Kebangkitan dari Puing Gempa
Oleh : Siwi Yunita Cahyaningrum
Maryono sedang menggergaji potongan glugu atau batang kelapa ketika kami bertemu di kampungnya, RT 5 Ngibikan, Canden, Jetis, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (24/7) siang. Lelaki yang berumur 44 tahun ini mengenakan kaus dan celana pendek yang menjadi seragamnya sehari-hari di lapangan.
Hari itu, ia bersama beberapa pekerjanya sedang menyelesaikan pemasangan atap di sejumlah rumah yang mereka bangun sendiri secara bergotong-royong. "September nanti kami perkirakan sudah jadi dan bisa ditempati," tutur Maryono menatap 65 bangunan rumah yang dikerjakan warganya.
Di Dusun Ngibikan hampir semua bangunan di kampung itu roboh akibat gempa yang terjadi 27 Mei lalu. Hanya satu rumah yang tetap utuh berdiri, rumah itu milik Maryono. Jangankan roboh, retak-retak pun tidak.
Warga Ngibikan boleh lega karena sebelum musim hujan mereka akan mempunyai tempat tinggal. Pak RT Maryono-lah yang sejak awal mendorong warga untuk berusaha membangun apa yang tersisa dari awal lagi, bahkan tiga hari pascagempa warga sudah membahas mengenai bagaimana membangun rumah walau belum ada donatur yang datang membantu.
Awalnya warga memang tidak yakin atas rencana pembangunan rumah mengingat tidak ada lagi harta yang tersisa, tetapi mereka tidak ingin berlama-lama tinggal di tenda yang panas di siang hari dan dingin pada malamnya.
"Modal saya meyakinkan masyarakat, yaitu sebagian besar dari mereka mempunyai keterampilan membuat bangunan karena memang sebagian besar dari kami adalah tukang. Selain itu, kami masih punya pemikiran, dan ketiga adalah modal sisa material reruntuhan," papar Maryono.
Dengan tiga modal itu, ia berhasil meyakinkan warga untuk bisa bangkit lagi. Kemudian, Eko Prawoto, konsultan bangunan dari Universitas Gadjah Mada, menghubunginya dan menawarkan rencana bantuan. Setelah dihitung, bantuan itu cukup membangun rumah lumayan bagus untuk 20 keluarga. Namun, mereka juga mau membangun rumah bagi seluruh warga RT yang jumlahnya 65 keluarga, sekalipun rumah yang dibangun lebih kecil dan sederhana.
Hitungan kertas
Angka Rp 8 juta pun muncul dari hitung-hitungan di atas kertas, dengan menggunakan sisa material dan tapak fondasi lama. Bagi sebagian warga, nilai Rp 8 juta cukup untuk membangun rumah seluas 6 x 7,2 meter dengan dinding sebagian dari papan atau tripleks. Biaya itu ditambah Rp 2 juta per unit sebagai tambahan biaya logistik saat pembangunan.
Maryono juga memanfaatkan relasi-relasinya, para pemilik toko bangunan, untuk mendapatkan semen, pasir, kayu, atau asbes dengan harga miring. Selembar asbes, misalnya, bisa ia peroleh dengan harga Rp 49.500, lebih murah dari harga biasa yang mencapai Rp 52.000-Rp 54.000. Ia juga rajin berkeliling mengumpulkan paku-paku yang tercecer yang masih bisa dipakai lagi.
Meski hanya Rp 10 juta, bangunan yang ia buat lebih tahan gempa. "Kerangka bangunan memang tidak terbuat dari beton, melainkan kayu glugu (batang kelapa). Bagian ujung bawah kayu ini dilubangi dan diisi dengan besi yang ditanam dengan beton fondasi. Jadi, ketika ada guncangan besar, kayu memang bergerak, tapi tidak akan patah. Setiap sambungan dinding pun juga dikaitkan dengan angkur," papar Maryono.
Kayu glugu dipilih dengan alasan cukup keras dan tidak semahal jati. Maryono juga mengatakan bahwa sebagian besar bangunan di kampungnya memakai kayu glugu sejak dulu dan sampai saat masih utuh.
Maryono yang mengetahui seluk-beluk dunia konstruksi lapangan bukanlah lulusan perguruan tinggi bonafide. Ia hanya tamatan SD. "Saya tidak ingat benar tahun berapa saya lulus SD. Mungkin tahun 1982. Yang saya ingat, saya tidak memperoleh rapor dan dihukum berdiri di tengah lapangan karena belum membayar SPP sekolah Rp 35 selama setahun," cerita suami Ny Dawami ini.
Buruh tani
Orangtua Maryono memang tergolong tidak mampu, hanya buruh tani dan harus menghidupi tujuh anaknya. Maryono adalah anak kedua. Ketika lulus SD ia memutuskan untuk bekerja sebagai kuli bangunan guna membantu orangtua. Pekerjaan itu ia mulai dari nol. Karena pekerjaannya dianggap memuaskan, ia pun menjadi tukang kepercayaan kepala proyek meski saat itu belum bisa berhitung dengan kalkulator.
Pengalaman di lapangan selama 24 tahunlah yang membuat ia bisa mengetahui persis karakter bahan bangunan. Maryono bisa membuktikan bahwa bangunan rumahnya tetap kokoh berdiri meski digoyang gempa. Hanya rumahnya yang masih berdiri di antara puing-puing rumah lainnya.
"Sebelum membuat rumah, saya mendasari fondasi dengan pasir setebal 20 cm. Semula, fungsinya untuk menanggulangi penyusutan, namun ternyata juga efektif meredam gempa," paparnya.
Kampung tukang yang ia tinggali saat ini juga tidak lepas dari peran Maryono. Selama puluhan tahun di dunia pertukangan, ia sering mengajak pemuda-pemuda di kampungnya yang masih menganggur untuk bekerja di proyek bangunannya. Alhasil, banyak warga di kampungnya kini menjadi tukang kayu atau batu.
Kalau saja masa pascagempa ini Maryono memilih bekerja di perusahaan konstruksi, pasti ia akan kebanjiran order dan mendapatkan banyak keuntungan, apalagi rumahnya masih utuh. Namun, ayah empat anak ini memilih membangkitkan semangat dan ikut membangun rumah warga di dusunnya yang rata dengan tanah, meski tanpa imbalan.
Sumber : Kompas, Sabtu, 29 Juli 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment