Sunarto dan Swasembada Kedelai
Oleh : Aufrida Wismi Warastri
Dalam sebuah acara pertanian di Jakarta, Prof Dr Ir Sunarto MS (61) bertemu dengan seorang petani dari Palembang. Sunarto bertanya kepada petani itu, kedelai apa yang disukai petani di Sumatera Selatan? Pria itu mengatakan dalam logat Palembangnya: petani banyak suka pada kedelai varietas slamet.
Petani tadi rupanya tak tahu siapa yang dihadapinya. Setelah bercakap-cakap cukup lama, baru Direktur Soybean Research and Development Center Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu mengaku bahwa dialah penemu kedelai varietas slamet itu.
Keistimewaan yang dipunyai kedelai slamet adalah toleransinya pada tanah asam. Di tanah normal, slamet berproduksi rata-rata 2,26 ton per hektar, sedangkan di tanah asam ber-Ph 4 hingga 4,5 dan berkadar aluminium tinggi, produksinya hanya turun paling banyak 10 persen, atau masih di atas dua ton. Pada varietas lain, penurunan produksi mencapai 30 hingga 40 persen.
Tanah asam podsolik merah kuning yang jumlahnya jutaan hektar di Indonesia, khususnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya membuat Sunarto berpikir bagaimana membuat varietas kedelai yang tahan hidup di kawasan itu. Selain miskin unsur hara N, P, K dan Ca, tanah podsolik merah kuning juga rawan menimbulkan keracunan Al bagi tanaman.
Keracunan itu dapat menyebabkan akar tanaman rusak sehingga penyerapan tanaman pada unsur hara dan air tidak efisien. Fiksasi fosfat juga terjadi di tanah asam sehingga unsur itu tak cukup didapat tanaman.
Ia kemudian menyilangkan kedelai varietas dempo yang toleran pada tanah asam dengan varietas wilis yang mampu beradaptasi secara luas. Pada galur T33 dempo dan wilis ditemukan varietas yang sangat toleran pada tanah asam.
Galur itu kemudian didaftarkan ke Badan Benih Nasional Departemen Pertanian untuk dilepas menjadi varietas unggul baru pada tahun 1995 dengan SK Menteri Pertanian RI Nomor 26/Kpts/TP/240/I/95 dengan nama Slamet, nama gunung tempat Universitas Jenderal Soedirman berada di kakinya.
Tak perlu pengapuran
Biasanya petani membutuhkan pengapuran untuk menghilangkan keasaman tanah. Jika kedelai lain hendak ditanam, dalam satu hektar lahan dibutuhkan lima ton kapur yang hanya mampu bertahan dua hingga tiga tahun. Selain mahal, kapur juga sulit dicari. Namun, dengan adanya varietas slamet, pengapuran tak perlu dilakukan.
Setelah dilepas lebih dari 10 tahun, varietas slamet sudah dikenal oleh banyak petani. Satu rumpun varietas ini bisa mempunyai 80 hingga 150 polong. Jumlah polong yang berbiji tiga berjumlah antara 30 hingga 40 persen.
Tinggi tanaman rata-rata 65 sentimeter dengan daun yang lebat. Masa tanam mencapai 87 hari, dengan umur berbunga 37 hari. Bobot 100 biji kedelai slamet rata-rata 12,5 gram.
Hasil penelitian menunjukkan, rendemen kedelai slamet saat dibuat tahu lebih banyak dibandingkan dengan kedelai impor, baunya juga tidak langu. Kedelai ini juga terbukti lebih tahan tanah asam dibandingkan dengan kedelai biloxsi dari Amerika Serikat. Meskipun demikian, popularitasnya di antara petani memang masih kalah jika dibandingkan dengan varietas wilis yang dilepas tahun 1981.
Selain di Sumatera Selatan dan Pulau Jawa, kedelai ini digemari oleh petani di Riau, Bengkulu, hingga Kalimantan Tengah. Beberapa petani juga mengembangkannya di Sulawesi Selatan. "Petani di Kebumen sudah mulai menyimpan benihnya," tutur Sunarto.
Benih berkadar air 10 persen mampu disimpan selama satu tahun. Untuk menghasilkan kadar air 10 persen, biji kedelai dijemur empat-lima kali beberapa jam sebelum pukul 11.00 siang. Penjemuran dihentikan jika saat digigit, biji kedelai pecah. Simpan kedelai dalam plastik yang dibungkus kertas semen. Letakkan di atas meja dalam suhu kamar.
Pengembangan kedelai di banyak kawasan menimbulkan harapan Indonesia mampu berswasembada kedelai meskipun kini masih mengimpor 1,5 juta ton per tahun. "Swasembada kedelai sebetulnya secara teknis sangat memungkinkan, hanya ada kendala berupa faktor nonteknis," tutur alumnus Fakultas Pertanian Unsoed dan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor itu akhir Oktober lalu.
Faktor nonteknis itu misalnya faktor sosial ekonomi. Sebutlah misalnya, kurangnya kemampuan petani mengadopsi teknologi dan sikap petani yang terlalu menerima. Di sisi lain pihak importir kedelai juga tidak akan tinggal diam untuk menjaga usahanya.
Pria kelahiran Bandung 14 Agustus 1945 itu mencontohkan; program Bimas dan Inmas yang sudah dijalankan pemerintah sejak tahun 1965 baru berhasil 20 tahun kemudian saat Indonesia dinyatakan mampu berswasembada beras. "Butuh waktu 20 tahun untuk menyadarkan petani," ujarnya menambahkan.
Petani sendiri masih setengah hati menanam kedelai. Maka, bapak tiga anak dan suami dari Indra Sunaryati ini sangat mendukung rencana pemerintah berswasembada kedelai pada tahun 2010. Petani akan tertarik pada kedelai jika produksi kedelai di atas dua ton per hektar.
Apalagi jika ada subsidi pupuk. "Padi sudah (mendapat perhatian), sekarang ini giliran kedelai," ujarnya.
Sumber : Kompas, Jumat, 10 November 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Selamat siang
Saya ingin bertanya, saya boleh tau email pak sunarto??
Terimakasih
Selamat siang
Saya ingin bertanya, saya boleh tau email pak sunarto??
Terimakasih
Post a Comment