Minto, Merancang Energi Surya dari Buku SD
Oleh : Runik Sri Astuti
MESKI dikenal sebagai penemu dan perancang tenaga surya, Minto (52) "hanyalah" guru kelas VI Sekolah Dasar Prambon 1 Madiun, Jawa Timur. Tahun 1990 ia melahirkan karya inovasi pertamanya tentang energi alternatif terbarukan yang kekal sepanjang masa berupa kompor bertenaga surya.
KOMPOR berbiaya Rp 75.000 dan terbuat dari cermin datar yang biasa dipasang di lemari itu kemudian bisa difungsikan sebagai parabola setelah ditambahkan receiver. Cermin itu ia sambung hingga berbentuk lingkaran dengan diameter dua meter. Bentuknya yang mirip cermin cekung jika diarahkan ke matahari dapat membentuk fokus yang menghasilkan energi panas sampai 600 derajat Celsius.
"Panci aluminium tanpa air ditaruh di fokus akan meleleh. Kompor dengan diameter 190 sentimeter ini bisa mendidihkan satu liter air hanya dalam lima sampai enam menit," ujar pria kelahiran Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan, Madiun, ini.
Minto menelurkan ide-idenya berdasarkan buku Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SD. Hasilnya antara lain kompor surya yang menghasilkan uap panas bertekanan rendah untuk memasak di dalam rumah. Cita-citanya yang sederhana, yakni menjadi menjadi orang berguna bagi masyarakat, mendorong penerima penghargaan Direktur Energi Terbarukan tahun 1992 ini terus berkarya.
Tahun 1992 lahir ciptaannya, pemanas air tenaga surya. Selanjutnya, penerima penghargaan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2002 ini membuat pengering serbaguna bertenaga surya. Tahun 2003 ia membuat penyulingan air bertenaga surya yang menghasilkan air suling dengan kadar oksigen tinggi, yang dipercaya bagus untuk kesehatan.
Atas penemuannya itu, putra ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Kartokayat dan Tukimah ini diusulkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Riset dan Teknologi untuk mendapat penghargaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ini atas jasa Minto memanfaatkan energi surya di bidang kesehatan.
Sekarang ia mendapat pesanan membuat percontohan rumah tenaga surya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Riset dan Teknologi.
Proyek yang didanai Rp 90 juta oleh pemerintah itu kini sudah rampung hampir 40 persen. Selain difungsikan sebagai hunian, rumah yang tersusun dari bahan pengantar panas itu memiliki banyak keuntungan. "Bisa untuk memasak, sebagai pengering, juga sebagai tempat penyulingan air yang semuanya bertenaga surya," papar suami Sutjiati ini.
Meski bertenaga surya, pengering dan penyuling air buatannya bisa beroperasi sepanjang musim, termasuk saat musim penghujan. Hebatnya, dalam keadaan mendung seharian pun kemampuannya bisa 50 atau 30 persen.
Minto berkemeja batik dipadu celana hitam ketika mempresentasikan salah satu karyanya dalam acara seminar "Penghematan Energi dan Pemanfaatan Energi Alternatif yang Terbarukan di Era Energi Mahal" yang diadakan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Rabu (23/2/2005).
Tanpa merasa canggung, lulusan Sekolah Pendidikan Guru ini berbicara tentang teknologi terbarukan di depan mahasiswa, dosen, peneliti, bahkan Manager Bidang Perencanaan PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur.
Hampir setiap minggu ia diminta menjadi pembicara terkait dengan bidang teknologi. Namanya terkenal sampai ke kancah nasional, bahkan internasional. Rumahnya pun tidak pernah sepi pengunjung. Setiap hari ada saja mahasiswa berbagai perguruan tinggi yang datang menimba ilmu.
Sukses yang diraih bapak dua putra ini tentu tidak jatuh dari langit. Perjuangan panjang dan berliku telah dilalui pria yang menjadi guru sejak tahun 1975.
Ayah Bambang Sujatmiko dan Ervin Puspita Sari ini mengaku ide pembuatan teknologi tenaga surya muncul saat sedang mencari kayu bakar di hutan. Sebagai pemuda desa yang setiap hari harus mencari kayu bakar, pegawai negeri yang mendapat kenaikan pangkat istimewa dari III/c menjadi III/d ini suatu hari bingung karena kayu di hutan semakin habis. Di sisi lain, bahan bakar yang dibutuhkan terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk.
Beristirahat di pinggir sawah, Minto memandang ke arah sinar matahari yang memancar ke bumi. Pria yang menamatkan SMP tahun 1969 di Uteran, Madiun, ini terilhami untuk membuat berbagai formulasi supaya sinar matahari yang memancarkan panas itu bisa dimanfaatkan manusia. Ketika itu, yang ada dalam pikirannya sederhana, bagaimana bisa memasak dengan matahari yang juga menghasilkan panas sehingga ia tidak perlu mencari kayu bakar lagi.
"Saya ingat buku IPA kelas V dan VI SD. Lalu saya pelajari konsep perpindahan panas mulai radiasi, konveksi, dan konduksi," katanya.
Konsep yang dipakai adalah prinsip kerja lensa cembung dan pantulan cermin, di mana lensa cembung saat diarahkan ke matahari bisa membakar kertas. Agar menghasilkan panas tinggi, diperlukan sebuah alat. Lima tahun kemudian ia membuat rancangannya.
Karya-karya Minto telah dinikmati masyarakat. Kompornya, yang sudah dimodifikasi, bisa dibeli Rp 1,75 juta dengan daya tahan sampai 30 tahun. Ia tidak pernah mengambil keuntungan. Biaya yang dikenai setara dengan ongkos yang dikeluarkan untuk membeli bahan dan alat yang diperlukan. Bahkan untuk urusan paten, dia menyerahkan kepada pemerintah.
Kini ada 100 unit kompor yang sudah dibuat. Sebanyak 33 unit pengering terdistribusi di Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Lombok. Rata-rata mesin pengering Minto dibeli oleh bakul jamu untuk mengeringkan rempah-rempah. Ia juga sedang mengerjakan penyulingan air tenaga surya pesanan beberapa pengusaha.
Minto mengaku tidak pernah kekurangan meski gajinya sebagai guru SD tidak besar. Namun, ia mampu menyekolahkan anaknya sampai mencapai gelar sarjana. Bagi pria yang ingin menjadi ilmuwan ini, yang terpenting adalah memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kini Minto ingin membuat teknologi pembangkit listrik dengan tenaga terbarukan untuk mengatasi kelangkaan sumber energi. (RUNIK SRI ASTUTI)
Sumber : Kompas, Kamis, 31 Maret 2005
Jun 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment