Baso Patolai, Tak Sekadar Memelihara Patin
Oleh : Irma Tambunan
Baso Patolai sekarang dapat tersenyum lega. Ratusan hektar lahan gambut yang sempat termarjinalkan telah menjadi hamparan kolam-kolam ikan patin siam (Pangasius suci). Ia butuh lima tahun untuk mengubah cara pandang masyarakat setempat dari pertanian ke budidaya ikan.
Sejak 1960-an para perantau asal Bugis menetap dan membentuk komunitas baru menjadi Desa Tangkit Baru di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, sekitar 20 kilometer selatan Kota Jambi. Selama perantauan di kawasan berawa ini, mereka yang datang dari latar belakang bahari kesulitan mengembangkan ekonomi. Sejumlah perintis desa sempat mengembangkan budidaya buah nanas, tetapi tak banyak generasi muda yang melanjutkan.
Baso pun awalnya ingin menjadi dosen. Setelah lulus S-2 Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang, tahun 1999, dia menunggu formasi dosen di Universitas Jambi. Namun, kesempatan itu tak kunjung tiba. Bingung menjadi pengangguran, Baso mengisi waktu luang membantu pamannya membuka kolam ikan patin.
Saat pertama menebar sekitar 1.000 bibit patin tahun 2000, panen ikan memberi keuntungan bersih sekitar Rp 1 juta dalam waktu enam bulan. "Saya pikir, daripada lama menunggu formasi dosen, lebih baik membuka kolam patin," tuturnya.
Saat itu Baso masih memiliki sisa dana beasiswa Rp 8 juta. Atas bantuan sejumlah tetangga, ia mengeruk tanah milik keluarga dengan cangkul hingga kedalaman sekitar 2,5 meter. Baru setengah meter penggalian, air mulai keluar dari balik tanah.
Menurut dia, ada untungnya membuka kolam di lahan gambut. Persediaan air untuk kolam lebih stabil. Tak sampai menunggu dua hari, air sudah penuh hingga permukaan kolam. Dia lalu menebarkan sekitar 5.000 patin.
Baso begitu gembira mengetahui panennya menghasilkan hampir tiga ton ikan, berukuran lebih dari setengah kilogram per ekor. Penjualan patin di Jambi tak sulit sehingga mendatangkan keuntungan sekitar Rp 6 juta per kolam. Apalagi pada masa itu harga patin mencapai Rp 8.500 per kg karena petani yang membudidayakan masih sedikit.
Besarnya keuntungan yang didapat dari dua kolam patin milik Baso mendorong warga setempat tertarik. Mereka ikut membuka kolam ikan. Warga yang belum punya tanah pun mulai membeli. Harga tanah lalu terdongkrak menjadi sekitar Rp 25 juta-Rp 30 juta per hektar tahun 2005.
Padahal, kawasan ini sebelumnya ditinggal pemiliknya, penduduk asli Jambi, karena kondisi tanah dianggap tak memberi manfaat.
Tumbuh pesat
Pertumbuhan jumlah kolam sangat pesat. Dari hanya tujuh kolam tahun 2002, kini terdapat 1.700 kolam patin di Desa Tangkit Baru. Baso memiliki 51 kolam di antaranya. Setiap kolam berisi sekitar 5.000-an patin.
Untuk menunjang produksi, lahan gambut yang hanya mengandung ph 3 ditaburi kapur bangunan agar ph-nya menjadi 6,8-7,8. Kapur pun menjadi antiseptik untuk menekan tingkat kematian ikan. Dengan cara ini patin bertahan hidup di kawasan gambut.
Sekitar 450 keluarga kini menjadi petani patin. Untuk memudahkan pemberdayaan, mereka terbagi dalam 17 kelompok. Bersama petani, Baso menciptakan sistem kolaborasi penentuan harga. Melalui sistem ini, petani tak dapat bermain curang mematok harga rendah demi merebut konsumen dari petani lain. Harga ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama, melalui rapat yang digelar setiap satu atau dua pekan.
Maka, keuntungan petani patin lebih tinggi dibandingkan dengan petani ikan daerah lain. "Kami punya pasar sendiri. Konsumen pun menghormati harga yang telah dipatok. Naik-turunnya harga disesuaikan dengan ketersediaan suplai ikan di pasaran," tutur Baso.
Penjualan ikan juga lebih terjamin karena kelompok ini memiliki pembukuan yang baik mengenai kalkulasi total volume panen setiap bulan dan kebutuhan pasar di Jambi. Baso menyadari, melesatnya petumbuhan sektor perikanan di Jambi menjadi tantangan untuk melempar hasil panen keluar provinsi.
"Kami harus berpikir sendiri. Akibat minimnya bantuan pemerintah membuka pasar ekspor, kami harus berusaha membuka jaringan baru pemasaran hasil panen," ucapnya.
Pembuatan pakan
Maraknya budidaya patin mendorong kenaikan harga pakan setahun terakhir. Petani pun mulai terjepit. Baso kembali mesti memutar otak. Setelah mempelajari pembuatan pakan, ia membuat sendiri pakan dengan campuran dedak, jagung, bungkil kelapa, ikan, dan ampas tahu. Berhasil dengan racikannya, Baso dan kelompoknya mengajukan bantuan modal pengembangan usaha kepada pemerintah dan Pelabuhan Indonesia (Pelindo) cabang Jambi.
Bantuan Rp 10 juta dari Pelindo, dengan masa pengembalian dua tahun, berhasil dilunasinya dalam 1,5 tahun. Ini membuat Pelindo tak pikir panjang untuk membantu petani setempat membangun usaha-usaha pakan ternak. Kini, dari 17 kelompok tani patin tersebut, sebanyak 13 kelompok telah memiliki pabrik pakan ikan.
"Dari produksi pakan mandiri, kami bisa menghemat biaya produksi Rp 100 per ekor. Bisa dibayangkan berapa ratus juta uang bisa kami hemat pada jutaan ikan yang dibudidayakan," ungkapnya.
Mereka juga berhasil melepas diri dari ketergantungan yang kerap membuat petani terpuruk. Mulai dari memproduksi pakan, menjangkau pasar, dan mengendalikan harga jual. Kini, Baso mulai merintis usaha kerajinan makanan berbahan baku patin. Sebagian hasil panen tengah diuji coba dengan cara diolah menjadi abon ikan, kerupuk, dan ikan asap. Kaum ibu pun diberdayakan untuk mengolahnya.
Datang ke sentra budidaya patin di Desa Tangkit Baru, Anda akan melihat masyarakat yang hidup damai dengan lahan gambut. Tanpa banyak obral janji, Baso berusaha mengangkat kemampuan ekonominya dan masyarakat petani ikan.
Sumber : Kompas, Rabu, 18 Juli 2007
May 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment