Aryo, Refleksi di Atas Panggung
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty
Awalnya, teater yang dibawakan seniman Suharyoto Sastrosuwignyo adalah bahasa simbolik ketika situasi politik tidak memungkinkan orang berbicara secara lugas. Kini, model teater ini bisa menjadi apa pun, termasuk kritik atas kata-kata sehari-hari yang sering dimanipulasi.
Di panggung peringatan hari antikorupsi di Pekanbaru, Riau, pertengahan Desember 2006, misalnya, seniman kelahiran Yogyakarta, 6 Oktober 1967 ini memainkan kata-kata seperti seorang dukun yang tengah mengucapkan mantra.
Akan tetapi, seniman yang sempat mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini menampik bahwa kata-kata yang dituturkannya itu hanya kata yang asal-asalan saja. "Saya sadar betul apa yang saya ucapkan. Kalaupun diminta mengulang, saya bisa melakukannya," kata Aryo, panggilan akrabnya.
Pilihannya sampai pada sebuah penampilan panggung seperti ini bukanlah perjalanan singkat. Ia pernah berurusan dengan Kepolisian Daerah Sumatera Barat ketika mementaskan Embeeek di Universitas Bung Hatta tahun 1992. Ketika itu, Aryo belum mengenal teater seperti sekarang ini.
Bahasa ternyata menjadi sebuah batu sandungan untuk melancarkan kritik-kritik terhadap pihak lain, termasuk pemerintah.
Lewat pencarian, Aryo mendapatkan bahasa seperti sekarang ini sejak tahun 1997. "Kalau saya pakai bahasa seperti di pentas sekarang ini, tidak ada yang bisa memprotes tentang apa yang saya katakan," kata Aryo. Teater ini sesungguhnya adalah sebuah strategi.
Ia mengakui, teater yang dipentaskannya tidak dilengkapi dengan sejumlah hal yang disepakati sebagai bagian dari teater seperti naskah, penyutradaraan, bloking, atau alur. "Suatu ketika ada penonton yang mengatakan bahwa pentas saya bukan teater. ’It’s a metateater,’" ucapnya. Ia pun mengamini sebutan itu.
Ia pernah mengadakan pentas di lembaga pemasyarakatan bersama para tahanan dan napi. Tidak ada skenario dan latihan. Yang dipentaskan adalah improvisasi, dengan siapa pun.
Cinta alam
Lahirnya teater yang dibawakannya hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari alam, tempat tinggal Aryo saat ini. Ia berlatih di antara hutan karet, pohon nanas, kelapa, ragam tanaman hias, tanaman pangan, serta sejumlah kolam yang sekarang sudah tidak ada ikannya lagi.
"Alam ini sumber inspirasi saya. Di sinilah saya berlatih. Karena itu, tak jarang saya mendekor panggung agar menyerupai alam tempat saya berlatih ini," tutur seniman yang tinggal di permukiman transmigran di Desa Laboi Jaya, Kecamatan Bangkinang Sebrang, Kabupaten Kampar, Riau.
Ketika awal masuk ke Riau, tahun 1983, orangtuanya termasuk rombongan transmigran pertama yang membuka kawasan hutan itu. Ia masih ingat lebatnya hutan lindung di tepi- tepi jalan menuju rumahnya dulu. Rumah-rumah penduduk tidak tampak dari kejauhan karena masih terhalang oleh pohon-pohon yang tinggi. Kini, hutan lindung itu hanya tampak rimbun dari tepi jalan saja, sedangkan bagian dalamnya sudah berubah menjadi permukiman atau dikapling-kapling menjadi milik orang.
Karena dekat dengan alam dan kehidupan pertanian, beberapa kali Aryo sempat terlibat dalam aksi-aksi yang memperjuangkan secara ekstrem hak petani, seperti reformasi agraria.
Serikat Petani Riau
Ketika mewakili seniman Riau datang ke pertemuan aktivis gerakan tani tahun 1998, ia justru diminta mendirikan Serikat Petani Riau (SPR) dan mengetuainya. Secara pribadi, Aryo tidak percaya dengan organisasi karena dinilainya tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, karena ketertarikannya mengusahakan sedikit perubahan untuk petani, ia bersedia memimpin SPR hingga saat ini.
Perjuangan lewat aksi-aksi turun ke jalan atau berorasi di muka kantor pejabat provinsi atau kabupaten/kota juga pernah dikomandoinya. Namun, kini ia sadar bahwa perlu strategi baru untuk mengembalikan kedaulatan petani.
"Pemantapan di sisi teknis pertanian ini yang perlu dilakukan. Saya sendiri sadar bahwa saya bukan contoh yang baik bagi petani karena saya sering meninggalkan ladang untuk pentas di kota-kota lain," kata suami dari Melly Hutagalung ini.
Ia sendiri merasa lebih cocok berkarya sebagai seniman. Selain di panggung, Aryo lebih dulu berkecimpung sebagai penyair. Pertengahan tahun 1980-an hingga awal 1990-an, ia sempat memakai nama samaran S Hary Asmara sebagai penulis cerpen, cerbung, dan lakon drama.
Di desa, ia membuka sanggar untuk warga setempat yang ingin belajar sastra atau teater. Ini pun merupakan bagian dari pengalaman masa lalu ketika ia kesulitan bergabung dengan sanggar-sanggar yang sudah punya nama. Beberapa kali ia mengadakan pentas bersama warga setempat yang sering berlatih di sanggar.
Bila ada rekan seniman singgah ke rumahnya yang berjarak sekitar 12 kilometer dari pusat Kabupaten Kampar, ia menyelenggarakan juga pentas kecil, dengan para tetangga sebagai penontonnya.
Di kalangan seniman Riau, Aryo dikenal pula sebagai salah satu orang yang rajin menuntut perubahan di tubuh lembaga seni, Dewan Kebudayaan Riau (DKR). Menjelang Musyawarah Seniman Riau (Musenda), Januari ini, ia dan sejumlah seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Riau mendesakkan usulan agar setiap seniman mempunyai satu hak suara untuk memilih pengurus di DKR.
Inilah panggung bagi Aryo. Panggung yang berisi refleksi dan juga kritik.
Sumber : Kompas, Rabu, 17 Januari 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment