Jun 1, 2009

Kusma Erizal Ginting, Menjaga Ikon Pematang Siantar

Erizal Ginting, Menjaga Ikon Pematang Siantar
Oleh : Khaerudin

Gagal menjadi Wali Kota Pematang Siantar tak menyurutkan niat Kusma Erizal Ginting (48) membangun kota itu agar lebih berbudaya. Bersama ratusan pengemudi becak motor siantar, ia berusaha mempertahankan orisinalitas kendaraan angkutan umum melegenda bagi masyarakat Pematang Siantar, kota yang terletak 45 kilometer dari Danau Toba.

Erizal menyaksikan saat sado, kendaraan tradisional yang ditarik kuda, harus hilang dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, sejak akhir 1970-an. Dia membandingkan dengan Yogyakarta, kota tempatnya meraih gelar sarjana hukum, yang tetap mempertahankan orisinalitas kendaraan tradisional tersebut sebagai salah satu transportasi wisata.

"Dulu, sado sempat menjadi ikon transportasi tradisional di Pematang Siantar. Rasanya sedih tak bisa lagi melihat kendaraan tersebut. Apa sih susahnya menyandingkan sesuatu yang tradisional dengan yang modern, tanpa menggusur salah satunya?" ujarnya.

Tahun lalu DPRD dan Pemerintah Kota Pematang Siantar sempat menggagas peraturan daerah (perda) yang mengatur peremajaan becak motor. Peremajaan itu dirasakan sebagai ancaman bagi keunikan becak siantar yang selama ini menjadi andalan untuk mobilitas warga Pematang Siantar.

Becak motor siantar unik karena digerakkan oleh mesin sepeda motor merek BSA (Birmingham Small Army) buatan Inggris, yang kini tak ada lagi pabriknya. Umumnya sepeda motor BSA yang digunakan tipe M 20 buatan tahun 1941 hingga 1948 berkapasitas mesin 500 cc, dan tipe ZB 31 buatan tahun 1950 hingga 1956 berkapasitas mesin 350 cc.

"Jika peremajaan becak motor dilakukan, berarti akan ada sepeda motor baru buatan Jepang atau China yang menggantikan keberadaan BSA. Kami curiga perda ini hanya akal-akalan...," ujar pria yang juga Ketua I Dewan Kesenian Sumatera Utara ini.

Prihatin akan ancaman kepunahan becak motor siantar, Erizal menggalang para pengemudi becak dan penggemar motor tua bermesin besar mendirikan satu wadah. Saat DPRD dan Pemkot Pematang Siantar sedang gencar menggodok perda peremajaan becak motor, Erizal dan para pengemudi becak serta penggemar motor tua di kota itu mendirikan BSA Owner Motorcycles Siantar yang disingkat BOM’S.

Dipenuhi

Pria kelahiran Pematang Siantar, 2 Januari 1959, ini tak datang dari kalangan menengah- bawah seperti kebanyakan pengemudi becak motor siantar. Ayahnya pengusaha perhotelan, yang kini usahanya diteruskan Erizal. Sejak kecil, karena melihat banyaknya sepeda motor tua buatan Inggris dijadikan mesin penarik becak, Erizal pun kemudian menjadi "maniak" terhadap produk-produk BSA, mulai dari sepeda hingga sepeda motor.

Melalui BOM’S, dia bersama ratusan pengemudi becak siantar berjuang agar perda peremajaan itu tidak disahkan. Perjuangan mereka berhasil. Pemerintah dan DPRD urung membuat perda tersebut. Bahkan, dua dari empat tuntutan BOM’S dipenuhi pemerintah daerah.

Tuntutan agar pemerintah daerah memerhatikan kelestarian becak siantar dipenuhi, antara lain dengan mengecat dayung (kabin tempat penumpang) becak motor dan membantu memperbaiki kondisi sepeda motor tanpa menghilangkan orisinalitas BSA. Pemkot juga mengirim surat kepada Gubernur Sumut dan Dinas Pendapatan Provinsi Sumut agar becak siantar diputihkan pajaknya karena BSA ini rata-rata bekas rongsokan Perang Dunia II.

Dua tuntutan yang masih belum dipenuhi adalah menjadikan becak siantar sebagai satu-satunya kendaraan pariwisata di kota itu dan menjadikannya sebagai benda cagar budaya.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, benda cagar budaya adalah buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dari definisi itulah, kata Erizal, becak siantar bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya. Becak siantar sebagai benda muncul sekitar tahun 1956. Namun, penggeraknya, mesin sepeda motor BSA, usianya jauh lebih tua.

"Mungkin kamilah satu-satunya di dunia yang saat ini masih bisa mengoperasikan sepeda motor BSA dalam jumlah besar," ujarnya.

Melegenda

Di Sumut keberadaan becak siantar melegenda. Selain unik karena menggunakan sepeda motor BSA, becak siantar telah melewati rentang waktu relatif panjang sejak pertama kali beroperasi di wilayah itu.

Kecintaannya pada Kota Pematang Siantar ingin diwujudkan oleh lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini dengan membangun kota itu agar lebih berbudaya. Untuk itu, Erizal berjuang agar becak siantar menjadi ikon di kota tersebut.

Kini, dengan memimpin BOM’S, dia secara langsung membantu para pengemudi becak. Misalnya, Erizal memotong jalur distribusi pengadaan suku cadang becak siantar. Ia membeli ban becak dari distributor pertama. Jika di toko-toko ban harga satu ban becak Rp 125.000- Rp 130.000, di markas BOM’S yang sekaligus dijadikan toko peralatan becak motor hanya dihargai Rp 115.000. "Perbedaan harga Rp 10.000-Rp 20.000 bagi pengemudi becak ini berarti," ucapnya.

Erizal juga berusaha menjadikan becak siantar sebagai cagar budaya dan tetap bertahan di Pematang Siantar dengan mengampanyekan ide-ide pelestarian becak siantar lewat dunia maya. Dia membuat situs www.boms-ssc.com sebagai sarana kampanye ke seluruh dunia.

"Komunitas bikers di Indonesia dan luar negeri salah satu yang membantu kami agar becak siantar tetap terjaga kelestariannya," katanya.

Di sisi lain, Erizal berusaha keras menjaga agar lebih dari 800 unit becak siantar bermesin sepeda motor BSA ini bisa tetap beroperasi. Perjalanan waktu telah membuktikan keandalan mesin sepeda motor BSA melewati rute naik-turun, ciri topografi Pematang Siantar yang terletak di punggung bukit ini.

"Sebisa mungkin becak siantar tetap menjadi ikon budaya kami," katanya.

Sumber : Kompas, Jumat, 30 November 2007

No comments:

Post a Comment