau burung prenjak dan gereja dari pepohonan di sekitar ikut menghibur.
Istri dan anaknya berkebun di lahan sempit di sisi kanan bangunan rumah yang penuh unsur etnik, atau melihat biakan udang air tawar dalam bak-bak kecil di bagian belakang rumah. Budi merasa benar-benar bisa menikmati hidup.
Di tengah "hutan beton" di kota-kota besar seperti Jakarta, bagi orang-orang seperti Budi, menyiasati bagaimana memanfaatkan sepenggal waktu yang tersisa itu bisa diibaratkan sebuah ’ritus’ besar. Karena itu, ia ingin mewujudkan mimpi menjadikan Ancol pusat rekreasi keluarga sekaligus sumber belajar. Istilah kerennya: pusat pembudayaan!
Bagaimana memadukan kebutuhan keluarga akan berbagai produk hiburan di satu sisi, serta ketersediaan aktivitas bermain sambil belajar di sisi lain, sesungguhnya mimpi kita bersama....
Sumber : Kompas, Kamis, 9 Agustus 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment