Jun 8, 2009

Soeryo Goeritno, di Balik Tinju

Soeryo Goeritno, di Balik Tinju
Oleh : Syahnan Rangkuti

Penampilan Soeryo Goeritno unik sekaligus nyentrik. Tidak sedikit pun tampak gambaran bahwa pria itu adalah orang yang rela mengeluarkan uang Rp 1,5 miliar dari koceknya sendiri untuk menggelar sebuah pertandingan tinju.

Pakaiannya didominasi bahan denim dengan kemeja bermotif kotak-kotak atau divariasikan dengan kaus katun. Rambutnya panjang sebahu, berwarna keperakan. Bicaranya lugas.

Soeryo menjadi promotor pertandingan juara dunia kelas terbang mini IBF asal Indonesia, Muhammad Rachman, melawan Benjie Sorolla dari Filipina pada 23 Desember 2006 di Jakarta. Kakek dua cucu inilah yang membiayai seluruh pertandingan tanpa bantuan sponsor.

"Saya cinta olahraga tinju. Bukan baru sekarang, dari dulu sudah begitu," ujar Soeryo saat perayaan ulang tahunnya yang ke-64, 30 Januari lalu.

Tahun 1985, ketika Ellyas Pical menjadi juara dunia tinju pertama dari Indonesia, nama yang meroket adalah promotor Boy Bolang. Padahal, di belakang layar, pria yang fasih berbahasa Rusia dan Inggris inilah yang menyokong dana.

Saat disebutkan kondisi tinju amatir Indonesia saat ini lebih parah daripada tinju profesional, Soeryo langsung bertanya apa yang dapat dia perbuat. "Beri tahu apa yang dapat saya bantu? Apakah saya boleh membawa pelatih tinju dari Kazakhstan atau Uzbekistan bersama beberapa petinjunya untuk menjadi lawan sparring atlet-atlet Indonesia?" katanya.

Kecintaan Soeryo terhadap tinju merupakan cerminan watak dan pribadinya sehari-hari yang menyenangi unsur tantangan dan ketegangan. Bisnis yang digelutinya didominasi oleh unsur-unsur tantangan dan ketegangan.

"Tinju merupakan olahraga keras yang mengandung ketegangan. Saya senang tantangan yang memicu adrenalin. Buat saya, adrenalin harus tetap mengalir. Tanpa adrenalin, saya tidur. Bisnis saya juga mengandung banyak ketegangan dan sampai saat ini mudah-mudahan saya masih mampu berhasil mengatasinya. Saya justru heran mengapa tidak dapat bekerja pada jenis-jenis pekerjaan seperti orang-orang kebanyakan," ujarnya.

Dari bawah

Soeryo yang berasal dari keluarga kelas menengah menamatkan sekolah di Indonesia. Tahun 1964 dia mendapat kesempatan beasiswa belajar geologi di salah satu universitas di Moskwa, Uni Soviet.

Belum lama kuliah di Moskwa, terjadi perubahan besar politik di Tanah Air. Kuliahnya sempat molor, tetapi bukan karena aliran dana terputus. Hobi musik yang dia salurkan lewat band Equator—dibentuknya bersama mahasiswa Indonesia lain—membuatnya sering bolos kuliah untuk menyalurkan hobi sekaligus mencari duit.

"Sewaktu mahasiswa dulu, saya itu senang. Duit banyak, ke mana-mana naik taksi di Moskwa," tuturnya sambil tertawa mengenang masa muda.

Pribadinya yang ramah dan supel membuat Soeryo dikenal berbagai kalangan di Moskwa. Banyak gadis dikenalnya, tetapi pilihan jatuh kepada dara cantik Lyudmila Alexandrovna yang kemudian dia nikahi sampai sekarang.

Tahun 1971, Soeryo kembali ke Tanah Air. Namun, status eks mahasiswa Uni Soviet membuat dia terlibat kesulitan serius. Hanya tiga bulan Soeryo bekerja di Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas), setelah itu dia menggelandang di Jakarta.

Soeryo bekerja serabutan. Mula-mula menjadi sopir taksi. Malam hari mangkal di lokasi hiburan malam. Pagi-pagi sudah mangkal di Stasiun Gambir menunggu kereta api dari Surabaya. Tahun 1973, Soeryo mengurus vila milik saudaranya di kawasan Puncak. Di sana, dia tidak diam. Sore hari membeli sayur-sayuran di Cianjur, lalu malamnya membawa ke Pasar Senen, Jakarta. Anak saya Novi (Pervanovana) waktu itu sudah lahir," tutur Soeryo.

Lepas berdagang sayur, Soeryo diajak temannya bekerja sebagai kontraktor sipil. Meski berlatar belakang pertambangan, pekerjaan sipil dijalaninya cukup sukses. Baru pada tahun 1980 hidupnya berubah. Ketika Presiden Soeharto membuka hubungan kembali dengan Uni Soviet, Soeryo dilibatkan.

Saat ini Soeryo membina hubungan baik dengan angkatan bersenjata negeri ini. Pengetahuannya yang mendalam di bidang persenjataan dan pertahanan membuatnya duduk di lembaga Pusat Kajian Pertahanan dan Keamanan (CSDS) di Jakarta.

Ketika Indonesia dilanda kabut asap akibat kebakaran hutan akhir 2006, Soeryo mendapat kepercayaan memadamkannya. Dia terjun langsung memimpin pemadaman di Kalimantan dan Sumatera.

Dari berbagai bisnis yang dia geluti, Soeryo selalu menyisihkan sebagian keuntungan buat tujuan sosial. Bagian dari keuntungan itulah yang kemudian disalurkan ke bidang olahraga dan sosial lain.

Di mata anaknya, Novi, Soeryo bukan lagi menjadi bapak, tetapi sudah menjadi teman. Novi mengatakan, bapaknya tidak mampu berpisah lama dengan keluarga. Sewaktu masih kecil, jika harus melakukan perjalanan bisnis dalam waktu relatif lama, Soeryo pasti memboyong seluruh keluarganya.

"Setiap Sabtu, Papa pasti datang ke rumah saya untuk melihat cucu atau berkaraoke bersama kami," ungkap Novi yang memberi dua cucu buat Soeryo.

Sumber : Kompas, Sabtu, 10 Februari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks