Jun 4, 2009

Raden Mas Noordijattiroe Pakoeningrat : Noordi, Keprihatinan Pemandu Wisata

Noordi, Keprihatinan Pemandu Wisata
Oleh : Djoko Poernomo

Ketika ditanya tentang kondisi kepariwisataan, Raden Mas Noordijattiroe Pakoeningrat menjawab pendek, "memprihatinkan". Untuk memberi penekanan ungkapan yang memiliki kata dasar prihatin dengan arti: (sesuai KBBI) bersedih hati, waswas, bimbang (krn usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dsb), Noordi, panggilan akrabnya, perlu mengeja huruf demi huruf dan kembali mengulang pernyataannya: memprihatinkan!

Noordi adalah pemandu wisata atau guide paling sepuh di Keraton Yogyakarta. Pada tahun ini dia genap berusia 80 tahun. Meski demikian, dia tampak bugar dan mampu menjalankan tugas sehari-hari di lingkungan Keraton Yogyakarta. Aktif selaku pemandu sejak 1970-an, Noordi paham betul perkembangan kepariwisataan, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Keprihatinan Noordi berdasar atas terus merosotnya jumlah wisatawan mancanegara. Padahal, Indonesia kaya panorama dan aneka kesenian yang bisa "dijual" sepanjang tahun.

Pada 2007 wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia tercatat 5,5 juta orang atau meleset dari target 6 juta wisatawan. Untuk tahun 2008 pemerintah menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara 7 juta orang dengan anggaran promosi Rp 150 miliar (setara 15 juta dollar AS). Ini berarti naik dari anggaran promosi tahun sebelumnya, 10 juta dollar AS.

"Pemerintah perlu lebih memerhatikan sektor pariwisata, apalagi kalau sektor ini mau dijadikan sumber devisa," kata Noordi, cucu Sultan Hamengku Buwono VIII (1880-1939).

Ia menguasai lima bahasa, yakni Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Kepandaian ini pula yang menjadi modalnya sebagai pemandu wisata selama 35 tahun terakhir.

Persoalan pariwisata sekarang, menurut Noordi, adalah keengganan wisatawan mancanegara mengunjungi Indonesia. "Ini kenapa? Karena faktor keamanan, kurang promosi, atau ada faktor lain? Marilah kita kaji bersama," tutur bapak lima anak dan kakek tiga cucu ini, yang setia berjalan kaki dari tempat tinggalnya di Dalem Pakoeningrat ke tempat tugas sejauh 2 kilometer.

Sampai akhir hayat

Sebagai pemandu sejak tahun 1970 atau selepas bekerja di lingkungan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta selama tiga tahun, Noordi ikut berperan dan merasa harus terlibat memajukan pariwisata, khususnya di Yogyakarta.

Bersama kawan-kawan seprofesi, dia melayani wisatawan lokal dan mancanegara yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta dengan sistem urut kacang, atau sesuai giliran. Memang tak ada aturan baku yang menyebutkan, dalam melayani tamu, pemandu harus antre, namun itulah "etikanya".

Sayang, belakangan ini, entah mengapa, sesama pemandu kerap main serobot dalam melayani tamu, tak lagi sesuai giliran. "Kalau sudah demikian, saya diam saja. Dia (penyerobot) agaknya butuh sesuatu. Sayang, caranya dengan mengambil hak orang lain," ungkapnya menarik napas panjang.

Pemandu setempat tercatat 75 orang, sebagian di antaranya berusia di atas 50 tahun. Namun, hanya Noordi yang kemungkinan sempat mengenyam pendidikan formal di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Sosial dan Politik UGM (1956-1961) dan punya "prestasi" dari segi usia maupun pemahaman bahasa asing.

"Profesi ini sudah menjadi panggilan hidup, ya harus saya jalani semampunya," ucap Noordi yang bertekad menjadi pemandu sampai akhir hayat itu.

Berbincang dengan Noordi mengasyikkan. Pengetahuan dia tak terbatas hanya pada sejarah keraton. Ia punya ketertarikan dengan berbagai sisi kehidupan, seperti sepak bola. Pada awal terbitnya tabloid Bola awal dekade 1980-an misalnya, ia tercatat sebagai salah satu kolumnis. Selain untuk Bola, Noordi juga mengirim tulisan bagi majalah Aneka.

Ia bisa menulis tentang perkembangan sepak bola Eropa berkat jasa baik wisatawan asal Belanda yang secara teratur mengiriminya majalah sepak bola Voetbal International secara gratis.

Sebagai pemandu, Noordi berusaha menjalin hubungan baik dengan tamu. Pengiriman majalah Voetbal International dari wisatawan asal Belanda itu bisa menjadi salah satu bukti.

Dia juga suka berkorespondensi dengan wisatawan yang dilayaninya dan sering mendapat undangan gratis untuk berjalan-jalan ke luar negeri.

"Banyak undangan ke luar negeri yang tak saya penuhi karena anak-anak (waktu itu) masih kecil. Kalau sekarang, saya tak kuat lagi bepergian jauh," ucap Noordi yang mengenakan pakaian adat Jawa berupa kain panjang dan beskap itu.

Imbalan

Selain sebagai pemandu, Noordi tak memiliki penghasilan lain kecuali imbalan selaku abdi dalem Keraton Yogyakarta berpangkat riyo yang tak seberapa jumlahnya. Cukupkah penghasilannya itu?

"Kalau dihitung memang kecil, tetapi saya sendiri juga tak tahu, kok kenyataannya sampai sekarang penghasilan itu bisa memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Saya pasrah saja," ungkapnya tanpa menyebut nilai nominal.

Cara melakoni hidup secara bersahaja merefleksikan kosmologi masyarakat Jawa yang sebagian lebih mengutamakan asketisisme daripada larut dalam materialisme.

Ia bersama keluarga bertempat tinggal di Dalem Pakoeningratan, arah belakang Keraton Yogyakarta. Di bangunan peninggalan orangtua, BPH Pakoeningrat, dia hidup bersama istrinya, Sulasmi. Tak seperti bangsawan lain yang mengambil pendamping hidup sesama darah biru, istri Noordi berasal dari rakyat biasa.

Dalem Pakoeningratan yang dibangun abad ke-18 cukup besar. Untuk meringankan pembayaran pajak bumi dan bangunan, ia menyewakan sebagian bangunan untuk lokasi STM Panca Sakti. Lahan selebihnya dimanfaatkan oleh lebih dari 50 kepala keluarga yang ngindung alias tinggal secara gratis.

Orangtuanya adalah GKR Pembayun dan BPH Pakoeningrat. Ibunya, GKR Pembayun, adalah anak Sultan HB VIII dengan salah seorang dari 13 garwa ampil. Kalau dilihat dari silsilahnya, Noordi bersepupu dengan Sultan HB X yang kini bertakhta di Karaton Ngayogjakarta Hadiningrat.

Sumber : Kompas, Jumat, 18 Januari 2008

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks