Jun 4, 2009

Lidya Kusuma Hendra : Lidya, Melukis "Indonesia" pada Keramik

Lidya, Melukis "Indonesia" pada Keramik
Oleh : Stefanus Osa

Tak akan habis bicara tentang goresan keindahan di atas keramik dengan Lidya. Jejak-jejak petualangan ketika bertandang ke Papua digoreskannya pula di keramik.

Perempuan berperawakan kecil, Lidya Kusuma Hendra (48), memandang ikon budaya Indonesia sangat menarik. Dari gerobak tukang sate, becak, pramusaji restoran padang, motif kain tradisional, hingga rumah tradisional khas Indonesia bisa dilukis pada keramik.

Sayang bila kekayaan budaya masyarakat yang primitif, tradisional, hingga berkembang modern itu diabaikan. Padahal, di pasaran global nilai jualnya tinggi.

Jiwa seni dan berpetualang membentuk Lidya, Direktur PT Hutomo Putra Mandiri, cinta pada alam. Dia menggambarkan, pencinta burung acapkali menginginkan burung yang seharusnya terbang bebas itu justru dipelihara dalam sangkar. Bagi seorang fotografer, keindahan burung bisa diabadikan lewat kamera. Untuk Lidya, keindahan burung itu dilukiskan pada keramik. Karyanya bisa berbentuk guratan menonjol atau embos, flat, dan tiga dimensi.

Ia terpesona pada kekhasan daerah Papua. Maka, sejumlah karyanya pun diperkaya ikon-ikon Papua. Katanya, daerah itu menyingkapkan kekhasan primitif yang eksotis.

"Ikon budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke sangat kaya dan disenangi orang asing. Ciri khas Indonesia sebenarnya dihargai dunia internasional, mengapa kita sendiri justru menyukai desain asing?" katanya.

Dia mencontohkan, desain ikan purba Coelacanth rencananya menjadi maskot World Ocean Conference 2010 di Manado, Sulawesi Utara. Ada lagi desain tarsius atau kera terkecil di dunia. Penciptaan karakter hewan itu tak sembarangan. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, ini menggalinya berdasarkan penelitian tim ahli Provinsi Minahasa.

Dari sisi produksi, karya Lidya tak sekadar produk massal. Mulai penggarapan gambar, pekerjaan seni, teknik pengukiran prototipe, cetakan, hingga sentuhan penyelesaian akhir dikerjakan tangan-tangan terampil. "Sekitar 90 persen pengerjaan hasil kerajinan tangan. Hanya 10 persen yang diproses dengan sistem pencetakan dan pembakaran. Ciri khasnya full color dan bright color," katanya.

Maka, banjir pesanan pun berlimpah dari sejumlah perusahaan di Indonesia, mulai dari perusahaan rokok, susu, hingga pusat perbelanjaan modern. Produknya tak hanya menjadi bingkisan, tetapi juga layak jual.

Ramah lingkungan

Dia juga gencar melayani pasar ekspor. Pabriknya di kawasan Industri Palm Manis, Tangerang, sedang memproduksi aneka pesanan tea set untuk diekspor ke Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat (AS). Ada juga hiasan interior untuk diekspor ke Jepang dan boneka keramik ke Inggris.

Pasar Eropa dan AS tertarik karena produknya selalu menggunakan bahan baku ramah lingkungan. Bahkan, Lidya mencantumkan label save for food, artinya keramik itu bisa digunakan untuk peralatan makan rumah tangga. Dia juga mencantumkan label "kejujuran", Made in Indonesia.

Tahun 1980-an Lidya memulai kerajinan patung gips di Surabaya. Oleh karena ingin mendekati pasar di Jakarta, pada 1991 Lidya memindahkan kegiatan produksi bermerek Xeramix itu ke Tangerang.

"Produksi ini menggabungkan alam, teknik, dan seni. Ini bisnis kepercayaan yang hak ciptanya tetap dipertahankan sehingga desain bisa datang dari pelukis seperti Bimo Chondro dan desainer fashion Sebastian Gunawan," tutur Lidya.

Tahun 2000, usaha Lidya bersama dua mitranya nyaris bubar. Kedua mitranya mengembangkan bidang lain dan Lidya harus berjuang sendiri.

Dari 500-an tenaga kerja, kini tinggal 53 orang tenaga terampil. Dampak global ekonomi yang berbuntut pada anjloknya daya beli di pasar global pun dirasakannya. Bersama beberapa karyawan setia, Lidya sempat membuka usaha warung makan Dumpit di Pinangsia, Jakarta Barat.

Dia pun jatuh sakit selama delapan bulan. Kata Lidya, keajaiban yang menyembuhkannya. Ia bisa kembali memimpin perusahaan dan mengembangkan produksi sampai tiga juta buah per tahun.

"Saat terpuruk, pelanggan saya dari Belanda selama 12 tahun tiba-tiba memesan kembali perangkat makan dengan kekhasan ikan warna biru. Alhasil, warung makan Dumpit di Pinangsia tutup karena tak tertangani lagi," ceritanya.

Seni melukis

Dari keahliannya itu, Lidya berkeinginan menggairahkan karya seni Indonesia melalui seni lukis keramik. Oleh karena itu, hampir 8.000 anak putus sekolah dididik di pabriknya. Kini, semua tenaga terampil hasil didikan itu tersebar pada sejumah pabrik keramik. Bahkan, beberapa tahun belakangan, sejumlah perguruan tinggi menempatkan para mahasiswa untuk magang di pabriknya.

"Saya terobsesi membangun lembaga pendidikan keterampilan. Harapan saya sederhana, bagaimana membuat anak-anak senang dengan keramik khas Indonesia," ucapnya.

Baginya, melukis keramik adalah pekerjaan yang menyenangkan. "Ilmu itu hidup kalau pekerjaan dilakukan atas dasar kesenangan," kata Lidya yang suka melukis dan merangkai bunga.

Semakin banyaknya orang yang tertarik berusaha di bidang keramik tak membuat dia merasa persaingan akan semakin ketat. Dia ingin agar kebiasaan pada sebagian pabrik keramik yang mengandalkan pengalaman dan "miskin" pengetahuan bisa berubah. "Hal itu malah membuat keberhasilan rendah dan lebih banyak gagalnya," ucapnya.

Sayangnya, belakangan ini Lidya mengaku sangat prihatin pada nasib perkembangan usaha keramik. Pasalnya, pasokan volume dan tekanan gas dari PT Perusahaan Gas Negara yang menjadi komponen penting dalam proses pembuatan keramik tidak bisa diperolehnya secara kontinu.

Sumber : Kompas, Senin, 4 Juni 2007
 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks