Jun 8, 2009

Ory Octavianus : Ory dan Budidaya Jarak NTT

Ory dan Budidaya Jarak NTT
Oleh : Kornelis Kewa Ama

Lahan seluas 15 hektar itu dipenuhi biji dan setek jarak pagar (Jatropha curcas). Jumlah 250.000 setek itu sedang diupayakan bertambah 500.000 buah lagi selama musim hujan ini.

"Saya kerja dengan biaya sendiri. Karyawan 20 orang ini saya upah Rp 20.000 per hari per orang. Semua saya korbankan karena ingin sukseskan jatropha di NTT. Tanaman ini dapat tumbuh di lahan kritis yang mendekati 2,5 juta hektar. Lahan itu terabaikan sampai hari ini oleh pemerintah," kata Ory Octavianus, Kepala Perwakilan Badan Penerapan Pengkajian Teknologi Nusa Tenggara Timur (NTT), di Kupang, akhir Desember lalu.

Ketika ditemui di lokasi pembibitan jarak di Kelurahan Noelbaki, Kabupaten Kupang, Ory tengah bermandi keringat. Putra Rote-Ndao, NTT, ini harus bekerja keras mengejar musim hujan yang menurut perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika hanya berlangsung tiga bulan di sana. Sebanyak 250.000 bibit itu sudah dipesan PT PLN Wilayah NTT. Sedangkan 500.000 bibit yang sedang diupayakan ditanam musim hujan ini akan cuma-cuma diberikan kepada masyarakat untuk ditanam di lahan kritis.

Sosialisasi

Menurut Ory, selama ini kegiatan penghijauan yang bersifat proyek pemerintah hampir sebagian besar gagal. Umumnya petani tidak suka kegiatan bersifat proyek sebab bibit tanaman yang dibagikan kepada petani sebagian besar sudah rusak atau tidak sesuai dengan keinginan petani. Mereka kecewa proyek hanya menguntungkan pimpinan proyek atau kontraktor.

Ia berupaya menyosialisasikan kepada petani fungsi jarak terkait dengan iklim dan lahan NTT, serta keuntungan bagi petani. Pekerjaan ini tidak mudah karena petani ingin tahu berapa harga atau keuntungan yang bakal mereka terima.

Pria kelahiran 18 Oktober 1957 di Kupang itu sangat optimistis jarak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara alamiah sudah ada sekitar 120.000 hektar jarak tumbuh sporadis di sejumlah kabupaten di NTT dan selama ini bijinya terbuang begitu saja.

Agar minyak jarak dapat digunakan untuk bahan bakar solar alternatif, bahan bakar kompor sumbu, dan kepentingan lain dalam keluarga, harga buah jarak di tingkat petani tidak boleh lebih dari Rp 5.000 per kilogram.

Menurut Ory, petani belum sependapat dengan harga tersebut karena, menurut mereka, terlampau rendah.

Suami dari Ismayawati, guru SMP di Serpong, Tangerang, Banten, serta ayah dari Roni Octavianus (lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) dan Dena Octavianus yang masih di SMAN 1 Serpong ini berusaha meyakinkan, apabila jarak ditanam dalam jumlah besar serta produktivitas biji tinggi dan berkualitas, petani akan mendapat keuntungan besar.

Pada musim hujan ini, setiap pekan Ory mengeluarkan uang sekitar Rp 3 juta per minggu untuk belanja bibit setek dari batang atau cabang, dan biji jarak dari masyarakat. Ory rela mengeluarkan dana pribadi dari sebagian gajinya, gaji istrinya sebagai guru, ditambah bantuan dari saudara-saudara Ory untuk memenuhi cita-cita memajukan kampung halamannya.

Setiap hari 2-3 truk masuk ke lokasi pembibitan membawa setek batang dan cabang jarak. Belum termasuk membayar gaji 20 karyawan, biaya makan-minum, membeli kantong plastik untuk bibit, pupuk, air, dan seterusnya.

"Instansi pemerintah yang berwenang di bidang ini tidak peduli pada ajakan saya. Padahal, saya tahu mereka kesulitan mendapatkan bibit unggul. Dalam setiap pertemuan mengenai jatropha mereka keluhkan itu, tetapi tawaran kami selalu ditolak dengan berbagai alasan. Mungkin mereka takut tersaingi karena proyek tadi," katanya.

Bibit unggul

Ory menilai NTT memiliki bibit unggul lokal jarak dan dapat dikembangkan dengan sistem setek dan biji. Dia menjelaskan teknik menanam jarak dengan kloning akar yang menjamin tingkat kematian bibit rendah, sementara hasil tinggi.

"Proses seperti ini saya jamin 99 persen hidup," kata Ory, sarjana Administrasi Niaga dari Universitas Nusa Cendana dan lulusan setingkat strata 2 di Pusat Penelitian Ilmu dan Teknologi di Serpong.

Sistem kloning akar ini baru diuji coba di Amerika Serikat, tetapi di Indonesia, Ory bersama rekannya telah mengembangkan sejak tahun 2005 di Kalimantan, Sumatera, NTB, dan NTT. Sudah 90 orang dilatih Ory mengenai sistem perbanyakan ini.

Jarak dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-1.000 meter dpl, suhu 18-30 derajat Celsius, di tanah kurang subur tetapi berdrainase baik, dan keasaman (pH) tanah 5,0-6,5. Panen dapat dilakukan sejak tanaman berusia lima bulan, produktivitas stabil setelah satu tahun, 1 hektar lahan dapat menghasilkan 10-25 ton biji.

Kandungan minyak pada biji jarak 42-45 persen, tetapi yang dapat diperas 30-35 persen. Minyak itu dapat dipakai langsung atau diproses menjadi biodiesel.

Apabila 1 hektar menghasilkan 10 ton biji, maka 10.000 hektar menghasilkan 100.000 ton biji kering. Jika 3 kilogram menghasilkan 1 liter minyak, maka 100.000 ton menghasilkan 33.000 ton minyak per tahun. Di luar itu, masih ada ampas yang dapat digunakan untuk bahan bakar dan pupuk.

"Mengembangkan jarak di NTT tidak rugi. Hanya orang harus berpikir positif, kerja keras, bersedia bekerja sama dengan orang lain, dan bersedia berkorban. Jika semua orang NTT mau kerja dan memanfaatkan musim hujan sebaik mungkin, kita tidak perlu minta-minta lagi," katanya.

Menurut Ory, NTT masih memiliki dua jenis tumbuhan dengan kandungan minyak nabati tinggi, yakni pohon lontar dan gewang.

Sumber : Kompas, Kamis, 11 Januari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks