Nuraini, Memberi "Kemasan" untuk Kopi Sumbawa
Oleh : Khaerul Anwar
Kopi robusta dari Kecamatan Batu Lanteh, Nusa Tenggara Barat, sudah lama menjadi minuman rutin bagi warga setempat. Namun, karena proses pengerjaannya yang relatif sederhana, bagi orang yang tak biasa menyeruputnya seakan meminum arangnya kopi.
Begitulah nasib kopi robusta produksi Desa Tepal, Batu Lanteh, Tangkam Pulit, Bao Desa, dan Batu Dulang di Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Karena itu, tak heran kalau popularitas kopi itu terbatas sampai tingkat kabupaten saja.
Tidak berkembangnya kopi robusta dari Batu Lanteh karena selama ini proses pengerjaan biji kopinya, sebelum menjadi sebuah hidangan, amat sederhana. Biji kopi hanya disangrai sampai gosong dan menghitam. Ini membuat cita rasa kafeinnya hilang.
"Karena disangrai sampai gosong, akibatnya kita seakan minum air arangnya kopi itu," tutur Nuraini setengah berkelakar.
Dialah yang kemudian mencoba memperbarui produk kopi robusta Sumbawa, mulai dari proses pascapanen, pengolahan, hingga bentuk kemasannya, agar konsumen tertarik membeli produk kopi yang tak hanya merangsang bau kopinya, tetapi juga enak diminum.
Ibu dua putra itu mengawali "reformasi" kopi sumbawa tahun 2000. Sasarannya adalah para ibu rumah tangga di Desa Batu Lanteh yang terlibat langsung dalam usaha kopi. Mereka diajari mulai dari bagaimana proses menyortir biji kopi.
"Butiran biji kopi yang warnanya berbeda seperti merah atau coklat disisihkan, kemudian baru disatukan lagi sesuai dengan warna masing-masing. Biji kopi mentah itu lalu dipilah-pilah lagi sesuai denagn ukuran besarnya," ujarnya.
Biji kopi itu dicuci hingga bersih dan dijemur dua-tiga hari agar benar-benar kering. Nyala api tungku atau kompor pun diatur agar stabil, baru kemudian biji kopi itu disangrai selama dua jam. Tiap wajan maksimal diisi dua kilogram biji kopi. Setelah itu, barulah kopi ditumbuk dan diayak dengan alat yang sudah distandarkan.
Tak berhenti sampai di situ, setelah ekstrak kopi dikemas, alumnus Fakultas Peternakan Universitas Mataram itu membantu warga dengan mempromosikan dan memasarkan sendiri kopi bubuk tersebut.
Membagikan gratis
Nuraini ingin penikmat kopi Batu Lanteh tak terbatas hanya masyarakat setempat. Dia berkeliling masuk-keluar toko dan kios di kota Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa, untuk menawarkan kopi itu, atau setidaknya merayu pemilik toko agar mau memajang kopi Batu Lanteh.
Nuraini juga tak segan-segan membagikan kopi itu secara gratis kepada sejumlah karyawan kantor pemerintah dan swasta. Ini sebagai langkah awal memancing konsumen.
Awalnya banyak pedagang menolak kopi yang ditawarkan Nuraini. Alasan mereka, antara lain, sudah ada beragam merek kopi yang beredar di pasaran, baik dalam bentuk bubuk kopi maupun kopi yang telah dicampur dengan susu, ginseng, dan jahe. Sebagian pedagang pun menganggap setiap konsumen sudah punya kopi kesukaan masing-masing.
Akan tetapi, dengan semangat pantang menyerah, perempuan yang semasa kuliah menjadi anggota resimen mahasiswa itu terus berusaha "membujuk" para pedagang agar mau menampung produksi kopi butiran dan kopi bubuk dari Batu Lanteh.
Hasilnya? Kini, ada 38 pedagang yang sudah menjadi langganan menampung dan memasarkan kopi Batu Lanteh. Produksi kopi yang semula hanya dalam hitungan kilogram itu kini dalam sebulan rata-rata mencapai satu ton.
Selain tetap dijual di tingkat lokal, kopi tersebut juga dikirim kepada para pemesan yang tinggal di Mataram dan Surabaya. Malah, kini setiap bulan 30 kilogram-40 kilogram kopi Batu Lanteh dipasarkan ke Jakarta.
"Sebenarnya saya diminta oleh PT Kereta Api di Jakarta untuk mengirim 100 kilogram sebulan, tetapi belum bisa saya penuhi," ujar Nuraini.
Kopi kemasan 200 gram dijual Rp 7.500, kemasan 100 gram Rp 3.500, dan sachet Rp 1.000. Pedagang pengecer menjual tiap kemasan Rp 8.000, Rp 4.000, dan Rp 1.500.
Memakai pupuk organik
Satu hal yang masih menjadi "ganjalan" bagi Nuraini adalah sertifikat bahwa kopi tersebut bebas penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia karena budidayanya memakai pupuk organik.
"Sertifikat bebas pupuk kimia, apalagi ada sertifikat halal dari lembaga berwenang, akan membuat produk itu tambah laku," ucapnya. Sayang, sertifikat yang diusulkan kepada dinas terkait sejak tahun 2004 itu tak kunjung keluar.
Bagi para ibu rumah tangga yang menjadi produsen kopi, Nuraini juga mengajarkan tertib manajemen pengolahan dan pemasaran. Sebab, selama ini mereka umumnya menggunakan manajemen tradisional. Artinya, asal kopi laku, mereka merasa sudah puas, tak peduli untung atau rugi.
"Buat ibu-ibu itu yang penting uang hasil penjualan diterima, lalu dibelikan barang yang bersifat konsumtif. Lalu, untuk biaya produksi berikutnya mereka pinjam modal lagi," katanya.
Nuraini lalu mendirikan Koperasi Tani Perkebunan Cahaya Robusta, yang antara lain dihajatkan untuk mendidik, membimbing, dan mengajar anggotanya belajar tertib manajemen administrasi, pengolahan, dan pemasaran.
Hasilnya, mereka mulai punya perhatian terhadap pendidikan dan mau melakukan diversifikasi usaha. Nuraini mengembangkan usaha lain, seperti memproduksi jamu dari kunyit dan jahe serta menghasilkan madu alam. Tercatat ada 192 anggota koperasi yang khusus menangani produksi kopi dan beragam jenis jamu.
Apa yang diusahakan Nuraini tak sia-sia. Apalagi kalau mengingat kondisi masyarakat desa di Kecamatan Batu Lanteh yang umumnya hidup dari hasil perkebunan, di antaranya kopi. Dulu, kopi produk mereka hanya laku Rp 16.000 per kilogram di tingkat petani.
Di sisi lain, petani sulit membawa hasil kebunnya ke kota karena akses informasi dan transportasi desa itu tak memadai. Daerah itu berbukit-bukit, banyak tanjakan tajam, berkelok-kelok, dan harus melewati kawasan hutan.
Dengan menggunakan mobil yang khusus dimodifikasi untuk medan seperti itu, Nuraini menampung produksi kopi petani, lalu menjualnya di Sumbawa Besar. Ia sempat mendapat tanggapan sinis dan penuh curiga dari sebagian pedagang. "Saya dikira pedagang spekulan," katanya.
Ketika mengantar barang itulah dia "mengintip" strategi berdagang dan teknik menyortir butiran kopi. Dengan cara itu, Nuraini jadi tahu bagaimana memilih biji kopi menurut kualitasnya.
Dia juga membuka kios yang diberi nama Cahaya Kopi Robusta. Lewat penghasilan dari kopi itulah Nuraini bisa memberi lapangan kerja meski amat terbatas. Selain itu, dari 10 anak asuhnya, empat di antaranya turut membantu mengelola kios dengan upah sekitar Rp 250.000 hingga Rp 300.000 per orang setiap bulan.
Sumber : Kompas, Senin, 7 Januari 2007
Jun 3, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment