Jun 4, 2009

Sujono : Kesetiaan Sujono Menjaga Fosil

Kesetiaan Sujono Menjaga Fosil
Oleh : Boni Dwi Pramudyanto

Bagi Sujono, kepuasan bekerja tak hanya diukur dari materi. Dia amat mencintai tugasnya menjaga fosil-fosil manusia purba di Museum Trinil, Ngawi, Jawa Timur, lebih dari 20 tahun. Walau untuk tugasnya itu, gajinya relatif kecil.

Dia adalah penjaga, juru pelihara, sekaligus pemandu yang baik pemahamannya mengenai sejarah kawasan purba Trinil. Menekuni profesi sebagai juru pelihara fosil di Museum Trinil adalah bentuk kenikmatan tersendiri bagi pria kelahiran Ngawi, 16 Februari 1965, ini. Dengan mempelajari fosil, Sujono mengaku mendapatkan banyak pengetahuan tentang ilmu paleoantropologi atau kepurbakalaan.

Menjadi "pakar" purbakala tak pernah dienyam Sujono di lingkungan pendidikan formal. Sebelum direkrut menjadi tenaga honorer dengan tugas sebagai juru pelihara fosil di Museum Trinil tahun 1990, Sujono menggeluti bidang kepurbakalaan secara otodidak. Dia belajar kepada almarhum kakeknya, Mbah Wiro Balung, yang merupakan perintis berdirinya Museum Trinil dan pengumpul fosil-fosil purba.

"Saya mendapat banyak pengetahuan dan pelajaran tentang fosil dari almarhum Mbah. Tak jarang saya bersama Mbah mencari fosil-fosil di sepanjang Sungai Bengawan Solo yang mengalir tepat di samping rumah kami," kenang Sujono saat ditemui di Museum Trinil, awal April.

Selama berpetualang berhari-hari itu, Sujono menemukan banyak fosil yang diduga sebagai bagian tubuh manusia purba (Pithecantrophus erectus), gajah purba (Stegodon trigonocephalus ivory), kerbau purba (Butalus palaekerabau horn), dan sejumlah fosil tanaman purba lain. Setiap temuan fosil di sepanjang lembah Bengawan Solo itu amat berharga karena merupakan fakta sejarah yang harus dijaga.

Setiap menemukan fosil, dia selalu menyimpannya di Museum Trinil yang berlokasi di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, untuk diteliti lebih lanjut. Mulanya dia tak mengenal teori-teori ilmu kepurbakalaan. Secara otodidak Sujono mendalami ilmu tersebut serta banyak berinteraksi dan sering menemani para peneliti yang datang ke kawasan Trinil.

Mengajak masyarakat

Kesetiaan menjaga warisan nenek moyang itu dibuktikan Sujono dengan mengajak masyarakat agar mau menyerahkan setiap fosil yang ditemukan di sepanjang Bengawan Solo kepada museum. Ajakan tersebut tak sia-sia. Dalam lima tahun terakhir, Sujono bersama masyarakat berhasil mengumpulkan sekitar 1.000 fosil hewan dan tanaman purba.

Namun, dia harus merogoh koceknya sendiri untuk mengganti jerih payah masyarakat yang mau menyerahkan temuan fosil. Tak hanya uang, bahkan dia juga memberikan imbalan berupa beras atau rokok. Ini dilandasi keseriusannya menjaga warisan purbakala. Baginya, menjaga warisan purbakala berarti ikut menjaga keberlangsungan sejarah peradaban manusia. "Wong urip ki kudu eling asale (orang hidup itu harus paham sejarahnya)," katanya.

Selama lima tahun terakhir banyak temuan fosil purba yang dikumpulkan, tetapi belum sempat dipublikasikan. "Karena belum diteliti, fosil-fosil yang baru ditemukan itu masih tersimpan dan tergeletak di gudang museum. Untuk pengembangan dan penelitian dibutuhkan dana besar, sedangkan dana operasional museum belum mencukupi," ujarnya lebih lanjut.

Saat ini di museum yang dibangun di atas tanah seluas tiga hektar itu terdapat beragam koleksi. Koleksi-koleksi tersebut di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus).

Trinil merupakan kawasan di lembah Sungai Bengawan Solo yang menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya zaman Plistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu. Pada masa penjajahan Belanda situs Trinil digunakan sebagai tempat penelitian Eugene Dubois pada tahun 1891-1893. Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba Pithecantrophus erectus serta fosil hewan dan tumbuhan purba lain.

Penghargaan

Atas dedikasinya, Sujono mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah. Penghargaan yang diterimanya itu antara lain penghargaan sebagai Penemu Benda Cagar Budaya dan Purbakala Fosil Gajah dan Kerbau tahun 1994, yang diberikan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Dia juga memperoleh penghargaan Penulis Deskripsi Sejarah Terbaik bagi Pengelola dan Pemandu Museum pada 2005, dari Pemprov Jatim.

Kecintaannya pada pekerjaan membuat Sujono nyaris tak hirau dengan nilai nominal gaji yang diterima. Saat menjadi tenaga honorer juru pelihara, Sujono hanya dibayar Rp 25.000 per bulan. Itu pun tak diterima setiap bulan, tetapi setiap tiga bulan. Dia juga harus mengambil honor ke Surabaya, sekitar 180 kilometer dari Ngawi.

"Sudah tiga tahun ini gaji saya naik jadi Rp 350.000 per bulan. Untuk menghidupi istri dan dua anak, tentu tidak cukup. Namun, saya telanjur mencintai pekerjaan ini, masih bertahan sampai sekarang," tuturnya.

Sujono mendapat tambahan penghasilan dari pengunjung yang menggunakan jasanya memandu di situs itu serta penjualan buku panduan teknis kawasan Trinil yang disusunnya sendiri.

Pernah Jadi Kernet

Masa kecil Sujono penuh petualangan saat menyusuri sungai mencari fosil bersama sang kakek. Pria bertubuh kurus setinggi 1,70 meter ini pernah mengadu nasib di Jakarta. Di Ibu Kota, Sujono menjadi kernet bus selama empat tahun (1975-1979).

"Waktu itu saya mau mencoba hal baru. Sama seperti teman-teman yang tergoda mengadu nasib ke Jakarta. Saya nekat banting setir jadi kernet. Tetapi, rupanya Tuhan berkehendak lain," ujar Sujono.

Merasa gagal dan tak betah dengan kehidupan Jakarta, dia terpanggil pulang kembali ke Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Tekadnya saat itu adalah menikah dan mengabdikan hidup untuk kepurbakalaan.

Maka sang kakek pun kembali mengajaknya menyusuri kawasan Trinil. Selama seminggu dia menyusuri Sungai Bengawan Madiun, mencari fosil-fosil. Setelah Museum Trinil resmi didirikan pemerintah tahun 1991, Sujono ditunjuk menjadi salah satu juru pelihara fosil museum.

Sekarang dia sedang berjuang agar Museum Trinil memiliki laboratorium. Sebenarnya bangunan laboratorium sudah disiapkan di belakang gedung pameran, hanya saja peralatannya belum ada.

"Kalau punya laboratorium, semua hasil temuan fosil terbaru di gudang ini bisa diteliti," katanya berharap.

Sumber : Kompas, Selasa 1 Mei 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks