"Empat Mata" Tukul Arwana
Oleh : Susi Ivvaty
Penonton acara Empat Mata di Trans7 tentu hafal dengan kalimat "tak sobek-sobek mulutmu" atau "puas... puas... puas..." yang dilontarkan host Tukul Arwana. Sosok Tukul yang kocak, apa adanya, ikhlas dijelek-jelekkan, dan mau dibodoh-bodohkan itu membuat Empat Mata digandrungi pemirsanya.
Pada beberapa episode di awal, Empat Mata sempat kesulitan menarik pemirsa. Untuk mengajak penonton ke studio saja, Tukul pun turun tangan, mendatangkan pasukan teman sendiri. Waktu itu materinya masih terkesan jorok melulu.
Tim kreatif Trans7 kemudian mengemas ulang dan tanggapan makin baik. Dari hanya 13 episode, kontrak Tukul diperpanjang menjadi 26, ditambah lagi 26, lalu 39, dan akhirnya 260 episode. Dari semula ditayangkan sepekan sekali, kini Empat Mata stripping Senin-Jumat dengan audience share rata-rata 16,5 persen atau ditonton oleh 16,5 penonton televisi pada jam tayang yang sama.
Tukul membawakan lawakan tentang hal-hal yang umum, cenderung slapstik, lawakan sehari-harilah. Beberapa hal sengaja diulang sekadar untuk mencipta trademark. Enggak takut penonton bosan? "Ya, makanya saya juga terus belajar. Kalau ngobrol sama teman, ada yang lucu, saya ambil. Saya juga banyak membaca koran, joke-joke, juga buku-buku psikologi. Jadi, kalau ngelawak, tinggal nge-print saja," katanya.
Bagaimana rasanya dibodoh-bodohkan dan dijelek-jelekkan? "Biasa saja, itu lebih baik daripada membodoh-bodohkan orang. Lebih baik menertawakan diri sendiri daripada menertawakan orang," jawabnya.
Dunia lawak
Dilahirkan di Purwosari, Semarang, Jawa Tengah, 16 Oktober 1963, Tukul yang bernama asli Riyanto ini dikenal tetangganya suka melucu sejak kecil. Namun, dunia lawak Tukul sejatinya dimulai sejak membentuk kelompok lawak Purbaria (Purwosari-Perbalan) sewaktu sekolah di SMA Ibu Kartini Semarang.
"Saya juara terus kalau ikut lomba lawak, tapi gak pernah beken," kata anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Selepas SMA tahun 1983, Tukul bekerja serabutan, termasuk menjadi sopir mobil omprengan. "Bapak saya penjahit, ibu di rumah saja. Masuk kuliah itu di luar pikiran saya," ujarnya.
Pada satu ketika, teman sekolahnya yang tinggal di Jakarta, Joko Dewo, mengirim surat, yang ternyata berisi uang Rp 30.000. "Katanya uang itu buat ongkos saya ke Jakarta," tutur ayah dari Novita Eka Afriana (7) ini. Pesimistis, namun akhirnya Tukul nekat juga pergi ke Jakarta pada tahun 1984.
Tukul masih ingat rute yang ia lalui. Naik kereta ekonomi sampai Stasiun Senen, lalu naik bus PPD nomor 10, pindah ke nomor yang lain, ganti mikrolet, naik bajaj, hingga sampai ke rumah Joko di satu daerah di Jakarta Selatan.
Melawak bersama Joko—masih dengan grup Purbaria—belum mengubah hidupnya. Padahal, Purbaria berkali-kali menjuarai lomba lawak. Sebut saja lomba lawak mini kata, lomba lawak se-DKI Jakarta, lalu se-Jabotabek. "Wis, pokoknya menang terus, tapi ya tetep enggak ngetop-ngetop. Tetep saja makan pagi jam 11 siang dan makan siang jam 11 malam," papar Tukul.
Tukul kemudian banting setir, menjadi sopir pribadi, juga bekerja dengan seorang pembuat sumur pompa. "Saya bagian pegang pipa. Kerja di video syuting, saya juga bagian pegang kabel, ha-ha-ha," tuturnya.
Sampai pada suatu ketika, Tukul berkenalan dengan Harry de Fretes yang mengajaknya manggung di televisi. "Waktu itu, main sinetron dapat peran kecil saja syutingnya sampai 19 take untuk satu adegan," katanya.
Tahun 1995, Tukul diterima bekerja menjadi penyiar di Radio SK (Suara Kejayaan), dan dilakoninya hingga tahun 2000. Selama rentang waktu itu, suami Susiana ini berkali-kali menjadi model video klip penyanyi cilik Joshua, antara lain untuk lagu Diobok-obok, Tul Jaenak, Bangun Tidur, Walang Kekek, dan lainnya. Tukul juga kerap menjadi bintang tamu di acara lawak Srimulat.
Dari Srimulat, Tukul menyerap banyak hal, terutama pada Tarzan. "Makanya, lawak saya ini kombinasi antara lawak daerah, lawak radio SK, dan Srimulat. Lawak saya muncul dari obrolan sehari-hari," tuturnya.
Hidup yang mengalir
Bagi Tukul, lawak adalah sesuatu yang mengalir, sama seperti ia menjalani hidup. "Mengalir ini maksudnya tetap ada proses belajar," katanya. Ia lalu bercerita, dulu pernah hidup dengan banyak sifat buruk: sensitif, mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah, dan sulit membuat keputusan.
"Saya sempat putus asa, pada tahun 1994 ingin kembali ke Semarang. Waktu itu Bagito sedang ngetop. Bagito, kan, humornya segar, cerdas, sementara lawakan saya ini slapstik, konyol, olok-olokan saja," tuturnya.
Namun, ia masih mencoba bersabar. "Lawak itu persoalan mental. Saya lalu banyak membaca buku. Saya balikkan semua sifat buruk saya, mencoba bijaksana, lapang dada, dan berjiwa besar dalam hidup. Makanya, saya nyantai aja kalau diolok- olok," katanya.
Melawak adalah pekerjaan sulit, dan oleh karenanya harus dipelajari secara mendalam. Bagaimana menghibur orang yang sedang suntuk agar senang kembali. Baginya, menikmati hidup adalah berkarya, bermanfaat bagi keluarga, orang lain, dan negara. Ia menyebut hal itu sebagai satu ibadah yang tepat sasaran.
Jika saat ini dianggap orang sedang berada di puncak, Tukul yakin ada masanya untuk turun. Maka itu, ia tengah mempersiapkan satu program lawak dan melibatkan pelawak-pelawak yang belum berhasil. Namanya bisa Bakul, Banyolan Bareng Tukul, atau Cangkul, Canda Bareng Tukul.
"Sekarang ini pelawak banyak yang lucu dan cerdas. Di antara mereka masih banyak yang belum terangkat, yang bisa diajak bergabung. Mari belajar ngelawak bersama, jangan pernah berhenti belajar dan bersyukur," tutur Tukul yang sejak tahun 1983 sampai kini selalu membaca syahadat dan salawat nabi setiap saat ini.
Lalu, terhadap pencapaian ini, apakah merasa sudah puas? "Hidup ini jangan pernah puas". Soal materi? "Alhamdulillah. Puas-puas-puas!"
Sumber : Kompas, Selasa, 6 Februari 2007
Jun 8, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment