Jun 7, 2009

Riza Marlon : Caca, Sang "Pemburu" Satwa Liar

Caca, Sang "Pemburu" Satwa Liar
Oleh : Mulyawan Karim

Sejak kecil menyukai binatang, Riza Marlon akhirnya memilih profesi sebagai pemburu binatang liar. Senjatanya bukan senapan, tetapi kamera digital dan lensa panjang.

Banyak orang senang memotret satwa liar, tetapi jarang yang menjadikannya pekerjaan utama. Riza Marlon adalah salah seorang dari yang segelintir itu. Beberapa fotografer lain, yang juga sudah punya nama, menyebut laki-laki 47 tahun ini sebagai fotografer satwa liar terbaik yang kini dimiliki Indonesia.

"Sekarang, bisa dibilang setiap orang bisa memotret satwa liar. Dengan teknologi digital, kesulitan yang dulu ada dalam kerja pemotretan dengan film sudah banyak berkurang," kata Caca, panggilan akrab Riza, dalam obrolan di rumahnya di Bogor.

Namun, kata Caca menambahkan, untuk menghasilkan foto binatang liar yang baik, modal hobi memotret saja tak cukup. "Untuk itu, diperlukan semacam kegilaan," katanya.

Foto satwa liar yang baik bisa dihasilkan hanya jika si fotografer tahu persis perilaku binatang yang akan dipotret, kapan ia biasa muncul atau lewat di tempat tertentu. "Kalau pemotretan harus dilakukan malam hari, kita harus siap menunggu momen pengambilan gambar dalam kegelapan. Kalau mau memotret burung yang biasa hinggap di pucuk pohon tinggi, kita pun harus mau susah membuat menara pengintai tinggi, untuk mendapat posisi pemotretan eye level, sejajar dengan mata," papar Caca panjang-lebar.

Menurut Caca, seorang fotografer satwa liar yang baik juga harus punya etika. Binatang nokturnal, yang biasa aktif pada malam hari, misalnya, tak boleh dibawa ke tempat terang agar lebih mudah diabadikan, karena akan membuatnya tersiksa. Satwa liar sebisanya harus dipotret di relung (niche) atau habitat mikronya, yang juga penting untuk mendapatkan ekspresinya yang asli.

"Di kebun binatang sulit mendapat gambar harimau yang sedang mengaum atau menyeringai geram," tutur Caca.

Kamera pinjaman

Caca mengaku sudah mulai hobi memotret saat duduk di bangku sekolah menengah atas. Kegemaran ini berlanjut semasa kuliah di Fakultas Biologi Universitas Nasional (Unas).

"Ayah saya dulu kan eksportir macam-macam satwa liar. Binatang-binatang tangkapan itulah yang jadi obyek foto saya yang pertama," kenang laki-laki berambut panjang yang memelihara kumis-janggut itu.

Sejak masih mahasiswa, Caca sudah rajin keluar-masuk hutan bersama teman-temannya di Klub Ilmiah Mahasiswa Biologi Unas (Biological Science Club/BScC) atau naik-turun gunung dengan para mahasiswa pencinta alam. Sementara rekan-rekannya melakukan latihan penelitian dan berpetualang, Caca sibuk sendiri dengan kameranya.

"Waktu itu saya belum punya kamera sendiri. Saya memotret dengan kamera pinjaman dari teman-teman," cerita Caca yang kini sudah memiliki sendiri semua peralatan untuk memotret segala macam satwa liar, besar maupun kecil.

Baru pada 1991, setelah menikahi Hendriati R Patty, adik kelasnya di Unas, Caca memutuskan menjadi seorang profesional di bidang fotografi alam dan satwa liar. Ini pilihan hidup penuh risiko dan tantangan, karena di Indonesia pekerjaan itu belum bisa menjanjikan apa-apa.

"Kalau cuma mau mengejar uang, saya cukup jadi juru foto perkawinan saja. Pekerjaannya ringan, hasilnya juga lumayan," kata Caca yang mengaku sempat juga menjadi fotografer serabutan, termasuk memotret produk iklan dan acara perkawinan.

Ambisi Caca adalah mendokumentasikan dalam bentuk foto sebanyak mungkin satwa liar Indonesia yang kini banyak yang nyaris punah. Menurut dia, kita kini sedang berpacu dengan waktu. Proses kepunahan berbagai jenis satwa liar kian cepat akibat makin dahsyatnya perusakan lingkungan. Banyak spesies yang bahkan sudah punah sebelum sempat didokumentasikan.

***
BIODATA

Tentang Caca
Nama: Riza Marlon
TTL: Jakarta, 12 Januari 1960
Istri: Hendriati R Patty

Anak:
- Aga Dimitri (13),
- Christa Levina (11)

Pengalaman:

- Sulawesi, Ekspedisi Trekforce, Inggris, ke TN Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, TN Rawa Aopa, dan Cagar Alam Bantimarung (Juli-September 1992)

- Sulawesi, Cagar Alam Tangkoko (April 1993)

- Juri Lomba Foto Burung, Universitas Indonesia (Desember 1995)

- Sumatera, Habitat Orangutan di TN Gunung Leuser, Program Slide untuk WWF (September 1996)

- Sulawesi, Cagar Alam Tangkoko, Film Dokumenter, bersama Televisi Selandia Baru/TVNZ (Agustus 1997)

- Papua, TN Wasur, Cagar Alam Gunung Arfak, TN Lorentz, dan Biak, Dokumentasi Slide untuk WWF (November-Desember 1997)

- Papua, Suaka Margasatwa Jamursba Medi (Sorong) dan Cagar Alam Gunung Arfak, Dokumentasi Slide untuk WWF (September-Oktober 1998)

- Sumatera, TN Bukit Tigapuluh, TN Bukit Duabelas, Suku Kubu, Dokumentasi Slide untuk Warung Informasi Konservasi-Jambi (Desember 1998-Januari 1999)

- Sulawesi, Cagar Alam Tangkoko dan TN Lore Lindu, Dokumentasi Slide untuk The Nature Conservancy (Oktober-November 2001)

- Sulawesi dan Sumatera, Dokumentasi Slide untuk Wildlife Conservation Society (Agustus-September 2003)

- Kalimantan (TN Tanjung Puting), Sumatera (Pulau Siberut), dan Jawa (TN Ujung Kulon dan TN Gede Pangrango), Dokumentasi Slide untuk UNESCO (Februari-Maret 2004)

- Sumatera, TN Kerinci, Film Dokumenter, bersama National Geographic TV & Film (November 2005)

Sumber : Kompas, Sabtu, 3 Maret 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks